Sabtu, 30 April 2011

Akar Mistik Orang Jawa

diresensi oleh Jusuf AN

Judul Buku : Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis
Penulis : Capt. R.P. Suyono
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal Buku : xii + 280 halaman



Sebagai pengoleksi benda antik (termasuk buku) Suyono tergerak untuk menyadur buku karya H. A. van Hien berjudul De Javansche Geestenwereld atau Dunia Roh Orang Jawa yang diterbitkan sekitar tahun 1920 oleh G.Kolff & Co. Batavia. Van Hien merupakan sejarahwan dari Belanda yang ditugaskan meneliti dan menulis alam pikiran orang Jawa. Berkat pemahaman alam pikiran orang Jawa yang diperolehnya, tidak heran jika Belanda kemudian sukses besar menjajah negeri ini selama 350 tahun.

Menurut Suyono, buku karya van Hien tersebut masuk dalam kategori buku yang sangat langka. Pada jaman penjajahan Jepang, kita ingat, semua buku berbahasa Belanda harus dimusnahkan, dan bila ada yang ketahuan menyimpannya, maka akan dihukum oleh polisi rahasia Jepang. Kini, di Belanda sendiri tidak ditemukan lagi buku karya van Hien itu. Kerenanya, kita beruntung, berkat kemampuan bahasa Belanda lama yang Suyono kuasai memungkinkan kita menikmati karya van Hien dan menelusuri jejak orang Jawa, terutama wilayah mistiknya.

Kita tahu, mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat yang bersifat abadi. Demikian pula dengan dunia mistik orang Jawa. Berbagai kepercayaan mistik yang telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat Jawa, diturunkan dari generasi ke generasi, hingga kini.
Pengamat sejarah yang teliti akan mengetahui bahwa masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang campur-aduk. Pada mulanya penduduk Jawa merupakan bangsa pengembara. Di tengah alam yang buas orang Jawa pertama berusaha mempertahankan hidup dengan mempelajari pengaruh-pengaruh alam yang kemudian menimbulkan kepercayaan, bahwa setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk-makhluk di sekitarnya: animisme.

Oleh Suyono animisme dibagi menjadi dua, yakni fetitisme dan spritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa. Sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk halus yang terdapat di alam.

Ketika agama Islam mulai dianut hampir sebagian besar masyarakat Jawa, pemujaan terhadap kekuatan alam tidak begitu saja ditinggalkan. Wali Sanga sendiri, sebagai tokoh yang menyebarkan Islam di Nusantara mempunyai segudang cerita mistik. Sebut saja Sunan Giri, mengalahkan tentara Majapahit dengan sebuah pena yang bisa berubah menjadi keris. Sunan Kalijaga mampu membuat tiang masjid yang kokoh dari tatal. Dan sederet cerita mitis lainnya.

Beberapa kalangan membantah kebenaran cerita mitis tersebut dengan dalih, Islam merupakan agama tauhid. Muhammad sebagai pembawa risalah Islam tidak mengenal mistik dan anti kemusyrikan. Berkaitan dengan itu, Profesor Simuh, dalam buku Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, menganalisis bahwa Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam murni yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan Islam yang dibawa oleh pedagang Persia dan Gujarat. Persia, kita tahu, merupakan pusat perkembangan tradisi tasawuf. Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al-Quran dan Hadis; dan tasawuf murni atau mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan. Era tasawuf Islam yang berakhir 728 M memperkuat dugaan bahwa tasawuf yang masuk ke Indonesia merupakan tasawuf Mistikisme. Maka, tak heran jika Islam mudah berkompromi dengan budaya Hindu-Budha yang dianut sebagian besar penduduk pada masa itu.
Terlepas dari kontroversi historis di atas, Suyono membagi Islam menjadi empat sekte: (1) Kaum Islam yang masih memegang campuran kepercayaan Brahma dan Budha; (2). Kaum Islam yang menganut kepercayaan magik dan dualisme; (3). Kaum Islam yang masih menganut animisme; (4) Kaum Islam murni. Tiga sekte Islam yang pertama masuk dalam golongan "Islam Kejawen", yakni keyakinan dan ritual campuran dari agama Islam dengan pemujaan terhadap kekuatan alam. Pedoman kepercayaan kejawen ini tampak pada ajaran yang disebut sebagai petangan, tata cara memperhitungkan keberuntungan.

Melalui buku Dunia Mistik Orang Jawa: Roh Ritual, Benda Magis kita akan mengetahui alam mistik yang dipraktikkan masyarakat Jawa sekitar tahun 1920-an. Karena spektrum dunia mistik orang Jawa sangat luas maka karya ini akan terbit dalam tiga jilid. Buku setebal 280 halaman ini merupakan buku pertama yang membahas mengenai dunia roh, tempat-tempat angker, azimat, hantu atau memedi, perhitungan waktu, doa dan mantra, ritual dan sesajian, sampai ramalan Jaya Baya. Buku kedua (belum terbit) berisi mengenai petangan, dan buku ketiga mengenai orang Tengger.

Era global dan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi kehidupan alam pikiran masyarakat Jawa ternyata tidak begitu saja menghilangkan berbagai kepercayaan mitis dan praktik-praktiknya. Akan tetapi sedikit orang mengetahui akar mistiknya sendiri. Karena itu, buku ini penting dibaca bukan karena dipenuhi dengan cerita gaib dan mantra-mantra, melainkan sebagai jalan merunut perkembangan keyakinan dan alam pikiran nenek moyang. Dengan begitu akan mudah memahami alam pikiran kita sendiri. Kuasai alam pikiranmu, maka kamu akan menguasai tindakanmu. Kuasai tindakanmu maka kamu akan menguasai kebiasaanmu. Kuasai kebiasaanmu, maka kami akan menguasai nasibmu, begitu kata orang bijak.

