Kamis, 08 April 2010

Ensiklopedi Kecil Tentang NU


Sebelum putranya lahir, Ny. Halimah sudah yakin, kelak putranya akan menjadi orang hebat. Selain kandungannya mencapai 14 bulan, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa diyakini anaknya akan cerdas, ia juga bermimpi bulan perunama jatuh dari langit dan menimpa perutnya. Dugaan itu semakin menguat manakala putranya telah lahir, dan pada masa kecilnya menunjukkan sifat kepemimpinan. Putra pasangan Ny. Halimah dan Kiai Asy’ari itu seringkali bertindak sebagai penengah dalam setiap permainan. Sementara kalau mendapati salah seorang temannya ada yang melanggar aturan permainan, dia tidak segan-segan menergurnya.

Itulah sekelimit kisah masa kecil Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Jami’iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 M di Surabaya.

Latar belakang berdirinya NU sendiri tidak terlepas dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, yakni lahirnya gerakan Wahabi yang melarang segala bentuk amaliah kaum Sunni. Tujuan NU didirikan adalah untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamakan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah. Dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ (kesepakatan para Sahabat dan ulama), dan al-Qiyas (analogi). Sementara dalam pendekatan dakwahnya NU lebih banyak mengikuti dakwah model Wlisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. 


Secara garis besar pendekatan masyarakat NU dapat dikatergorikan menjadi tiba bagian. Pertama, Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim). Kedua, Tasamuh, sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Ketiga, Tawazun, sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah Swt. Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo tersebut NU dikenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat.
Buku Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah ini memberikan gambaran yang rinci dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.


Pada tahun-tahun awal berdirinya (1926-1942), perjuangan NU dititik beratkan pada penguatan paham Ahlussunah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang.tidak sesuai dengan ajaran Ahlussunah Waljamaah. Pada masa itu, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah" murni (independen). Tetapi pada perkembangannya, tepatnya pada tahun 1952 bersamaan dengan Mu’tamar NU ke- 19 di Palembang NU kemudian menjadi partai politik sendiri. Kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul sebagai kekuatan sangat besar pada pemilu 1955, menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. 


Sepak terjang NU dalam dunia politik mulai terganjal mulai oleh Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang pada tahun 1973 ‘menertibkan’ partai peserta pemilu. Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tohoh NU benar-benar dipinggirkan oleh pemerintahan Orba. Bahkan, pada pemilu 1977 dan 1982 banyak tokoh NU yang masuk penjara dengan aneka tuduhan. 


Setelah malang melintang di dunia politik praktis selama 32 tahun NU memutuskan kembali ke jati dirinya pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Peristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khitah 1926, yakni kembalinya NU ke jami’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan pendidikan. Namun, ketika terjadi euforia pasca jatuhnya Soeharto (1998) pertanda dibukanya keran Demokrasi, NU kembali terjun dalam politik praktis dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa sebagai kendaraan politiknya. Menjadi satu kebanggaan warga NU ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri resmi NU itu, terpilih sebagai Presiden RI keempat (1999). Tapi Gus Dur harus rela turun setelah impeachment dijatuhkan oleh DPR pada 2003. Peristiwa itu kembali menyadarkan para pengurus NU akan komitmennya untuk kembali ke Khitah, yang kemudian diteguhkan kembali dalam Muktamar ke- 31 di Donohudan, Solo (2004). 


Hingga sekarang memang masih banyak tokoh-tokoh NU yang berkecimpung dalam politik praktis, dan itu sah-sah saja. Hanya saja, NU kini mencoba menjaga jarak dengan sesama partai politik, dan lebih mengurusi pendidikan serta lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan.
Sebagai organisasi yang tua, hampir mencapai usia 82 tahun, NU telah melahirkan banyak istilah yang khas. Istilah-istilah khas NU itu sebagian terkait dengan nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini terdapat 57 istilah khas NU yang dijelaskan arti dan sejarah lahirnya istilah-istilah tersebut.


Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliyah yang beberapa di antaranya ditentang dan dianggap bid’ah (sesat) oleh penganut ajaran Islam lain. Hizib, haul, istighasah, kitab kuning, laduni, qunut, siwak, tawassul, terbangan, tingkepan, tirakat, ziarah kubur, untuk menyebut beberapa di antaranya. 


Buku ini juga menyuguhkan kisah hidup 49 tokoh NU yang mungkin dapat dijadikan teladan dan diambil pelajaran dari padanya (uswah). Mereka yang terekam dalam buku ini, mulai dari pemberi restu, pendiri, pejuang, penegak, pembaharu, hingga pelestari, merupakan orang yang memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal perjalanan NU. Memang masih banyak tokoh NU, khususnya yang muda, tidak diulas dalam buku ini. Meski begitu perjalanan hidup 49 tokoh NU dalam buku ini kiranya sudah cukup dapat mewakili tokoh-tokoh lain yang tidak dimasukkan. 


Layak kiranya kalau buku yang merangkum sejarah, istilah, amaliah, dan uswah NU ini disebut sebagai ensiklopedi kecil tentang NU. Membaca buku ini dan mengamati foto-foto berupa peristiwa-peristiwa penting seputar kegiatan NU dan para tokoh NU yang terdapat di sana, pembaca akan mendapat gambaran utuh tentang NU. Buku ini patut di baca, bukan saja oleh warga NU, tetapi siapa saja yang ingin tahu lebih dalam tentang NU.
Judul Buku    : Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah
Penulis           : H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos
Penerbit         : Khalista, Surabaya
Cetakan          : I, 2007
Tebal buku    : xviii+ 322 Halaman (hard cover)
Peresensi        : Jusuf AN*)

Seni Berperang Nabi Muhammad

Selain dikenal sebagai seorang Nabi ummat Islam, Muhammad saw juga merupakan manusia biasa yang sangat dikagumi kecerdasannya, termasuk dalam hal strategi berperang. Setidaknya ada dua kekuatan yang sangat menentukan kemenangan berperang, yakni kekuatan angkatan perang (fisik dan mental) dan persiapan senjata dan logistik. Dan Muhammad saw menyadari benar bahwa kekuatan tersebut merupakan modal awal dalam berperang dan karenanya beliau begitu memerhatikan.

