Kamis, 05 Mei 2011

Pengkafiran Sebagai Senjata Politik


oleh Jusuf AN
Judul Buku:
POLITIK PENGKAFIRAN DAN PETAKA KAUM BERIMAN;
Sejarah, Politik, dan HAM
Penulis:
Muhammed Yunis
Penerbit:
Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan:
I / September 2006
Tebal buku:
xlvi + 188 Halaman
Peresensi:
Jusuf AN*)
Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, adalah orang benar-benar tolol, apabila diminta untuk memberikan devinisi tentang kekafiran (kufur) lalu menjawab: "Kufur adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan Asy'arisme, Mu’tazilah, Hambalisme, atau madzhab-madzhab lainnya."

Pada awalnya mengganggap seseorang kafir (takfir) merupakan masalah teoretik yang berhubungan dengan konsep keimanan semata. Namun dalam perkembangannya takfir justru menjadi persoalah yang bersifat praktik, yakni dijadikan senjata bagi kelompok politik tertentu untuk menjatuhkan lawannya.

Masalah takfir dijadikan senjata politik pertama kali oleh kelompok Khawarij yang tidak puas dengan hasil arbitrase (tahkim) antara Ali r.a dan Mu’awiyah berkenaan dengan perebutan posisi politik, yakni Khalifah. Ayat Al-Quran dan Hadis dijadikan senjata oleh kelompok Khawarij untuk mengecam pihak yang menerima arbitrase itu sebagai orang-orang kafir yang dihalalkan darahnya.

Menengok sejarah pengkafiran tak bisa menghindar dari nasib malang yang menimpa Imam Ath-Thabari, seorang ahli hadis dan penulis yang paling produktif pada zamannya. Ia dikafirkan dan dituduh atheis hanya karena mempunyai perbedaan metode penafsiran dan penolakannya untuk bergabung dengan kelompok Hanbalis. Ath-Thabari dilempari dengan botol tinta di bawah tekanan murid-murid Ibn Hanbal, lalu rumahnya dilempari bebatuan hanya karena menggunakan metode tafsir yang berbeda.

Politik abad pertengahan juga telah menorehkan eposide berdarah dalam kehidupan Ibnu Rusyd, filosof Islam terbesar dalam sejarah. Ia diasingkan dan hampir semua bukunya dibakar karena pemikirannya dianggap mengancan dinasti Muwahhid (rezim penguasa).

Al-Hallaj, seorang sufi revolusioner Irak juga menjadi tumbal politik pengkafiran. Al-Hallaj dieksekusi mati setelah terlebih dulu dicambuk seribu kali. Karena belum meninggal dengan cambukkan kemudian Algojo memotong kaki dan tangan Al-Hallaj satu persatu. Setelah itu al-Hallaj disalib di atas sebatang pohon dan keesokkan harinya kepalanya dipenggal. Betapa mengerikan, tapi begitulah fakta sejarah mengatakan.
Eksekusi yang diterima Al-Hallaj bukan disebabkan karena perbedaan medote sufisme yang ditempuhnya dalam menyapa Tuhan, melainkan kerena keterlibatannya dengan aktivitas-aktivitas politik yang dinilai oleh rezim penguasa pada waktu itu sebagai ancaman. Dengan kata lain, Al-Hallaj syahid karena ‘dosa’ politik.
Sebenarnya umat Islam tidak sendirian mengalami peristiwa beradarah di abad pertengahan. Tindakan represif dan pemberangusan pemikiran merupakan karakteristik umum panggung politik di abad pertengahan. Hanya saja ummat Islam kurang melakukan pembelajaran terhadap sejarah. Eropa pernah menjadi saksi atas operasi-operasi pemasungan pemikiran atas diri para cendekiawan. Akan tetapi bangsa Eropa mampu menghentikan sejarah tersebut. Itulah salah satu penyebab ketertinggalan Islam dari bangsa-bangsa Eropa.
Muhammed Yunis, dalam pengantarnya yang mendayu-dayu mengatakan bahwa, bangsa yang dikendalikan oleh rasa takut tidak akan mampu melanjutkan perjalanannya menuju kemajuan.

Tentu saja kemajuan sebuah bangsa tak bisa lepas dari peran pemikir. Sementara para pemikir selalu menjadi target operasi orang-orang yang ingin memperkarakannya dengan memperalat undang-undang dan hukum. Para pemikir dan cendekiawan dibungkam, dipenjarakan, disiksa, dan dibunuh dengan dakwanan melanggar hukum secara telanjang.