Titik Lemah Gerakan Mahasiswa



Jusuf AN*)


Judul Buku
Bergerak Bersama Rakyat:
Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia
Penulis
Suharsih dan Ign Mahendra K
Penerbit
Resist Book
Cetakan
Pertama, Februari 2007
Tebal
x+ 268 halaman, 17 X24,5 cm


           
Tidak bisa dipungkiri gerakan mahasiswa telah mengawal banyak perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah Indoneia. Bahkan, gerakan mahasiswa tahun 1966 dan 1998 mampu menumbangkan rejim, menandakan betapa gerakan mahasiswa memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun demikian, peran penting mahasiswa tidak selalu diiringi dengan tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Berbagai organisasi gerakan mahasiswa kini berkecambah di setiap kampus, aksi massa terus berlangsung, tetapi kenapa negeri ini tak kunjung membaik?
Buku Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Bagi Suharsih, proses pembangunan masyarakat yang demokratis, adil, dan sejahtera membutuhkan sebuah aksi yang benar-benar sadar. Salah satu jalan yang ditawarkannya agar gerakan mahasiswa mampu menentukan langkah-langkah yang harus diambil adalah dengan menganalisis hukum-hukum sejarah—baik sejarah masyarakat, maupun sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri.  
Tengoklah gerakan mahasiswa pada tahun 1965, di mana mahasiswa bergandengan tangan dengan militer dan akhirnya berhasil menumbangan rezim Soekarno. Pasca bergulingnya Sokarno, Indonesia justru kian terpuruk. Gerakan mahasiswa saat itu secara tidak langsung malahan membantu berdirinya rejim yang berkuasa selama 32 tahun dan belaku refresif terhadap rakyatnya. Berdirinya rejim Soeharto merupakan hasil dari aliansi dari mahasiswa-mahasiswa pro-liberalisme Barat, yang berarti merupakan awal jatuhnya Indonesia ke tangan imperialis. Ini memang sejarah pahit bagi mahasiswa, namun bukan berarti gerakan mahasiswa akan selalu berujung kepahitan seperti itu.
Pada era 1970-an gerakan mahasiswa di Indonesia kembali bangkit dengan mengambil konsep gerakan moral. Dalam konsep tersebut mahasiswa lebih banyak bertindak sebagai kekuatan moral dari pada sebagai kekuatan politik. Artinya, mahasiswa hanya muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis. Tepat kiranya jika Arief Budiman menyebut gerakan ini dengan ‘Gerakan Koreksi’ karena setelah krisis berlalu, mahasiwa kembali pulang ke kampus untuk belajar.  Selain itu, mereka hanya melakuan kritik pada tataran kebijakan yang pragmatis dan bersifat jangka pendek. Konsep gerakan moral juga bisa berarti bahwa gerakan mahasiswa tiak boleh pamrih dengan kekuasaan, harus murni, non-partisan, mahasiswa adalah agent of change, gerakan intelektual dan gerakan sosial.(hlm: 215)
Penulis memberikan beberapa titik kelemahan dari konsepsi gerakan moral tersebut. Pertama, tidak mengembangan konsepsi ideologis, apalagi ideologi kerakyatan. Bagi gerakan moral, tatanan kapitalisme yang ada sudah dianggap baik, hanya perlu dikoreksi. Kedua, gerakan mahasiswa tidak mau bergabung dengan rakyat dan tidak berusaha keluar ke kota-kota lain, sehingga hanya berlangsung di kota-kota besar alias bersikap sektarianisme gerakan. Ketiga, strategi, taktik, program, isu, atau pun tuntutan yang diambil sangat moderat, bahkan dapat digeneralisir bahwa bagi gerakan moral, mengirim ‘surat cinta’ kepada prisiden untuk mencabut kenaikan BBM atau tuntutan lainya adalah cukup, karena kepentingan gerakan semacam itu hanya memberikan kritik yang loyal. Keempat, gerakan moral hanya akan menjadi alat peralihan dari satu penguasa ke penguasa lain.
Gerakan Reformasi 1998 juga mengambil konsep gerakan moral dilihat dari tuntutan yang diajukan. Dengan mendukung Habibie mahasiswa tak sadar jika telah terhasut dan dibodohi. Tuntutan mahasiswa waktu itu antara lain mengadili Soeharto dan menghapus KKN, yang artinya rejim Habibie—termasuk Golkar dan tentara dipaksa mengadili dirinya sendiri. Alhasil, secara pokok tidak ada yang berubah dari pemerintahan pasca Soeharto.
Hingga saat ini masih terdapat sisa-sisa dalam beberapa gerakan mahasiswa yang mengangap dirinya sebagai gerakan moral. Secara tegas, dengan membeberkan fakta sejarah, Suharsih menyatakan, bahwa gerakan moral tidak akan menghasilkan apapun. Baginya, yang dharus dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat ini adalah sebuah gerakan politik radikal dengan ideologi kerakyatan. Idelogi kerakyatan sendiri memiliki makna, arah, dan tujuan perjuangan gerakan mahasiswa demi kepentingan rakyat tertindas. Ideologi ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat bila mengikutsertakan rakyat turun langsung dalam gerakan.
Memang tidak gampang menanamkan kesadaran pada rakyat untuk turut serta dalam gerakan. Meski begitu, penulis yakin, kesadaran ideologis akan muncul jika suntikan kesadaran terus menerus dilakukan, sehingga memungkinkan terciptanya kesatuan kesadaran rakyat untuk menyerang penyebab pokok persoalan rakyat negeri ini, yakni: imperisalisme dan rejim bonekanya, militerisme dan sisa feodalisme.
Merebut negara adalah kepentingan pokok bagi gerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan politik berideologi kerayakatan. Pengalaman sejarah di Vietnam (tahun 1960-an), di Kuba (1969), Venezuela (dalam pemerintahan Hugo Chavez) menegaskan bahwa ketika rakyat ingin menghentikan penindasan oleh imperisalis, maka negara harus dikuasai. Sebab, selama negara ini dikuasai oleh kelas borjuasi, maka selamanya pula negara diperalat untuk melanggengkan tatanan kapitalisme.  
Buku ini memberikan banyak catatan kritis atas sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia dengan tujuan mengajak seluruh mahasiswa dan rakyat untuk bersatu, bergerak melakukan perlawanan atas segala bentuk penindasan, sebab teori gerakan apa pun tidak akan berarti tanpa sebuah aksi.