Setelah modal tersebut terpenuhi misi selanjutnya adalah menjalankan integrasi horisontal. Strategi ini bertujuan mendapatkan informasi dan meningkatkan pengendalian atas ekspedisi musuh. Sebelum bertempur di medan perang, beliau terlebih dulu akan mengirimkan intelejen serta pasukan kecil untuk melakukan analisis terhadap kekuatan dan kelemahan pihak lawan, model strategi yang dipraktekkan sejak abad ke 5 oleh Sun Tzu. Sebelum terjun ke medan Badar, misalnya, Muhammad saw terlebih dulu mengutus Ali bin Abi Thalib bersama beberapa Sahabat lain untuk mengumpulkan informasi terbaru tentang tentara Quraisy. Laporan dari para intelegen itu kemudian dianalisis dan dijadikan rujukan perencanaan strategi dan formulasi perang. Hasilnya, 300 tentara Muslim berhasil membuat mundur 1000 tentara Quraisy.

Memang, terkadang jalan kekerasan (perang) tidak selamanya buruk. Untuk melawan Hitler dan Stalin misalnya, perang merupakan salah satu jalan yang tidak keliru. Begitu pun dengan keputusan berperang nabi Muhammad. Nabi Muhammad merasa, tidak bisa mendiamkan kesewenang-wenangan dan tirani suku Quraisy beralarut-larut, dan karenanya Islam mewajibkan mengadakan perlawanan. Peperangan yang ia tempuh merupakan solusi puncak karena terdesak, setelah jalan perdamaian gagal ditempuh dan nyawanya selalu terancam.

Seni berperang Sang Nabi jauh berbeda dengan Machiavelli dalam The Art of War, yang menganggap perang adalah bertempur habis-habisan dan tak kenal perasaan. Muhammad saw tidak demikian. Beliau selalu berusaha meminimalkan korban, perang menyelesaikan konflik secepat mungkin, dan memperlakukan tawanan perang dengan hormat.

Buku berjudul Muhammad saw on The Art of War: Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah ini merupakan upaya menafsir sejarah dan memetakan strategi dan managemen perang Muhammad. Jika kebanyakan buku sejarah Nabi hanya menjawab pertanyaan, when, where, who, dan how, buku ini mencoba menjawab pertanyaan why dengan perspektif managemen strategi. Menariknya, buku ini lebih mengkhususkan pembahasan pada aspek perang yang dialami Muhammad, sebuah pembahasan sejarah yang masih jarang disentuh. Melalui buku ini Yuana ingin mendapatkan mainset baru dari realitas historis peperangan yang dialami Muhammad.

Judul Buku : Muhammad saw on The Art of War:
Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah saw
Penulis : Yuana Ryan Tresna
Penerbit : Progressio, Bandung
Cetakan : I / 2007
Tebal buku : xviii + 182 Halaman
Peresensi : Jusuf AN

Keunggulan Pendidikan Berbasis Komunitas

Gerakan reformasi 1998 yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan. Hingga saat ini sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (mechanic student) sehingga pendidikan bukan lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kelender akedemik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah fovorit.

Kejengkelan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkedilan (Qaryah Thayyibah).

Sekolah Berbasis Komunitas.

Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.

Dalam pandangan Lembaga Qaryah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya—yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal—untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuannya sebagai basis aspirasi bagi kehidupannnya.

Oleh karena itu pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Buku ini—yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah—merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah tandus dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.

Judul Buku : Sekolah Alternatif: Qaryah Thayyibah
Penulis : Ahmad Bahrudin
Penerbit : L-KiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal Buku : xix + 286 halaman
Harga : Rp. 25.000
Presensi : Jusuf AN,Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo

Mengembalikan Fungsi dan Esensi Pendidikan

Prof Kurt Singger pernah mengatakan, sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa.


Setuju atau tidak dengan pernyataan itu, yang jelas sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan orang-orang lemah. Orang lemah memiliki ciri-ciri di antaranya; rendah daya inisiatif dan kreatifitas, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri. Orang lemah selalu ingin mencari "yang kuat" untuk mengagantungkan hidupnya. "Yang kuat" ini, bisa orang, perusahaan, atau negara. Maka, tak heran setiap kali dibuka pendaftaran kerja di perusahaan atau pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) orang-orang lemah ini—dengan bekal ijazah— berduyun-duyun, dan berlomba agar bisa diterima.
Jika hal itu dibiarkan, dengan logika sederhana Sujono mengungkap, tidak mungkin ada orang, perusahaaan, bahkan pemerintah sekalipun mampu menampung orang-orang lemah itu. Sehingga fenomena pengangguran terpelajar adalah konsekwensi logis yang memang harus terjadi.

Berbagai upaya inovasi dan regulagi di bidang pendidikan yang telah dilakukan ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan. Dari survei yang dilakukan Political and Economical Risk Consultan (PERC) diperoleh data, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada para urutan ke 12 dari 12 negara di Asia.

Pastilah ada ketidakberesan yang mendasar dalam sistem persekolahan kita. Betapa tidak? Ketika hendak memperbaiki kualitas misalnya, yang diutamakan selalu memperbaiki aspek sekolah yang sifatnya materiil dan simbolis, seperti gedung, buku pelajaran, nilai Ujian Nasional (UN). Perbaikan kualitas pendidikan seringkali mengabaikan subtansinya yang fundamental. Secara mendasar, tulis Suyono, fungsi dan esensi pendidikan dan pembelajaran telah membias tidak jelas arahnya dan sudah harus dikembalikan.

Kita tahu, pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan akan berkembang jika ada "pemerdekaan." Kebalikannya, pendidikan akan kehilangan ruh ketika tidak ada suasana memerdekakan.

Selama ini sekolah hampir tidak memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi individual dan nilai-nilai prularitas. Dikotomi yang tegas antara guru dan siswa, kurikulum dan kehidupan riil, sekolah dan masyarakat, telah menjauhkan sekolah dari relasi sosial yang sehat. Sujono menyimpulkan, jika tetap tidak terjadi proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan hanya menciptakan orang-orang lemah, tentu "lebih baik tidak sekolah". Kesimpulan itulah yang kemudian dijadikan judul buku ini.