Semenjak umat Islam berusaha bangkit mengejar ketertinggalannya para tokoh kebangkitan selalu mendapat tuduhan kafir, intimidasi, pengasingan, perburuan, tuduhan zindiq (pemberontak), dan serentetan tuduhan lain yang keji dan menindas. Masih melekat di benak kita, "pertempuran" yang dialami Manshour Fahmi, Thaha Husain, Nazr Hamid Abu Zayd, dan beberapa cendekiawan muslim Indonesia seperti Ulil Absor Abdala, Gus Dur, Nurkholis Majid, dan kelompok-kelompok minoritas. Figur intelektual seperti mereka dan kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah misalnya, selalu dan—semoga tidak—akan terus menjadi target lontaran tuduhan-tuduhan keji seperti itu. Sebab tuduhan dan stigma takfir atas diri seseorang/kelompok tertentu adalah bentuk kejahatan yang terang-terangan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Muhammed Yunis yang juga aktif di Komisi Nasional HAM Mesir dalam buku ini membeberkan peristiwa-peristiwa sejarah tentang takfir yang biasanya disertai dengan tuduhan murtad. Yunis menuliskannya dengan obyektif dan detail sehingga enak dibaca dan dipahami.

Sejarah takfir yang diterangkan Yunis dalam buku ini, merupakan sejarah penindasan. Penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan universal dengan kedok agama. Kebebasan berkeyakinan, kita tahu, merupakan salah satu syarat utama pengetahuan dan penyebaran ilmu. Karenanya, kemajuan ilmu pengetahuan tergantung kepada besarnya jaminan masyarakat terhadap individu-individunya yang bebas berkeyakinan dan berkespresi.

Selasa, 03 Mei 2011

Menerapkan "Jam Wajib Baca"