Imperialisme Media


Jusuf AN*)

Judul Buku : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Zainuddin Sardar
Ilustrasi : Borin Van Loon
Penerjemah: Dina Septi Utami
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal : 174 Halaman

Media memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak mengherankan, sebab rata-rata seseorang menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar dan majalah, mendengar radio, dan berselancar di internet. Artinya, kita menghabiskan sepertiga dari hidup kita dengan membenamkan diri dalam media. Akibatnya, kemampuan kita berbicara, berfikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitas kita sendiri dibentuk oleh media. Dengan demikian, mempelajari media adalah mempelajari diri kita sendiri sebagai makhluk sosial.
Namun tidak semua orang menganggap penting mempelajari media. Jonathan Margolis, seorang jurnalis di London Obeserver mengatakan bahwa studi media tidak memiliki nilai pendidikan, dangkal, dan gampang dilupakan. Menurutnya studi media adalah ilmu sosial semu yang menyamarkan diri sebagai disiplin akademik.
Zainudin Sardar membantahnya dengan menyatakan bahwa studi media (yang sebenarnya berakar dari linguistik, psikologi, sosiologi bahkan fisika dan matematika sebagaimana studi budaya yang lain) merupakan disiplin keilmuan yang lebih luas. Studi media menunjukkan kepada kita mengapa politik, seni, dan masyarakat berjalan seperti sekarang ini dan bagaimana masa depan dapat dibentuk dengan lebih baik.
Ketika kita menonton TV atau berselancar di internet, kita sebenarnya sedang menciptakan makna dan emosi kita sendiri. Oleh karena itu kita harus memandang aktivitas kita sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Inilah dasar pemikiran utama dari studi media.


Industri Media
Media merupakan sebuah “industri”. Televisi membuat produk yang merupakan rakitan bagian-bagian tertentu seperti sinetron dan serial kartun. Surat kabar dan majalah mengadakan pemotongan harga jual, penawaran gratis dan merger akibat ketatnya persaingan. Sebuah film misalnya, memang dapat dilihat sebagai hiburan untuk dinikmati, atau sebagai suatu bentuk karya seni untuk diapresiasi. Tetapi sebagiaman vacuum cleaner atau sepeda motor, produk-produk media semacam film, televisi, surat kabar, majalah, dan lainnya juga diproduksi secara massal dan dipasarkan sebagai barang konsumen. Seperti juga produk-produk industri lain, produk media membutuhkan inovasi terus-menerus dan harus dijual semurah mungkin.
Saat ini media menawarka pilihan yang lebih beragam. Satelit, TV, digital, dan film film Hollywood sangat mahal sehingga hanya sedikit korporasi yang sukses secara finansial. Hal inilah menciptakan kecenderungan ke arah terjadinya pemusatan kontrol atas media.
Tetapi produksi hanyalah setengah dari jalan ceritanya. Ketika kita menonton TV atau berselancar di internet, kita sebenarnya sedang menciptakan makna dan emosi kita sendiri. Kita harus memandang aktivitas kita sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Inilah dasar pemikiran utama dari studi media.
Dalam sebuah pasar industri, tulis Sardar, terdapat tendensi bagi organisasi yang lebih besar, lebih sukses untuk mengambil alih perusahaan yang lebih kecil. Satelit, TV, digital, dan film-film Hollywood sangat mahal sehingga hanya sedikit korporasi yang sukses secara finansial. Dari sinilah kemudian tercipta kecenderungan ke arah terjadinya pemusatan kontrol atas media. Memang, konglomerat media telah meluas dengan pesat sehingga hanya segelintir perusahaan yang sekarang mengendalikan kebanyakan keluaran media. Buktinya, lebih dari separuh dari seluruh program televisi di Asia diimport dari Barat. Musik rekaman secara total dikendalikan oleh lima perusahaan saja: Polygram, Time Warner, Sony, EMI dan Bertelsman. Sementara berita-berita televisi global disuplai oleh CNN, CNBC, TV BBC Word Service.
Lewat media, kapitalisme modern telah berhasil membangun situasi global dalam kungkungan dunia media di mana orang sulit membedakan antara realitas dan fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan lewat media. Ini merupakan tanda di mana masyarakat telah kehilangan kapasitas kekritisannya. Sementara akan terlalu sukar, atau bahkan tidak bisa, kita lepas dari jeratan media. Dalam situasi seperti ini yang penting dilakukan adalah membekali diri kita dengan mempelajari media itu sendiri.
Melalui buku Membongkar Kuasa Media, penulis mengajak kita untuk menelaah bagaimana audiens dibentuk oleh media dan pada gilirannya dapat menginterpretasikan isi dan makna dalam merepresentasikan media. Membaca buku ini kita diajak menganalisis tentang bagaimana media membentuk opini publik dan melakukan imperialisme budaya.
Kolaborasi Sardar dengan ilustrator Van Loon telah berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya cerdas tetapi juga menghibur. Banyaknya gambar kocak dan kalimat satir dalam hampir setiap lembaran buku ini akan membuat pembaca tidak jenuh, selain juga menjadikan sesuatu yang tadinya berat menjadi ringan sehingga buku ini dapat dibaca siapa saja untuk kemudian diajarkan kepada anak-anak. Mengapa anak-anak perlu mempelajari media? Salah satunya, karena berbagai iklan yang muncul di televisi kini menjadikan anak-anak dan yang lebih muda dan jauh muda lagi menjadi targetnya. Banyak acara kartun anak yang sepanjang acara sebenarnya hanya berisi iklan saja. Karena itu, studi media sangatlah layak jika dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar agar anak-anak dapat memandang sesuatu dengan kritis sejak dini.
Masa Depan
Sohail Inayatullah, pengajar di Pusat Komunikasi Queensland University of Technology meramalkan, tidak lama lagi majalah cetak akan hilang dan surat kabar bagi kebutuhan kita akan muncul di layar televisi setiap pagi. Para aktor menjadi buatan komputer, dan film akan bisa kita sunting ulang dan ubah, lalu dipasarkan di web. Media virtual akan menjadi norma dan cara kita berhubungan dengan bagian dalam dan luar diri kita sendiri. Semuanya akan bersifat instan dan begitu interaktif sehingga kita akan mati karena bosan.