Judul itu, mengingatkan kita pada gagasan kontroversial yang pernah dilontarkan Ivan Illich pada akhir 1970-an, Deschooling Society, masyarakat tanpa sekolah. Jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Dan memang sudah waktunya negara memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mendesain model pendidikan yang realistis dan fungsional sesuai kultur dan kebutuhan.

Kiranya tak perlu kita sibuk mencari siapa "kambing hitam" di balik keterpurukan pedidikan di negeri ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah riil action, dan bukan saling menyalahkan, menggunjing, atau menggerutu. Bukan pula wacana yang melangit serta konsep-konsep yang kadang kontradiktif dalam tataran aplikasi atau semata berhenti di atas kertas.

Pendidikan Tanpa Sekolah

Dalam buku ini, penulis memberikan deskripsi yang tepat menyangkut di antaranya, model pendidikan, kualitas pengajaran, inrfasruktur, kapitalisme global, dan peran negara yang hegemonik. Sujono juga mengarahkan kita semua untuk mencari model pendidikan alternatif yang bisa menggembalikan pendidikan pada fungsi dan esensinya. Ia menunjukkan fakta yang menarik, tentang berdirinya sebuah lembaga pendidikan alternatif berbasis komunitas Qaryah Thayyibah. Lembaga ini mencoba keluar dari mainstrem pada umumnya dengan cara mengembangkan tradisi, kurikulum, serta model pembelajaran secara radikal.
Lahirnya Lembaga Qaryah Thayyibah di sebuah desa terpencil di Salatiga merupakan satu bukti bahwa masyarakat sudah mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jika sekolah formal mengekang kreatifitas, dan tidak demokratis, maka Lembaga Qaryah Thayyibah hadir dengan model pembelajaran yang humanis dan demokratis. Jika YB Mangunwijaya mengatakan, fungsi guru telah berubah menjadi pawang, maka lembaga ini berusaha mengembalikan pawang itu menjadi guru lagi. Yakni sebagai pendamping untuk mengantarkan anak-anak pada kehidupannya nanti.
Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri. Yakni dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai konteks. Sebab sesungguhnya pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya, sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Judul Buku : Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis : Sujono Samba
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal Buku : xiv + 93 halaman
Presensi : Jusuf AN *)

Minggu, 04 April 2010

Hikayat Penyemangat Bagi Pencari Ilmu


Jusuf AN*)
Membaca hikayat para ulama adalah cara paling mujarab untuk membangkitkan kemuliaan jiwa dan menegarkan diri dalam menangung derita ketika menempuh jalan yang lurus. Hikayat serupa pasukan Tuhan yang dengannya Dia meneguhkan hati para kekasih-Nya.


“Dan semua kisah Rasul-Rasul Kami ceritaan kepadamu, Muhammad, agar dengan kisah itu, Kami teguhkan hatimu. (QS. Hud 120). Berangkat dari hal itulah Abd Fattah Abu Ghuddah menulis buku yang berisi kumpulan hikayat para pencari ilmu ini.
Mencari ilmu, kita tahu, merupakan sebuah aktifitas yang begitu mulia. Imam Ali Bin Abi Thalib menandaskan bahwa ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.

Ilmu senantiasa bergandengan dengan kesabaran, cita-cita tinggi, semangat baca, zuhud terhadap dunia, begadang di kala malam, keuletan, doa dan tobat, rendah hati dan rasa syukur. Bermacam goda, coba, dan derita merupakan keniscayaan bagi para pencari ilmu. Pada konteks inilah sebuah hikayat kegigihan para ulama penting untuk dibaca. Menelaah kisah para ulama saleh merupakan cara paling efektif untuk menumbuhkan tekad menguatkan jiwa, meneguhkan cita-cita serta menanamkan akhlak yang lurus. Membaca kisah para ulama yang tak kenal letih mencari ilmu, berjuang menggapai harapan dan cita-cita menjadi cambuk bagi kita untuk memantapkan tujuan agung, niat yang ikhlas, dan ketabahan dalam menghadapi kesulian yang menghadang demi meraih asa.

Perburuan ilmu membutuhkan kesabaran yang sungguh besar. Kemiskinan biasanya menjadi cobaan terberat bagi para pencari ilmu. Lapar dan haus mesti ditanggung demi mengawal kemuliaan dan melatih kesabaran. Abu Ghuddah berusaha mengetuk kesabaran kita dengan menghadirkan kisah Ibn Hazm al-Andalusi, Abdul Walid al-Baji al-Andalusi, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang harus menjual pakaian dan tempat tidur demi menuntut ilmu. Juga kisah Abu Hurairah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Ibrahim An-Nazhzham, Ibnul Muqri, yang tidak sibuk mencari harta benda karena lebih mementingkan ilmu, selain juga pantang menjadi beban bagi orang lain.

Membaca hikayat mereka, kita akan malu dan merasa kalau cobaan yang kita alami dalam pencarian ilmu belum seberapa. Tengoklah liku-liku dan perjalan hidup Syu’bah bin al-Hajjaj, Ahmad bin Hanbal, Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Abu Hatim ar-Razi, dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Betapa sering mereka kehabisan bekal makanan di tanah perantauan saat mencari ilmu. Tetapi mereka tetap tegar. Bagi mereka ilmu jauh lebih berharga ketimbang makanan.

Buku menjadi makanan wajib yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan pencari ilmu. Apa pun akan dikorbankan demi mendapatkan buku yang cari. Kedudukan buku bagi ulama bagaikan roh bagi jasad, atau bagaikan pentingnya kesehatan bagi badan. Kisah-kisah dalam buku ini memberitahukan pada kita ikhwal reaksi para ulama saat bukunya tiada, baik hilang, dirampok, rusak, maupun terbakar. Pernah suatu ketika buku-buku Al-Ghazali dirampok. Al-Ghazali yang tidak ingin peristiwa pahit itu terulang kemudian menghafal seluruh isi buku-bukunya. Dengan demikian, ia tidak takut kehilangan buku bila suatu saat dirampok lagi.