M.Yusuf Amin N

Kita menyadari bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Keyakinan tersebut kiranya tidak perlu lagi dibuktikan dengan angka statistik hasil penelitian. Mengamati orang-orang di sekitar kita—dan barangkali juga diri kita sendiri—sudah lebih dari cukup untuk membuktikan hal tersebut. Betapa televisi di rumah-rumah hampir menyala sepanjang waktu. Betapa anak-anak di sekitar kita lebih senang menghabiskan waktunya di depan layar kaca, bermain play stasion, sementara para remaja lebih memilih ngeceng di mall, ibu-ibu nggosip di warung, guru-guru lebih suka berceramah dan ngrumpi soal kenaikan gaji, bapak-bapak khusuk mendengarkan radio sambil mungkin membayangkan betis kendedes. Akibat dari minat membaca yang rendah ini juga jelas: orang-orang memiliki daya kritis dan imajinasi yang pendek, wawasan pengetahuan yang dangkal, suka ngomel-ngomel, dan tidur di depan televisi dengan lambung yang kenyang.
Ada saja yang dikambing hitamkan dengan kenyataan soal minat baca ini, semisal pemerintah yang sibuk berpolitik, buku yang mahal, guru yang tidak kreatif, orang tua yang jor-joran—dan tiada seorang pun merasa patut disalahkan.
Sekian usaha telah dilakukan untuk mendongkrak minat baca, tentu. Mulai dari meniadakan pajak penerbitan buku, subsidi buku ke sekolah-sekolah, buku elektronik yang gratis, dibukanya rumah baca di kampung-kampung, seminar dan diskusi, juga melalui tulisan semacam ini.
Dan kita yakin, meski lemot, usaha-usaha tersebut sedikit demi sedikit mulai membangkitkan kelesuan minat baca.
Minat baca memang selayaknya dipancing sejak dini, sejak masih dalam bayi kandungan. Ibu hamil yang senang membaca, suami yang membacakan al-Qur’an atau buku di depan perut istrinya yang membengkak, barangkali akan mempengaruhi si janin. Tetapi tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika bayi-bayi jebrol lahir, mereka akan melihat nyata aktifitas yang dilakukan kedua orangtuanya, dan mereka sangat tergoda untuk menirunya. Dan ketika bayi-bayi tadi bertambah usia, kemudian sekolah, maka guru-guru kudu kreatif membimbing mereka mencintai buku dan membaca. Jadi, penanaman minat baca memang tidak bisa berjalan setengah hati, mood-mood-an, melainkan harus terus dipupuk seiring pertumbuhan.
Minimnya buku bacaan di sekolah-sekolah memang merupakan penghambat besar tumbuhnya minat baca, khususnya di kalangan siswa. Saya memiliki pengalaman khusus soal ini. Tahun 2007, ketika saya baru menyelesaikan studi di Jogja, saya bergabung bersama kawan-kawan guru di sebuah sekolah formal tapi swasta. Sekolah tersebut, sungguh memprihatinkan. Waktu itu baru ada kelas VIII dan VIII dengan siswa yang semuanya berjumlah sekitar 20 anak. Selain tidak memiliki gedung sendiri dan hanya menempati rumah warga yang mau ambruk, sekolah tersebut tentu juga “jelas” tidak memiliki perpustakaan. Memang ada beberapa buku paket yang lusuh, lungsuran dari sekolah lain, yang ditaruh di sebuah ruang ukuran 2x1,5 meter, tetapi itu sama sekali tidak mendukung proses pembelajaran, alih-alih memancing siswa untuk tertarik membaca.
Lalu saya berinisiatif membawa satu dus berisi buku-buku bacaan yang saya miliki dalam kegiatan pembelajaran. Para siswa saya suruh memilih buku bacaan yang mereka sukai, memberikan waktu 10-15 menit untuk membacanya, sebelum pelajaran yang sesuai silabus dimulai. Saya bisa dengan jelas melihat kegembiraan pada raut wajah polos anak-anak kampung itu.
Saya menamai kegiatan itu dengan “jam wajib baca”. Semua anak membaca, tak ada yang bicara kecuali bicaranya itu adalah melafalkan kata-kata di buku (hemm, memang begitu anak-anak, khususnya yang jarang membaca: Mereka tidak terbiasa membaca dalam hati). Selain “jam wajib baca” di saat jam resmi proses pembelajaran, saya juga mengadaan ekstra “membaca”. Hujan-hujan anak-anak menjemput saya di rumah dengan payung, dan saya terharu melihat gairah mereka.
Sekolahan tempat saya mengabdi tersebut kemudian memiliki gedung baru dengan tiga ruang, dan saya terpaksa harus pindah ke sekolah lain karena beberapa hal. Di sekolah tempat saya sekarang mengabdi, yakni MTs Negeri Wonosobo, saya kembali menggulirkan program “jam wajib baca” tersebut. Bedanya, saya tidak harus repot-repot membawa dus berisi buku, karena di sekolahan saya itu sudah ada perpustakaan yang menyediakan ribuan buku paket dan ratusan buku bacaan. Mula-mula saya wajibkan mereka memiliki kartu perpustakaan. Lalu, saya suruh mereka wajib meminjam buku bacaan dan membawanya masuk kelas pada saat pelajaran fiqih. Yang meminjam saya beri nilai, sementara yang tidak saya suruh keluar untuk terlebih dulu meminjam buku sebagai syarat mengikuti pelajaran.
Mapel yang saya ajarkan memanglah Fiqih, tetapi anak-anak justru saya anjurkan untuk meminjam buku bacaan (sastra, filsafat, agama, budaya, majalah, dsb), bukan buku paket. Karena menurut saya, para siswa sudah terlalu capek menghadapi buku paket disebabkan buku-buku tersebut cenderung menggunakan bahasa yang kaku. Selain itu, bukankah anak-anak juga penting untuk mengetahui apa yang tidak diajarkan oleh guru mereka?
Hasilnya, buku-buku bacaan di perpustakaan sekolah kami ludes dipinjam setiap kali pelajaran menjelang pelajaran Fiqih kelas VIII di mulai.
Apa yang saya lakukan mungkin sejenis pemaksaan! Lebih-lebih ada ancaman “tidak mendapat nilai” bagi yang tidak meminjam buku. Memang begitu. Saya memaksa mereka, dengan maksud yang mulia. Kadang-kadang siswa tidak doyan membaca karena mereka belum tahu bahwa membaca itu merupakan hal yang nikmat, lebih lezat dari sosis atau batagor. Saya memaksa dengan tujuan memberi tahu kepada mereka dengan menyuruh mereka merasakan langsung, bahwa ada banyak hal menarik dan baru yang akan dijumpai di buku-buku yang mereka baca. Bukankah orang yang shalat kadang-kadang belum bisa menikmati indahnya shalat? Kita shalat karena mungkin terpaksa, takut dosa. Ini tingkatan kualitas shalat orang awam. Tapi kualitas ini akan terus meningkat jika kita konsisten, bersungguh-sungguh melakukannya.
Begitu pula pada siswa. Saya yakin banyak siswa didik yang terpaksa meminjam buku karena takut tidak mendapat tambahan nilai dari saya. Dan saya yakin pula, ada sebagian anak yang kemudian jatuh cinta kepada buku, lalu dengan kesadaran penuh dia bersetia berpacaran dengannya.
Demikianlah, hasil dari program “jam wajib baca” memang tidak bisa langsung dilihat, tetapi mengenalkan kepada mereka tentang indahnya, nikmatnya, dan bergunanya aktifitas membaca adalah WAJIB. Dan sebenarnya, “jam wajib baca” juga sangat baik jika para orangtua di rumah mau menerapkannya.