Cerita-Cerita yang Menelanjangi Madura




Jusuf AN *)





Judul Buku: Mata Blater


Penulis: Mahwi Air Tawar
Penerbit: Mata Pena, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2010
Tebal Buku: xiv + 127 halaman



Siapakah blater? Ia adalah seorang tokoh penting dengan posisi unik yang sukar dicari padananya di daerah-daerah lain di luar Madura. Ia semacam preman tapi bukan preman, semacam jawara tapi bukan jawara, demikian Joni Ariadinata memberi keterangan dalam kata pengantar untuk buku ini.
Sebagai cerpenis yang lahir di Pulau Garam, Mahwi Air Tawar mencoba menghapus citra miring tokoh blater sebagai pembuat onar. Melalui cerpen “Mata Blater”, yang diangkat sebagai judul buku ini, Mahwi ingin menegaskan bahwa seorang blater berani mati dengan suatu alasan yang dianggap “benar”, yakni demi harga diri, demi keberlangsungan hidup yang damai antara sesama, demi tradisi yang diyakini kebenarannya.
Adalah Madrusin, seorang tokoh blater, yang cintanya tidak direstui oleh keluarga kekasihnya, yang notabene adalah keluarga Kiai. Cerita cinta semacam ini barangkali akan sangat biasa jika Mahwi tidak menjadikan seorang blater sebagai tokoh utamanya. Tembang pote mata, angor mate katelak tolang (lebih baik mati terlihat tulang daripada hidup berputih mata atau menanggung malu). Itulah prinsip hidup Madrusin, lelaki dengan sorot mata setajam ujung celurit. Maka, lihatlah bagaimana gaya Madrusin dalam memecahkan persoalan cintanya yang tak direstui dan hinaan yang telah ia terima. Bukan dengan menculik gadis pujaannya, tetapi dengan cara yang dianggapnya lebih ‘jantan’. Dengan celuritnya Madrusin memotong tiga helai rambut Sati, yang kemudian dimasukkannya ke dalam cangkir kopi. Setelah mengatakan permohonan agar orangtua Sati mau merestui hubungannya, Madrusin mengambil kembali tiga helai rambut Sati dari dalam cangkir kopi dan ditaruhnya persis di atas gagang celurit.
Orang Madura memang dikenal sebagai orang yang akrab dengan dunia kekerasan. Memalui cerpen-cerpennya, Mahwi sama sekali tidak ingin menutup-nutupi persoalan-persoalan kekerasan di tanah kelahirannya, melainkan justru bermaksud menelanjanginya.
Konflik-konflik yang ada dalam cerpen-cerpen Mahwi merupakan cermin dari apa yang ia lihat dan rasakan selama hidup di Madura. Dalam “Karabhen Sape” dikisahkan tentang Matlar, jagoan karapan sapi, yang mengalah dalam pertandingan akibat iming-iming akan disekolahkan di luar kota. Cerpen ini diakhiri dengan peristiwa tragis, yakni sabetan celurit yang menyemburkan darah sapi kesayangan Matlar. Sementara “Eppak” mengisahkan tentang dendam seorang istri kepada suaminya sendiri yang telah membunuh ibu si istri. Si istri tersebut kemudian mengutus anaknya untuk membunuh ayahnya sendiri.
Sosiolog asal Belanda, Huub de Jonge, dalam buku Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society (1995) mengungkapkan, jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.
Hal tersebut tersirat dalam “Bulan Selaksa Celurit”. Konflik dalam cerpen ini mencuat akibat dendam kekalahan dalam ajang karapan sapi, yang berujung dengan adu carok. Cerpen tersebut bukan sekadar menyuguhkan adegan-adegan kekerasan, tetapi lebih dari itu hendak mengatakan bahwa tradisi carok bukan semata adu kekuatan dan pertumpahan darah tapi upaya mempertahankan apa yang diyakini sebagai sebuah “kebenaran”.
Kita tahu, Madura merupakan kelompok etnis terbesar setelah Jawa dan Bali sedangkan penelitian terhadap suku ini belum banyak dilakukan. Karenanya, buku yang memuat 12 cerpen ini memberikan sumbangsih penting yang tidak hanya memberikan hiburan semata, tetapi sekaligus informasi mengenai tradisi dan budaya Madura, sehingga bisa meminimalisir kesalahpahamaan pembacaan terdahap Madura itu sendiri. Bagi Mahwi, Madura beserta problem sosiologis masyarakatnya yang sangat kompleks, merupakan ladang estetika yang sangat menarik untuk digali. Maka usaha Mahwi menelanjangi tradisi dan budaya Madura lewat karya sastra patut mendapatkan apresisasi.