Kedudukan ilmu bagi mereka ibarat air dari kayu hijau, bahkan udara bagi kehidupan manusia. Ibnu Jarir ath-Thabari, Yunus Bin Habib al-Bashri, Abu Bakar al-Anbari, dan Abu Ali al-Farisi adalah orang-orang yang memilih hidup membujang dan konsentrasi penuh untuk mencari ilmu. Mereka tak sanggup berpisah darinya dan tak kuasa melepaskannya sedikitpun. Ilmu bagi mereka layaknya makanan dan obat.

Kisah tentang orang yang membujang disajikan disini bukan untuk mengajak pembaca ikut membujang sepanjang hayat demi berkhidmat pada ilmu. Tujuannya adalah agar biografi keilmuan dan tingkah laku mereka yang sarat keutamaan dapat membangkitkan minat pembaca untuk meneladani mereka (kecuali dalam hal membujang). Dengan begitu, terbentuklah pribadi yang cinta ilmu, larut di dalamnya, dan terpadu menuju arah kebajikan dan takwa.

Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan sederhana, sehingga mudah dicerna siapa saja ini, cukup komplit menguraikan ketinggian cita-cita dan kesabaran para ulama dalam mencari ilmu. Ada delapan tema besar diangkat dalam buku ini. Pertama, tentang kelelahan dan kepayahan para ulama dalam perjalanan menunutut ilmu. Kedua, tentang para ulama yang jarang tidur dan upaya mereka menghindari semua kenikmatan duniawi demi menuntut ilmu. Ketiga, tentang kesabaran mengahadapi penderitaan dan kemiskinan. Keempat, tentang kelaparan dan kehausan para ulama ketika menuntut ilmu. Kelima, tentang ketabahan para ulama yang kehabisan bekal dalam perantauan menuntut ilmu. Keeenam, tentang para ulama yang bukunya hilang, dirampok, terbakar dan terpaksa dijual. Ketujuh, tentang para ulama yang memilih hidup membujang. Kedelapan, tentang para ulama yang berkorban harta benda demi mendapatkan ilmu serta menyusun karya. Delapan tema tersebut dibagi dalam tiga buku, masing-masing: Bertualang Mencari Ilmu, Ketabahan Para Pencari Ilmu, dan Pengorbanan Para Pemburu Ilmu.

Membaca hikayat pada ulama yang tersaji dalam buku ini ibarat meminum obat penyemangat. Gairah kita dalam usaha mencari ilmu akan muncul, pikiran kembali segar, dan kesabaran akan menebal.
resensi dari:
Buku : Seri Kisah Para Pencari Ilmu
(Bertualang Mencari Ilmu; Ketabahan Para Pencari
Ilmu; Pengorbanan Para Pemburu Ilmu)
Penulis : Abd. Fattah Abu Ghuddah
Penerjemah : M. Fatih Mansur & Miftahul Asror
Penerbit : Pustakata Insan Madani, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : Jilid I 209 halaman
Jilid 2 202 halaman
Jilid 3 172 halaman

Buku Amal dan Amal Buku

Jusuf AN *)

Sejak tahun 1954 program Books for Asia Foundasion telah mendistribusikan lebih dari 41 juta buku jurnal ilmiah, materi pendidikan, bahkan buku-buku sastra ke lebih dari 50.000 lembaga akademis maupun non-akademis di negara-negara Asia. Pada tahun 2005 saja, lebih dari 750.000 sumbangan buku senilai US$ 28 juta telah dibagikan ke sekolah-sekolah, universitas, perpustakaan umum, pusat penelitian, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di 15 negara, termasuk Indonesia.

Meskipun jumlah tersebut terbilang banyak, tetapi buku-buku yang disumbangan itu lebih dari 95% merupakan sumbangan yang diberikan oleh penerbit-penerbit di Amerika Serikat. Tentu saja teks di dalamnya tidak menggunakan bahasa Indoensia. Lantas, apakah buku-buku tersebut bisa digunakan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia yang memiliki kualitas pendidikan, seturut International Educational Achievment (IEA), masih rendah, dan tentunya juga memiliki penguasaan bahasa Inggris yang lemah?
Apapun jawabannya, sumbangan buku yang dilakukan Asia Foundation patut diteladani dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Bagaimana pun beramal dalam bentuk buku punya andil yang besar dalam meningkatkan kecerdasan bangsa—tugas yang sebenarnya menjadi agenda besar negara namun kurang mendapat perhatian bahkan nyaris dilupakan.
Kita tahu, hingga saat ini masih banyak sekolah-sekolah, khususnya di kawasan pedesaan yang belum memiliki bahan bacaan penujang pelajaran yang memadai. Belum lagi krisis multidimensi yang berdampak pada kemiskinan dan melambungnya harga-harga, termasuk buku, hingga tak terjangkau kalangan bawah. Hal ini semakin menjauhkan harapan pencerdasan bangsa, apalagi secara merata.

