Kamis, 08 April 2010

Mengembalikan Fungsi dan Esensi Pendidikan

Prof Kurt Singger pernah mengatakan, sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa.


Setuju atau tidak dengan pernyataan itu, yang jelas sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan orang-orang lemah. Orang lemah memiliki ciri-ciri di antaranya; rendah daya inisiatif dan kreatifitas, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri. Orang lemah selalu ingin mencari "yang kuat" untuk mengagantungkan hidupnya. "Yang kuat" ini, bisa orang, perusahaan, atau negara. Maka, tak heran setiap kali dibuka pendaftaran kerja di perusahaan atau pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) orang-orang lemah ini—dengan bekal ijazah— berduyun-duyun, dan berlomba agar bisa diterima.
Jika hal itu dibiarkan, dengan logika sederhana Sujono mengungkap, tidak mungkin ada orang, perusahaaan, bahkan pemerintah sekalipun mampu menampung orang-orang lemah itu. Sehingga fenomena pengangguran terpelajar adalah konsekwensi logis yang memang harus terjadi.

Berbagai upaya inovasi dan regulagi di bidang pendidikan yang telah dilakukan ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan. Dari survei yang dilakukan Political and Economical Risk Consultan (PERC) diperoleh data, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada para urutan ke 12 dari 12 negara di Asia.

Pastilah ada ketidakberesan yang mendasar dalam sistem persekolahan kita. Betapa tidak? Ketika hendak memperbaiki kualitas misalnya, yang diutamakan selalu memperbaiki aspek sekolah yang sifatnya materiil dan simbolis, seperti gedung, buku pelajaran, nilai Ujian Nasional (UN). Perbaikan kualitas pendidikan seringkali mengabaikan subtansinya yang fundamental. Secara mendasar, tulis Suyono, fungsi dan esensi pendidikan dan pembelajaran telah membias tidak jelas arahnya dan sudah harus dikembalikan.

Kita tahu, pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan akan berkembang jika ada "pemerdekaan." Kebalikannya, pendidikan akan kehilangan ruh ketika tidak ada suasana memerdekakan.

Selama ini sekolah hampir tidak memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi individual dan nilai-nilai prularitas. Dikotomi yang tegas antara guru dan siswa, kurikulum dan kehidupan riil, sekolah dan masyarakat, telah menjauhkan sekolah dari relasi sosial yang sehat. Sujono menyimpulkan, jika tetap tidak terjadi proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan hanya menciptakan orang-orang lemah, tentu "lebih baik tidak sekolah". Kesimpulan itulah yang kemudian dijadikan judul buku ini.

Judul itu, mengingatkan kita pada gagasan kontroversial yang pernah dilontarkan Ivan Illich pada akhir 1970-an, Deschooling Society, masyarakat tanpa sekolah. Jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Dan memang sudah waktunya negara memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mendesain model pendidikan yang realistis dan fungsional sesuai kultur dan kebutuhan.

Kiranya tak perlu kita sibuk mencari siapa "kambing hitam" di balik keterpurukan pedidikan di negeri ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah riil action, dan bukan saling menyalahkan, menggunjing, atau menggerutu. Bukan pula wacana yang melangit serta konsep-konsep yang kadang kontradiktif dalam tataran aplikasi atau semata berhenti di atas kertas.

Pendidikan Tanpa Sekolah

Dalam buku ini, penulis memberikan deskripsi yang tepat menyangkut di antaranya, model pendidikan, kualitas pengajaran, inrfasruktur, kapitalisme global, dan peran negara yang hegemonik. Sujono juga mengarahkan kita semua untuk mencari model pendidikan alternatif yang bisa menggembalikan pendidikan pada fungsi dan esensinya. Ia menunjukkan fakta yang menarik, tentang berdirinya sebuah lembaga pendidikan alternatif berbasis komunitas Qaryah Thayyibah. Lembaga ini mencoba keluar dari mainstrem pada umumnya dengan cara mengembangkan tradisi, kurikulum, serta model pembelajaran secara radikal.
Lahirnya Lembaga Qaryah Thayyibah di sebuah desa terpencil di Salatiga merupakan satu bukti bahwa masyarakat sudah mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jika sekolah formal mengekang kreatifitas, dan tidak demokratis, maka Lembaga Qaryah Thayyibah hadir dengan model pembelajaran yang humanis dan demokratis. Jika YB Mangunwijaya mengatakan, fungsi guru telah berubah menjadi pawang, maka lembaga ini berusaha mengembalikan pawang itu menjadi guru lagi. Yakni sebagai pendamping untuk mengantarkan anak-anak pada kehidupannya nanti.
Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri. Yakni dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai konteks. Sebab sesungguhnya pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya, sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Judul Buku : Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis : Sujono Samba
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal Buku : xiv + 93 halaman
Presensi : Jusuf AN *)

0 komentar:

Posting Komentar