Eksplorasi Kultur Etnik
Penggambaran peristiwa serta penulisan setting yang detail membuat pembaca diajak untuk menyaksikan langsung adegan-adegan yang hidup dalam buku ini. Penguasaan materi seputar tradisi dan budaya Madura ditambah dengan cara pengungkapan cerita dengan bahasa puitis membuat cerpen-cerpen dalam buku ini renyah untuk dinikmati kapan saja.
Membaca buku ini, kita tidak hanya akan disuguhi kisah-kisah kekerasan, tetapi juga diperkaya dengan khasanah serta persoalan-peroalan yang melingkupi tradisi dan budaya Madura, seperti kontes kecantikan sapi dalam “Sape Sonok”; ritual upacara meminta hujan dalam “Ojung”; tarian Ronggeng khas Madura dalam “Tandak” dan “Careta Penanda”; juga pasir putih yang dijadikan tempat untuk tidur dalam “Kasur Pasir”.
Warna lokal seperti mata air gagasan yang tak pernah kering, demikian pernah disinggung Maman S. Mahayana (2002). Ia menyimpan benih-benih kisah yang tak ‘sudah-sudah’ jika para pengarang mau mengolah. Pilihan Mahwi menggarap kultur etnik Madura dalam cerpen-cerpennya merupakan pilihan yang tepat, karena masih langkanya pengarang (cerpen apalagi novel) Madura yang mencoba mengekpolasi kultur etniknya sendiri. Selama ini dalam dunia sastra, Madura lebih dikenal dengan gudangnya penyair, dengan D. Zawawi Imron sebagai ikonnya, sehingga munculnya cerpen-cerpen lokalitas Madura yang terhimpun dalam buku ini telah melahirkan peta baru di dunia kesusastraan kita.

*) Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo






Jumat, 29 April 2011

Memperjelas Identitas Manusia Indonesia

                                                        Judul Buku : Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia
Penulis       : Radhar Panca Dahana
Penerbit : Insist Book, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2007
Tebal : xxviii + 300 halaman
Presensi : Jusuf AN*)

Sejarah Indonesia tak pernah lepas dari usaha keras untuk menyatukan seluruh unsur ideal, baik yang pernah ada, dianggap ada, bahkan yang diharapkan ada, untuk memberi landasan identifikasi manusia di dalamnya. Sayangnya, usaha tersebut telah menafikan realitas faktual, yakni keberagaman budaya. Radhar menulis, sesungguhnya realitas faktual disusun bukan dari kesatuan ideologis, tapi justru dari keberagamannya. Menurutnya, tak satupun pihak, bangsa atau kelompok etnis apa pun di negeri ini yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu entitas yang genuin. Mangkunegara IV misalnya, mengidentifikasi diri dan ontologi Jawa dari penanggalan dan kedatangan pangeran India Ajisaka; masyarakat Betawi ada karena percampuran puluhan etnis lokal asing serta mendapat sebutan dari sebuah daerah kecil di Netherland, Batavia; begitu pun dengan etnis atau bahkan sub etnis lainnya. Jelaslah, bahwa kita adalah sesuatu yang tersusun dari tradisi dan pecahan-pecahan identitas orang lain.

Lewat pemahaman seperti itu, Radhar kemudian memotret realitas mutakhir kita. Realitas yang tragik, di mana dari hari ke hari kita kian lemah. Cara pandang kita kian gelap. Kita seperti berada di ambang kepunahan. Gejala-gejalanya sudah meremang. Cermatilah, bagaimana pesimisme dan apatisme bukan saja terekspresikan dalam karya-karya seni mutakhir, tapi juga fenomena merebaknya tarekat modern, mulai dari gaya Hare Krisna, Scientologi, hingga LSM-LSM yang memenuhi kawasan terpinggirkan sampai tumpah ke jalanan di mana protes-ptotes radikal diarahkan pada WTO, Bank Dunia, IMF, atau negeri seperti Israel dan Amerika Serikat. Gejala-gejala itu memperlihatkan rona muka kita yang gelisah.