Keluar dari Krisis dengan Buku
Imbauan untuk memerangi kemiskian yang ditujukan kepada pengusaha swasta sudah sering dilontarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR). Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Sebab amal sering kali dilihat sebagai beban. Tekanan. Pengusaha hanya beramal saja tanpa ikut ambil bagian dalam usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini mandeg, karena pada umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.
Ungkapan di atas akan lain jika amal dalam bentuk buku. Amal atau sumbangan buku lebih mudah pemberdayaannya, jelas sasarannya, dan tidak lebih rumit pengorganisirannya.
Meski demikian beramal dalam bentuk buku masih jarang dilakukan, bahkan dianggap hal yang aneh. Kebanyakan orang akan lebih lebar senyumnya jika mendapat bantuan selain buku, misalnya, pupuk, sembako, dan lainnya. Saya tidak sedang mengatakan pupuk dan sembako tidak penting, tetapi sumbangan dalam bentuk buku tentu tak kalah penting.
Saya bukan sedang berkhotbah. Tetapi lihatlah, di sekeliling kita, masyarakat muslim misalnya, lebih senang beramal dalam bahan bangunan atau cash money untuk membangun masjid ketimbang membelikan buku-buku untuk membuat perpustakaan kecil di masjid. Oleh karena menyumbang buku dianggap tidak menjanjikan menggaet massa, maka calon-calon kepala desa, bupati, atau gubernur lebih memilih berkampanye dengan menyumbang hewan kurban atau mengiming-imingi jalan aspal ketimbang membagi-bagikan buku gratis atau membangunkan perpustakaan.
Para dermawan saya kira tidak bisa disalahkan. Mereka menyumbang berdasarkan kebutuhan masyarakat, lebih jelas lagi kebutuhan yang mendesak. Masyarakan menginginkan bantuan yang instan, nyata, bisa langsung digunakan saat itu juga, tidak seperti buku yang (mungkin dalam kaca mata sebagian besar orang) hanya menghabiskan waktu. Fenomena seperti itu merupakan ciri masih rendahnya minat baca di negeri ini. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terjadi. Kita tidak mungkin akan bangkit dari krisis dengan serta merta. Butuh waktu. Amal buku paling tidak bisa membantu, mengokohkan kaki negeri ini untuk berdiri kembali.
Sementara itu, baru-baru ini cukup marak kita melihat aksi proyek buku amal. Buku amal itu sendiri mengandung pengertian, buku yang sebagian atau keseluruhan dari hasil penjualannya disumbangkan. Sasaran yang mendapatkan sumbangan dari penjualan buku amal bisa berbeda-beda. Mulai sumbangan untuk kaum miskin, pendidikan nasional, atau korban bencana alam.
Buku kumpulan puisi 5,9 Scala Richer misalnya, merupakan salah satu contoh buku amal yang hasil penjualannya disalurkan untuk membantu korban bencana gempa di Jogjakarta. Ada juga buku amal Opera Zaman, kumpulan cerpen yang digagas Komunitas Merapi, yang hasil penjualannya disumbangkan untuk biaya pendidikan, dsb.
Baik amal buku maupun buku amal mempunyai kelebihannya sediri-sendiri. Beramal buku secara tidak langsung beramal ilmu. Beramal ilmu berarti membantu meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai pilar terwujudnya masyarakat sejahtera. Sementara penerbitan buku-buku amal, selain dari sisi isi bukunya—bagi pembacanya—menyumbangkan pencerahan atau khazanah pengetahuan, juga memiliki manfaat lainnya.
Namun demikian, secara umum buku amal punya kelemahan yang cukup merisaukan. Ketika sebuah buku amal kurang dimitati di kalangan konsumen, maka dari segi kuantitas beramal-nya juga menjadi kurang maksimal. Karenanya, sudah selayaknya kita untuk melirik buku-buku amal yang telah beredar. Meski pun buku itu barangkali kurang begitu menarik dan kurang berkualitas. Pihak penerbit sendiri menjadi penting untuk membubuhkan label—misalnya di bagian sampul—buku amal yang berfungsi untuk membedakan dengan buku-buku di luarnya.
Sekarang bukan waktu yang tepat lagi menunggu negara bergerak memberikan buku gratis. Tapi andai saja, semoga saya tidak sedang bermimpi, orang-orang yang pemegang kendali negeri ini bisa mencontoh Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim yang mempunyai kebiasaan membelikan buku untuk diberikan sebagai oleh-oleh kepada rekan-rekannya di kabinet. Saya menyarankan kepada mereka untuk membeli buku-buku bertema "anti korupsi."


Menunggu Jin Menulis Buku





Jusuf AN

Di tengah perkembangan teknologi yang menggila ternyata tidak membuat banyak orang untuk melupakan persoalan-persoalan supranatural, alam gaib, khususnya yang berhubungan dengan alam jin, yang notabene sulit didekati dengan paradigma rasional dan atau empirik. Kenyataannya, buku seputar alam jin banyak lahir dan mendapat sambutan meriah dari pembaca.



Kita ingat, pada pertengahan tahun 1995 dunia perbukuan nasional sempat dihebohkan dengan terbitnya buku Dialog Alam Jin (Pustaka Hidayah, 1995). Buku tersebut menyedot perhatian besar dari kalangan pembaca sehingga dalam waktu kurang lebih satu setengah tahun sudah mencapai cetakan kedua belas dan hingga sekarang masih dicari banyak orang. Buku karya Muhammad Isa Dawud itu menarik karena, pertama, pengarang mencoba menggali informasi seputar alam jin melalui wawancara langsung dengan jin muslim sahabatnya. Kedua, mencoba mengungkap berbagai misteri besar dunia, seperti Segitiga Bermuda, Segitiga Formosa, dan rahasia kehebatan pesihir besar David Copperfield.
Perihal apakah Muhammad Isa Dawud benar-benar berdialog dengan jin muslim sahabatnya atau hanya sekadar menjadikan jin tersebut sebagai tokoh fiktif agar ia lebih leluasa menuangkan pemikirannya, allahua’lam. Tapi yang jelas Isa Dawud tidak sekadar asal menulis wawancara khususnya dengan jin yang memiliki nama Musthafa itu. Setiap informasi yang ia dapatkan dari Musthafa berkenaan dengan seluk-beluk dunia jin tidak begitu saja diserahkan kepada pembaca, tetapi dikuatkan kebenarnnya atau dimentahkan dengan dalil-dalil al-Qur’an maupun hadis Nabi Saw. Apa yang dilakukan Isa Dawud sangat tepat mengingat pada dasarnya jin memiliki sifat dan karakteristik yang jauh berbeda dengan manusia. Jin terkenal senang berbohong, lebih-lebih terhadap manusia, tentu ia memiliki peluang lebih besar untuk berlaku demikian.
Selain Muhammad Isa dawud ada beberapa pengarang lain yang menulis buku alam jin dengan bekal dalil-dalil dan pengalaman berinteraksi langsung dengan jin, salah satunya adalah Muhammad Jaad dengan bukunya Kayfiyyah Tarwidh al-Jinn li al-Insan yang kemudian oleh Pustaka Pelajar diterbitkan dengan judul Menaklukan Jin (2008).
Selain dua buku tersebut masih terdapat banyak buku lain dengan tema serupa. Saking menariknya alam jin, dunia sastra pun tak luput menggarapnya. Lewat novel Nar’ Kobar: The Motivator (Akoer, 2007) Andhika Pramajaya turut andil bagian menguak misteri alam jin. Tidak seperti kisah-kisah jin yang menyeramkan, Andhika menggambarkan tokoh utamanya, jin bernama Nar’ Kobar, dengan kocak dan menggelitik. Jin digambarkan sebagai sosok yang ‘manusiawi’: senang menonton TV, belanja di mall, jatuh cinta, menulis diary dan puisi. Tentu saja Andhika tidak hanya bermodalkan imajinasi dalam menulis novel tersebut. Bagi pembaca yang sedikit banyak mengetahui alam jin akan mudah merasakan, betapa Andhika telah melakukan riset tentang alam jin untuk penulisan novelnya. Perihal apakah riset yang dilakukan Andhika berupa studi pustaka atau lapangan (mengunjungi langsung alam jin dan berinteraksi dengan jin) saya sendiri tak dapat memastikan.