Dalam pandangan penulis, kegelisahan itu tanpak sebagai upaya-upaya parsial yang mengalami kesulitan titik temu, karena semua modus titik temu sudah diambil alih dan dikuasai oleh kekuatan dominan. Ia tinggal sebagai serpihan, dalam perspektif luas, menjadi mozaik (baru) hasil interaksi dan akulturasi kultural baru. Sebagian menarik, sebagian besar menggelikan dan mengecewakan. Hasilnya: perikalu, sikap, cara berpikir, dan mentalitas yang kacau, bahkan khaotik di semua lini.
Buku kumpulan esai Radhar Panca Dahana yang tersebar di sejumlah media masa dan forum-forum diskusi ini mencoba menguraikan kembali persoalan eksistensi kita. Lewat buku ini Radhar mempertanyakan kembali, kemudian mencari jawaban atas eksistensi sebuah entitas dengan cara menghimpun serpihan-serpihan pengertian, menyusun satu mozaik dari realitas mutakhir kita. Penulis membagi tulisannya dalam tiga bagian.
Pada bagian pertama ("Pedalaman Kita") diuraikan berbagai situasi realitas subyektif, realitas di kedalaman—jiwa, hati, pikiran—kita. Mulai dari keserakahan dan korupsinya, semangat palsu nasionalismenya, perilaku orang kaya baru, sampai gencarnya monolog di kalangan petinggi kita. Kita diajak untuk mengenali, menerima, dan pada akhirnya mengoreksi kelemahan-kelemahan sendiri yang turut ambil dalam kekisruhan kolektf kita.

Pada bagian kedua ("Pertengahan Kita"), sastrawan yang juga pengajar sosiologi di pasca sarjana Universitas Indonesia ini mengajak kita berkontemplasi melalui simbol-simbol puitik, yang merupakan hasil renungan tentang realitas yang terurai di bagian pertama. Lewat puisi "Dilaknat Kalian", "Manusia Pantat", "Dari Insan Tercipta Tuhan", "Nabi Monyet", "Setan-Malaikat; Aku menujumu", barangkali bisa didapatkan signifikasi melalui bahasa ungkap yang berbeda, sehingga memberi inspirasi dan proses penyadaran diri bagi pembaca.
Selanjutnya, pada bagian ketiga ("Peluaran Kita") penulis memaparkan kenyataan ekspresif kita sebagai kesatuan kolektif, sebagai sebuah negeri formal di tengah gencaran peradaban modern yang didistribusikan melalui proyek raksasa globalisasi. Di sini Radhar mencoba menyikapi, memberikan gagasan untuk menyiasati atau sekedar menghadapi persoalan-persoalan baru itu.

Menurut Ketua Federasi Teater Indonesia ini, kita mesti menerima (atau menempatkan) Indonesia sebagai satu realitas yang belum tercapai atau sedang berproses mencari bentuknya. Lalu melihat diri sendiri sebagai kecambah "Indonesia" itu dalam bentuknya yang carut marut, bahkan mungkin tak berbentuk sama sekali. Karena ia semata mozaik yang disusun dari kepingan-kepingan masa lalu, masa depan, harapan, pengaruh-pengaruh, kelebihan, kekurangan, dan berbagai hal yang semestinya dapat segera kita identifikasi. Setidaknya kita bisa mulai dengan satu usaha untuk menyusun ulang (merekontruksi) puing-puing atau kepingan itu ke dalam satu mozaik baru yang lebih memiliki bentuk dan lebih bisa teridentifikasi.
Untuk menyusun mozaik baru itu, tulis Radhar, sebuah kerja kebudayaan yang besar mesti siap kita lakukan. Ekspresi dan produk budaya dari mana pun asalnya mesti mendapatkan ruang dan keleluasaannya. Karena secara sinergis dan akumulatif semua kerja itu akan melakukan semacam rafikasi atau penghalusan dari kerja pembentukan mozaik kita di atas. Sehingga bentuk itu pun semakin integral, kuat, komprehensif dan tegas sebagai sebuah identitas.

Demi kemaslahatan sebuah negeri yang mampu mengatasi semua bentuk perbedaan itu, Radhar menyarankan, kita mesti menghadapkan semua kemungkinan cara di atas dalam posisi yang egaliter. Tidak ada sepihak atau seorang pun yang dapat menduga: bentuk atau mozaik baru apa yang akan berrupa setelahnya. Yang bisa kita lakukan hanya menerima: itullah Indonesia kita. Indonesia yang berbeda. Mungkin baru.
Buku setebal 300 halaman ini begitu kaya dengan kritik, wacana, dan gagasan brilian berkait dengan persoalan-persoalan mutakhir kita. Meski Radhar sendiri mengakui, semua gagasannya masih dalam bentuk mozaik, tersusun dari pecahan-pecahan ide yang kadang sektoral, sehingga masih diperlukan sebuah buku baru. Tetapi yang pasti buku ini bisa menjadi sebuah awal terbentuknya mozaik baru Indonesia.

Citra Orang Tionghoa




Peresensi: Jusuf AN
Judul Buku  : Menjadi Jawa
Penulis        : Rustopo
Penerbit      : Ombak, Yogyakarta
Cetakan      : I, Agustus 2007
Tebal           : xxii + 420 halaman

Etnis Tionghoa telah mengalami bertubi-rubi derita sepanjang sejarah Indonesia. Permbunuhan besar-besaran terhadap orang cina di Batavia (baca: Jakarta) dan sekitarnya yang dilakukan VOC pada tahun 1740 menjadi satu titik penting bermulanya peng-asingan etnis Tionghoa. Ketika gerakan nasionalisme semakin semarak orang-orang Tionghoa dianggap sebagai golongan yang anti Indonesia. Proses peng-asingan etnis Tionghoa terus berlanjut sampai diplokamirkannya Indonesia di mana seharusnya segala bentuk diskriminasi dihapus dan diganti demokrasi yang menjujung tinggi keseteraan hak dan perbedaan. Pembunuhan masal tahun 1946 di Banten yang konon dipicu oleh sentimen ekonomi menambah satu lagi daftar kepedihan masyarakat Tionghoa. Ironisnya, orang Tionghoa kembali menjadi sasaran keberingasan sosial yang terjadi tahun 1998 di Surakarta di mana toko, rumah, dan tempat usaha mereka di bakar dan dijarah. Rentetan peristiwa itu menunjukkan, seolah-olah etnis Tionghoa merupakan elemen asing yang patut dimusuhi. Sebuah prasangka yang terburu-buru dan jelas-jelas keliru.
Tradisi pemikiran historiografi Indonesia, khusunya Jawa, yang menempatkan masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat asing sudah sepatutnya dibongkar ulang. Tionghoa, kita tahu, bukanlah satu-satunya etnik atau bangsa pendatang di pulau Jawa, tetapi anehnya label non-pribumi hanya melekat pada Tionghoa, dan tidak termasuk etnik Arab atau India. Selama ini keberadaan komunitas Tionghoa dalam sejarah Jawa lebih sering dipahami sebatas cara pandang politis, yaitu elemen pengganggu ataupun parasit kegiatan ekonomi. Jarang sekali ditemukan adanya upaya untuk melihat masa lalu Tionghoa di Jawa secara sosio-kultural, yaitu sebagai salah satu bagian yang secara integratif membentuk identitas Jawa.
Kita tak bisa menutup mata terhadap beberapa orang Tionghoa yang pernah tampil sebagai tokoh-tokoh utama dalam pengislaman Jawa. Bukankah kerajaan Islam pertama di Jawa dipimpin oleh seorang raja keturunan Tionghoa? Dalam bidang pertanian orang-orang Tionghoa juga meninggalkan warisan yang abadi hingga kini, berupa pengetahuan, teknologi pengolahan dan peralatan pertanian. Belum lagi sumbangan orang-orang Tionghoa di bidang kelautan berupa pembuatan kapal serta alat-alat atau senjata dari logam. Sementara dalam bidang seni budaya, orang Tionghoa telah berhasil mengembangkan Wayang Orang Panggung, ‘Srimulat’ dan batik tulis Jawa yang memiliki kehalusan dan corak yang khas.
Adalah Kho Djin Tiong atau yang lebih akrab disapa Teguh, seorang keturunan Tionghoa yang begitu intens membelajari nilai-nilai filosofi, etika, dan estetika Jawa yang terkandung dalam lawakan Mataram sebagai dasar dari pengembangan sandiwara lawak ‘Srimulat’ yang ia pimpin. Kepada seluruh pelawak asuhannya, Teguh menanamkan konsep lawakan ‘Srimulat’, yaitu ‘lucu itu aneh, dan aneh itu lucu.’ Teguh dianggap sebagai seorang guru besar pertunjukan lawak yang telah melakukan pengembangan-pengembangan besar terhadap seni pertujunjukan Jawa tradisional seperti Dagelan Mataram, ketroprak, wayang wong, wayang kulit, ludruk dan lain-lain.

Membangun Jawa Adiluhung
            Banyak lagi orang-orang Tionghoa yang berjasa membangun Jawa yang adiluhung. Go Twin Swan adalah orang tionghoa yang mula-mula mengawinkan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah dengan batik gaya Surakarta dan Yogyakarta, yang kemudian dilegitimasi oleh Bung Karno dan diperkenalkan kepada masyarakat sebagai ‘Batik Indonesia’. Tengoklah pula Koo Kiong Hie, yang dengan tekun berjuang untuk mampu menari, nembang, dan berbahasa Jawa sebaik seniman-seminam Jawa. Juga Koo Kiong Hie (Theo Hidayat), Tio Gwat Bwee (Sri Rejeki), Liem Tan Swie (Wiwiek Widodo), Koo Giok Lian (Nora K. D), dan para pemain Wayang Orang Panggung Darma Budaya yang merupakan orang-orang Tionghoa yang memiliki bakat dan keseriusan dalam kesenian Jawa.
Meskipun Wayang Orang Panggung, Srimulat, dan Batik Indonesia tidak pernah tertulis tentang hasil-hasil karya ‘Jawa’ dari orang-orang Tionghoa, tetapi tidak pernah ada yang menyangsikan bahwa hasil kreatifitas itu bukan ‘Jawa’. Karya-karya orang Tionghoa bukan hanya merupakan aset budaya milik Jawa, atau Surakarta, melainkan menjadi milik bangsa. Citra positif tentang kejawaan orang-orang Tionghoa, baik melalui karya-karya mereka maupun melalui perilaku dalam hubungan masyarakat sehari-hari, tidak perlu disangsikan. Terlepas dari ada atau tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka, sesungguhnya apa yang mereka lakukan menunjukkan adanya keinginan masyarakat Tionghoa untuk “menjadi” Jawa agar dapat diterima oleh masyarakat Jawa.
Buku Menjadi Jawa karya Rustopo ini sangat layak diapresiasi. Sebab buku setebal 420 halaman ini berbeda dengan tulisan-tulisan yang ada sebelumnya yang kebanyakan hanya melihat etnis Tionghoa dari kaca pandang ekonomi atau politik sehingga orang Tionghoa di Jawa terkesan hanya berurusan dengan modal, dan terpisah dari masayarakat. Melalui buku ini Rustopo bermaksud menempatkan Tionghoa sebagai komunitas sekaligus individu yang lebur menjadi satu ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa untuk bersama-sama membangun Jawa yang adiluhung. [*]   

Memongkar Tiang-Tiang Pengangga Imperialisme AS


Jusuf AN*)