Tidak Tuntas
Bagi orang awam yang tidak tahu menahu soal dunia jin, tentu memiliki keingintahuan yang besar tentang alam ini. Namun sayangnya dalam pengamatan saya sampai sekarang belum ada buku tentang alam jin yang benar-benar memuaskan.
Bahwa jin tecipta dari api tetapi tak lagi berbentuk api; jin ada yang muslim dan ada pula yang kafir; jin makan, minum, berpakaian, berumah tinggal, berhubungan seksual dan beranak-pinak, kiranya sudah menjadi pemahaman kita bersama. Bahwa jin berperadaban; jin dapat menjelma menjadi sosok manusia; jin dapat merasuk ke jasad manusia, juga sudah banyak ditulis orang. Tetapi bagaimana bentuk-bentuk rumah jin dan bagaimana pakaian jin itu dibuat, tidak diterangkan oleh Isa Dawud, Muhammad Jaad, Andhika Pramajaya, atau penulis lainnya. Ada memang informasi yang mengatakan bahwa pakaian jin terbuat dari daun papirus. Tapi cara pengolahannya bagaimana, lalu apakah di alam jin juga ada penjahit dan pabrik pakaian?
Orang muslim percaya, bahwa jin merupakan makhluk yang hidup di bumi bersama-sama dengan manusia. Sebagai makhluk umurnya tentu saja dibatasi, meski ia memiliki umur yang mencapai ribuan tahun. Pertanyannya, bagaimana pengurusan jenazah jin? Dikubur atau dibakar atau diapakan? Sampai sekarang belum ada yang mampu memecah teka-teki itu.
Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan yang belum tersingkap seputar alam jin. Saya hanya menderetkan beberapa pertanyaan tersebut untuk menegaskan bahwa buku-buku tentang alam jin masih belum memuaskan.

Batas Pengetahuan
Menjadi satu kaharusan bagi setiap muslim untuk percaya akan keberadaan alam jin. Sebab al-Qur’an sendiri mengatakan dengan tegas akan keberadaan makhluk ini, bahkan jin menjadi salah satu surah di antara 114 surah yang ada di dalam al-Qur’an. Namun demikian ternyata wahyu dan sunnah membatasi pengetahuan manusia perihal seluk-beluk alam jin. Dalil-dalil seputar alam jin hanya menjelaskan secara global, dan karenanya menjadi tugas kita untuk melengkapinya.
Buku-buku seputar alam jin barangkali akan berkutat pada pembahasan yang itu-itu saja sampai ada pengarang yang berani membongkar lebar-lebar tabir kehidupan alam tersebut. Andai saja nanti ada salah seekor jin (karena memang jin memiliki ekor) yang menulis buku (karena memang jin membaca dan menulis) tentang alamnya lalu menyerahkannya kepada penerbitan yang dikelola manusia pastilah akan sangat menghebohkan. Apakah ini mungkin terjadi? Mungkin saja, meskipun pasti akan menimbulkan kontroversi.

*) Jusuf AN, Penggiat Rumah Poetika Yogyakarta



Berbalas Buku: Mengakhiri Bonfire of Liberties


Jusuf AN
Guru, Pecinta Buku asal Wonosobo

SEJARAH bonfire of liberties atau sering juga disebut penghangusan kebebasan adalah sejarah pahit dunia perbukuan. Masih kuat dalam ingatan kita tentang apa yang dilakukan dinasti Qin di Cina daratan dalam mencegah masuknya pengaruh sebuah ajaran hingga mengakibatkan buku-buku Konfusian dibakar tahun 213 SM. Perpustakaan Besar Iskandariah (The Great Library of Alexandria) juga




terbakar pada 47 SM ketika Julius Caesar membakar kapalnya yang sandar di pelabuhan agar tak dirampas Mesir. Api dari kapal yang dibakar itu merembet memusnahkan berbagai bangunan di pelabuhan, termasuk perpustakaan yang disebutkan berisi 400.000 gulung manuskrip di atas kertas papirus itu. Bonfire of liberties masih berlanjut, Kaisar Romawi Theodosius (378-396 M) memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan Pustaka Besar Iskandariah, yang dibangun kembali oleh Antonius pada 41 SM. Perulangan sejarah bonfire of liberties juga terjadi di berbagai kota di Amerika dan Eropa pada abad ke-20, yang paling menonjol adalah pembakaran buku-buku subversif dan bertentangan dengan ideologi Partai Nazi pimpinan Adolf Hitler. Buku-buku dimusnahkan dalam api unggun yang panasnya mencapai 451 derajat Fahrenheit, bulan Mei 1943.

Setelah dua dasawarsa lebih bonfire of liberties terjadi di Jerman, musibah itu menular ke Indonesia. Hampir semua buku Pramudya Ananta Toer dan para penulis ‘kiri’ lainnya dilarang terbit dan ditarik dari peredarannya pada saat Soeharto berkuasa. Setelah Soeharto lengser pun sejarah bonfire of liberties masih berlanjut, pembakaran buku karya Frans Magnis Soeseno berjudul Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (2001) yang dilakukan sekelompok orang hanyalah salah satu contoh dari sekian tregedi bonfire of liberties di negeri yang mengaku berdemokrasi ini.