Judul Buku : Neo Imperialisme Amerika Serikat
Penulis         : Noam Chomsky
Penerjemah: Eko Prasetyo Darmawan
Penerbit       : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan       : Pertama, November 2008
Tebal           : xxiii + 235 Halaman

Kejayaan Amerika Serika (AS) ternyata hanya sekadar mitos. Apa yang selama ini kita sangka bahwa AS merupakan negeri yang kaya, menjadi kiblat kemodernan dan kemajuan, ternyata palsu. Adalah Noam Chomsky, penduduk asli Amerika, seorang pakar linguistik sekaligus aktifis politik yang telah menyingkap lebar-lebar mitos itu. Menurutnya, AS tak lebih dari negara imperialis yang keji dan biadab. AS tidak bisa disebut maju karena kemajuan itu dibangun di atas penindasan dan pembodohan terahadap berjuta-juta penduduk aslinya dan terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga.
Meskipun Chomsky adalah seorang warga asli Amerika, tetapi ia sangat tidak menyukui politik imperialisme negerinya sendiri. Baginya, penindasan tetaplah penindasan yang mesti mendapat perlawanan. Dan AS, yang terbukti telah menjadi biang kerok kekacauan, kemiskinan, teror, dan kematian massal di mana-mana, tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Eksploitasi ekonomi dan dominasi yang dilakukan AS mesti secepatnya dihentikan!
Perlawanan dari negara-negara Dunia Ketiga sebagai pihak yang paling sering dirugikan dan dikisruhi oleh AS memang sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, masyarakat dalam negeri AS yang notabene lebih dekat dengan Pentagon beserta bau busuk yang dihembuskannya ternyata lebih sering diam dan menutup mata. Ada apa? Mengapa imperiliasisme AS yang demikian kejam tidak mendapat peralawan dari dalam negerinya sendiri? Strategi apa yang dipakai oleh kelas berkuasa di AS untuk menjinakkan warganya sendiri, sebelum kemudian menundukkan negara lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan hanya untuk menguak bagaimana ideologi imperialistik AS ditanamkan secara hegemonik, tetapi juga untuk memahami apa sajakah sebenarnya syarat-syarat yang mesti diciptakan oleh setiap kekuasaan untuk melakukan hegemoni, dominasi dan ekspolitasi.
Buku setelah 255 halaman ini berusaha menyingkap beberapa ‘aparatus ideologi’ yang digunakan oleh kelas berkuasa di AS untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara AS sehingga nilai-nilai, pandangan hidup dan sitem kapitalis diterima sebagai wajar dan normal, bahkan didukung dan sanjung-sanjung.
Jalur pertama dari ‘aparatus ideologis’ yang digunakan adalah pendidikan. Pendidikan di Amerika, sebagaimana yang digambarkan Chomsky, masih jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan. Praktik pendidikan di AS digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu dan diciptakan sebagai institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengindoktrinasi anak-anak muda.
Melalui Komisi Trilateral yang berfungsi untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya pemikiran yang mandiri, kelas berkuasa AS berusaha membendung gerakan-gerakan rakyat. Komisi Trilateral, menurut Chomsky, bertugas mencari cara-cara yang efektif untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme barat dan dominasi elit-elit berkausa sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri dari ilmuwan, para profesional pakar, melalui suatu sistem pengajian terus-menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan nilai-nilai AS.
Karena itu, salah besar jika Indonesia mencontoh (bahkan mencontek) praktek pendidikan yang diselenggarakan di AS. Sebab, pendidikan yang dipraktekkan di AS begitu jauh dari pendidikan demokratik melainkan menggunakan model pendidikan kolonioal yang dipercangih. Pendidikan di AS jauh dari model pendidikan kritis, sehingga kultur sosial dan politik masyarakatnya pun mudah untuk dijinakkan. Kalangan kelas terdidik justru berbondong-bondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan mereka akan bungkam dan menutup mata jika kelas berkuasa AS melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.
Selain jalur pendidikan, kelas berkuasa AS juga sangat menyadari bahwa kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media, dan pengetahuan merupakan elemen kekuasaan yang sangat berpengaruh. Kini, hampir seluruh media massa besar dan tersohor di AS, seperti majalah Times  dan New York Times, telah berhasil dibuat patuh dan menetek pada kekuasan. Maka tidak susah untuk melahirkan rekayasa sejarah yang didukung oleh praktik-praktik manipulatif lainnya.
Tengoklah, betapa kultur politik dan media massa di AS cenderung membisu dan menutup mata atas kejatahan-kejahatan negaranya sendiri. Pembelaan media-media besar di AS atas kekejaman yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina dengan menyebut bahwa tindakan kekerasan negera Israel memang diperlukan untuk menghadapi aksi-aksi Palestina merupakan satu contoh yang disebut oleh Chomsky berasal dari sebuah doktrin yang memiliki pola “marah luar biasa terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan musuh sambil memuja-muja setinggi langit terhadap ketinggian prinsip yang dianut.”
Upaya kelas berkuasa AS dalam “menundukkan pikiran publik,” tentu saja kurang lengkap jika tidak ditopang kaum intelektual agar doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstiusional di dalam negeri.
Itulah tiang-tiang penyangga imperialisme AS yang dibongkar oleh Chomsky. Semua kekuatan ekstra-ekonomi tadi tiada lain digunakan untuk mengukuhkan dan mengawetkan kekuasaan kelas berkuasa AS. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita merobohkan tiang-tiang itu, untuk kemudian menegakkan tiang-tiang baru dalam rangka mensejahterakan dunia.