Bonfire of liberties sungguhlah merisaukan para penulis sekaligus dunia penerbitan. Meskipun sebagian penulis, termasuk Pram, yang bukunya paling banyak dilarang terbit dan dilarang edar, ada yang tidak bergeming dan mengaku diuntungkan dengan pelarangan itu, karena hal itu akan menjadi promosi gratis. Tetapi pihak penerbit dipastikan mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat bukunya ditarik dari pasar, apalagi dibakar.

Tapi beginilah potret sebuah negeri yang masih ragu-ragu dengan ungkapan, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai buku, bukan membredelnya. Bukankah buku yang paling kontroversi sekalipun tidak akan membuat sebuah negara hancur, melainkan justru akan semakin mencerdaskan bangsa itu? Bukankah lebih arif sekaligus menarik dan menggairahkan semangat intelektual jika sebuah buku dibalas dengan buku, bukan api, tinju, atau surat larangan dari pihak berkuasa? Tentu.

Perang Wacana

Buku terjemahan Da Vinci Code karya Dan Brown yang telah terjual di atas 100.000 copy hanya di Indonesia saja merupakan salah satu buku yang telah melahirkan fenomena "buku berbalas buku". Dan Brown, yang mengklaim bahwa novelnya tersebut bukan sekadar fiksi melainkan didasari atas penetian ilmiah mencuatkan beberapa kontroversi. Apakah Yesus benar-benar pernah menikah dengan Maria Magdalena? Apa benar, Maria pergi ke Perancis lalu beranak cucu di sana, dan keturunannya sekarang masih ada? Benarkah pihak gereja menutup-nutupi skandal tersebut selama ribuan tahun lamanya? Maka lahirlah beberapa buku sanggahan Da Vinci Code antara lain Cracking Da Vinci Code: Mematahkan Teori-teori Spekulatif dalan The Da Vinci Code (2005) karya James L. Garlow & Peter Jones, Da Vinci Code Decoded: Menguak Kebenaran di Balik The Da Vinci Code (2005) karya Martin Lunn, Menjawab The Da Vinci Code, dan Pengakuan Maria Magdalena: Saat-saat Intim Bersama Sang Guru (2005) karya Lie Chung Yen.
Beberapa bulan setelah Andre Comte-Spionville menulis Spititualitas Tanpa Tuhan (2008) Abu Sangkan meluncurkan bukunya Spititualitas Salah Kaprah (2008). Ketika penerbit Kompas dulu masih rutin menerbitkan kumpulan cerpen terbaik yang dimuat di Kompas edisi Minggu, Rudi Gunawan kemudian menerbitkan buku Zarima: Kumpulan Cerpen (bukan) Pilihan Kompas (2001). Setelah beberapa bulan Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy terbit, Taufiqurrahman al Azizi menerbitkan trilogi Syahadat Cinta (2007), Musafir Cinta (2007), Makrifat Cinta (2008), . Dalam sebuah work shop penulisan buku di Wonosobo belum lama ini Taufik menuturkan bahwa novel trilogi tersebut merupakan usaha untuk meng-counter kandungan Ayat-Ayat Cinta yang hitam putih dalam memandang agama.

Berbalas buku, adalah berbalas wacana, kalaupun terjadi perseteruan dan bahkan perang antara penulis yang bukunya dibalas dan yang membalas, itu hanya berlangsung di atas kertas sehingga tidak merugikan publik yang memiliki hak untuk membaca, tidak merugikan penulis yang memiliki hak mengeluarkan pendapat, tidak merugikan penerbit yang kini sedang dicekik harga kertas.

Buku berbalas buku kadang-kadang memang tidak saling melengkapi, tetapi cenderung saling berbantah, hal ini begitu kentara dalam buku pemikiran dan sejarah. Buku Bersaksi di Tengah Badai (2003) debutan Wiranto, Panglima TNI saat terjadinya peristiwa Mei 1998 misalnya, setidaknya telah memunculkan dua buku balasan, yakni Konflik dan Integrasi TNI-AD karangan Mayor Jenderal Kivlan Zen (2004) dan Politik Huru-hara Mei 1998 (2003) karya Fadli Zon atau yang lebih dikenal dengan Prabowo Subianto. Saling bantah antara buku-buku tersebut, bukan hanya berkutat pada dalang peristiwa 14 Mei 1998, tetapi juga pada soal pembentukan Sidang Istimewa yang kemudian dikenal sebagai Pamswakarsa.

Keterbukaan

Belakangan ini kita sedang merindukan sebuah buku balasan atas terbitnya buku Membongkar Kegagalan CIA karya Tim Winer. Sayang rasanya kalau buku setebal 832 halaman itu teracam ditarik peredarannya hanya karena dianggap telah merusak citra Adam Malik di mata publik. Menarik buku dari pasar tidak segampang menarik makanan kada luarsa. Tidak cukup hanya dengan alasan untuk ketertiban dan kententraman masyarakat. Masyarakat kita memang mudah terprovokasi, tetapi bagaimana pun sebuah keterbukaan tetaplah lebih menarik dari pada keterutupan. Penarikan buku Memongkar Kegagalan CIA boleh saja dilakukan setelah pengadilan membuktikan bahwa buku tersebut nyata tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Agar bonfire of liberties tidak terulang lagi, mungkin kita patut untuk merenungkan kata-kata Alfred Whitney (1906-1963), seorang pendidik yang juga sejarawan asal Amerika Serikat. Menurutnya, sebuah buku tidak akan pernah bisa dibakar. Ide-ide tidak akan mungkin dipenjarakan. Satu-satunya senjata yang ampuh melawan ide-ide buruk adalah dengan ide-ide yang baik. Dan sumber ide-ide yang baik adalah kebijaksanaan.

Dari Haji Terbitlah buku

Jusuf AN*)

Mekah dan Madinah adalah dua kota yang paling sering dibicarakan sekaligus dirindukan oleh orang Islam. Bukan hanya karena pesona yang dimiliki dua kota tersebut, melainkan lebih pada eksistensi


historisnya yang menyimpan sejarah religiusitas agama hanif. Gua Hira’, Ka’bah, bukit Shafa dan Marwa, Masjid Nabawi, Hajar Aswad, dan Arafah merupakan di antara sederet tempat yang menyimpan jejak para Nabi sehingga sangat wajar kalau membuat hati seorang muslim rindu untuk menziarahinya dengan tujuan untuk menyempurnakan keislamannya, yakni dengan menjalankan ibadah haji.

Sekitar 2,5 juta ummat muslim dari berbagai belahan dunia setiap tahunnya berkumpul menjadi satu di Tanah Suci untuk menjalankan rukun Islam yang kelima itu. Orang-orang rela antri, menabung (uang dan harapan), dan belajar dengan keras tentang tata cara ibadah haji. Pelatihan-pelatian digelar dan buku tuntunan pelaksanaan ibadah haji menjadi benda yang sangat dibutuhkan oleh calon jamaah haji.
Selain kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) dan Departemen Agama yang rutin menerbitkan buku praktis seputar ibadah haji, beberapa penerbit juga ada yang tertarik menerbitkannya. Namun nasib buku-buku praktis ibadah haji tidak seperti buku praktis ‘kehamilan dan melahirkan’ yang laris manis. Buku praktis ibadah haji lumayan seret di pasar, barangkali karena para calon jamaah sebagai target utama diterbitkannya buku macam itu sudah mendapat buku gratis dari pemerintah, KBIH, maupun dari pihak lainnya.

Buku-buku tuntunan ibadah haji tentunya sangat berguna bagi calon jama’ah haji. Betapa seseorang mesti memiliki ilmu yang cukup sebelum dilepas di tempat yang sebelumnya hanya dilihat di televisi dan sajadah. Sekian syarat, rukun, dan doa-doa haji, serta norma dan etika di Tahan Suci mesti dipahami benar sebelum berangkat. Karena itu, semakin banyak buku yang dibaca semakin bagus untuk menambah referensi.
Namun demikian, tidak semua buku tuntunan ibadah haji harus ditelan mentah-mentah. Karena sekitar setahun lalu, Kabupaten Lebak, Banten dihebohkan dengan beredarnya buku tuntunan ibadah haji setebal 86 halaman yang isinya menyesatkan dan berpotensi memecah belah ummat. Buku berjudul Risalah Upacara Ibadah Haji yang dikarang Drs. H. Amos (diduga nama paslu) itu dibagikan secara gratis dengan diletakkan di tempat-tempat umum. Buku itu sangat meresahkan masyarakat karena di dalamnya, antara lain diterangkan bahwa ibadah haji sebagai ibadah menyembah berhala.

Pengalaman Spiritual

Bukanlah Ka’bah, Hijir Ismail, makam Nabi Muhammad dan jejak kaki Ibrahim yang dijadikan sesembahan, melainkan hanya Dzat Yang Mahakuasa. Tawaf, Sa’i, lempar jumrah, wukuf di padang Arafah, Tahalul, dan serentetan ritual penuh makna lainnya adalah upaya menyempurnakan agama dan mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Ibadah haji bukan sekadar ritual tahunan atau wisata spiritual yang menelan banyak ongkos.
Tidak sedikit jamaah haji yang pulang ke Tanah Air membawa banyak pengalaman spiritual selama kurang lebih 40 hari berada di Tanah Suci, tetapi tidak sedikti pula yang pulang hanya membawa air Zamzam, kurma, daging unta, atau bunga Mariam. Sebagian orang ada yang menceritakan pengalaman hajinya lewat lisan, sebagian lagi menelorkannya lewat tulisan untuk kemudian diterbitkan menjadi buku.

Ya, orang yang sudah pernah pergi ke Tahan Suci untuk berhaji memang mempunyai hak untuk bercerita atau menulis tentang pengalamannya, tidak peduli apakah ia seorang pejabat, sastrawan, pegawai bank, atau pedagang. Setiap orang memiliki pengalaman spiritual yang berbeda-beda sehingga buku-buku yang berisi catatan selama menjalankan ibadah haji selalu menarik untuk dibaca.

Sastrawan Danarto pada tahun 1984 menulis buku Orang Jawa Naik Haji, 100 Keajaiban di Tanah Suci yang kocak sekaligus menggetarkan. Soekirno, seorang aktivis LSM, membeberkan apa yang dialaminya selama menjalankan ibadah haji dalam buku Meniti Cahaya (2003). Juga ada Slamet Ristanto, seorang pewagai bank yang juga penulis buku Humor-Humor CALO(n) Haji (2004) dan Penggeli dari Tanah Suci (2005), menulis pengamalan hajinya dalam buku Di Atas Pusaran Ka’bah (2004). Selain itu ada buku Pengalaman Seorang Mualaf: Haji Kelana Mencari Ilahi (1996) oleh Ahmad Thomson, Haji: Sebuah Pengalaman Perjalanan Air Mata, Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh (1993) oleh Musthafa W Hasyim.

Membaca buku-buku memoar perjalanan ibadah haji memiliki keasyikan tersendiri, khususnya bagi pembaca yang belum pernah naik haji. Alam kota Mekah dan Madinah yang eksotis dimana jutaan manusia (juga jin dan malaikat) berkumpul, serta cerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar nalar manusia merupakan jenis bacaan yang tidak membosankan. Membaca buku-buku tersebut di atas, beberapa kali saya tertawa-tawa, tersenyum, tercengang, sekaligus merasa ditantang, “Kalau tak percaya, kau dapat membuktikannya?”

Bagi kita yang pada musim haji tahun ini tetap bertahan di Tahan Air, barangkali tepat untuk kembali mengingat kisah hidup Ibn Mubarrak. Ibn Mubarrak adalah orang yang gagal berangkat haji karena telah mengorbankan hartanya untuk membantu anak yatim dan janda miskin keturunan Bani Allawiyah. Orang sekampungnya yang tahun itu pergi berhaji, banyak yang melihat Ibn Mubarrak ada di Tanah Suci, padahal saat itu dia ada di kampungya. Dalam mimpinya kemudian, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Tuhan telah mengutus malaikat menyerupai wajah Ibn Mubarrak untuk menunaikan hajinya, karena dia telah ikhlas memberikan hartanya untuk orang miskin.

*) Jusuf AN, Pecinta Buku
Guru MTs Negeri Wonosobo