Minggu, 07 November 2010

JEHENNA, Sebuah Novel Super Imajiner

                                 
JUDUL      : JEHENNA, Sahasia  Sebuah Kekuatan Impian
Pengarang  : Yusuf AN
Penerbit     : Diva Press, Yogyakarta (November 2010)

“Jehenna adalah novel yang berani mengambil risiko. Ia menawarkan tema yang pada kebanyakan penulis selalu dihindari, karena ketakutannya dianggap artifisial. Dunia halus, alam lelembut, dengan segala bentuk keanehannya memang riskan dituliskan, tapi di tangan penulis yang tepat, ia bisa menjadi kekuatan dan daya tarik yang luar biasa. Dan, Jusuf A.N. secara meyakinkan bisa melakukannya.” (Joni Ariadinata, cerpenis, redaktur majalah sastra Horison).

“Sebuah novel yang penuh kisah aneh dan tak terduga, membuat pembaca penasaran untuk terus membacanya hingga tamat.” (Ahmadun Yosi Herfanda, redaktur sastra harian Republika).

Jin mendapat izin Allah untuk menyesatkan manusia. Inilah kisah anak manusia yang jatuh bangun melawan godaan Sang Penyesat. Sangat menarik. (Ahmad Tohari, Penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk)
 
Jehenna nama jin itu. Ia telah bersumpah menyesatkan manusia, membalaskan dendam atas kematian kakeknya di tangan Umar, pengikut Muhammad. Namun, ia justru jatuh cinta pada Zaitun, jin muslim dari Mesir. Ia pun turut berlayar ke Jawa guna mengikuti keluarga gadis pujaannya yang hendak berdakwah di Jawa.

Di tanah Jawa inilah, Jehenna bertemu dengan Rijal, pemuda yang diselubungi cahaya doa orang tuanya. Jehenna teringat akan sumpahnya. Dan, Rijal adalah target utamanya!

Rabu, 04 Agustus 2010

Mansur Samin, Pendahulu Andrea Hirata (Kritik atas Tetralogi Laskar Pelangi)

bagian I


:: Nurhady Sirimorok ::



Citizen reporter Nurhady Sirimorok yang sedang menyiapkan buku Analisis Modernitas dengan merujuk pada karya-karya Andrea Hirata (Tetralogi Laskar Pelangi), menurunkan nukilan buku tersebut khusus untuk pembaca Panyingkul! Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan. (p!)


Mansur Samin, penulis angkatan 66 yang cukup dikenal di masanya. Dia lahir di Tapanuli tahun 1930, menerbitkan sajak sejak di usia sangat muda di tahun 1947. Menurut data yang dihimpun H.B. Jassin, dalam bukunya Angkatan ’66: Prosa dan Puisi, tulisannya tersebar di terbitan-terbitan sastra seperti Siasat, Budaya, Merdeka, Indonesia, Konfrontasi, Sastra, Horison, dan lainnya. Dia menyelesaikan sekolah dan mengajar di Solo. Selain menulis sajak, dia juga aktif di teater sebagai sutradara dan menulis cerita serta esai. Setelah pindah ke Jakarta di tahun 1966 dia tenggelam dalam pergolakan mahasiswa di bawah KAMMI dan KAPPI.

Tapi tak banyak yang tahu bahwa kelak di tahun 1994 dia juga menulis sebuah buku cerita anak-anak berjudul "Kuto Anak Desa Terasing". Kisah tentang seorang guru yang datang ke sebuah desa di suatu tempat di Sumatra. Seorang agen modernisme yang ditugaskan negara untuk menjadikan murid-murid sekolahnya lebih ‘beradab’. Anak-anak ini, yang berasal dari suku terasing, dianggap masih terbelakang menurut standar gaya hidup moderen.

Buku kecil ini sangat menarik digunakan untuk melihat pandangan pemerintah Indonesia terhadap ‘masyarakat terasing’. Gagasannya memperlihatkan kesamaan menakjubkan dengan dokumen kebijakan pemerintah yang disiapkan untuk proyek pemukiman masyarakat terasing. Lebih tepatnya, kita bisa mengintip bagaimana wacana tentang masyarakat terasing ini bersentuhan dengan aparatus negara (guru, sekolah dan buku ajar). Serta bagaimana paket modernitas coba didesakkan oleh negara kepada mereka.

"Kuto Anak Desa Terasing" ditulis masa ketika Orde Baru masih berkuasa. Masa ketika modernitas dikampanyekan lewat alat negara secara sistematis dan meluas. Berbeda dengan Laskar Pelangi di mana modernitas menyebar bukan lewat negara—yang sudah terlemahkan oleh kekuatan pranata internasional seperti globalisasi pasar—melainkan lewat media massa dan lembaga non-negara lainnya.

Bila modernitas di novel-novel Andrea muncul dalam bentuk yang lebih beragam, dari sumber yang bermacam-macam, mirip dengan aneka entri dalam wikipedia, maka modernitas dalam "Kuto Anak Desa Terasing", datang dari resep yang diracik oleh satu sumber: pemerintah. Bagian awal kisah anak-anak Laskar Pelangi, yang digambarkan hanya mendapatkan ‘pendidikan’ dan ‘ilmu’ dari sekolah formal memiliki kesamaan dengan kisah anak-anak SD di buku cerita ini.

Forum-forum internasional menyebut mereka masyarakat Indeginuous, atau masyarakat asli. Penamaan semacam ini merupakan sebuah praktik eksklusi. Sara Mills, meminjam teori Foucault, menjelaskan soal ini dalam bukunya Discourse. Ekslusi yang dimaksud adalah keadaan di mana pihak yang punya kuasa melakukan ekslusi (atau inklusi) terhadap sekelompok orang. Pihak berkuasa kemudian harus membuat alasan-alasan pembenar ketika melakukan tindak tersebut. Mereka juga mesti mengkonstruksi ciri-ciri tertentu bagi kelompok-kelompok sasaran ekslusinya, agar proses eksklusi berjalan dengan mulus.

Pemerintah Indonesia menerapkan laku ekslusi seperti ini dengan menggunakan istilah ‘masyarakat terasing’. Mereka lalu membangun serangkaian karakterisasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mereka sebut sebagai terasing. Setelah wacana tentang masyarakat terasing menyebar, masyarakat umum telah paham pemaknaan frasa ini menurut versi pemerintah. Kerjaan berikutnya adalah meluncurkan kebijakan untuk mendesakkan gagasan, pranata dan gaya hidup baru kepada kelompok-kelompok ini.

Pelukisan tentang masyarakat terasing menunjukkan adanya konstruksi sebuah wacana mendasar yang menggambarkan ‘Mereka’ dan ‘Kita’ yang berbeda secara radikal. Perbedaan ini kelak mengharuskan adanya kebijakan yang berbeda. Pun ini bisa berarati terciptanya sebuah proyek ‘pembangunan’ baru!

Wacana tentang sebuah kelompok ‘masyarakat terasing’ yang benar-benar unik dan beda dalam nyaris segala hal dengan ‘Kita’ masyarakat ‘beradab’, muncul di banyak jenis media dan sudah diketahui banyak orang. Gambaran tentang masyarakat terasing ini sudah dicetak di banyak jenis produk kebijakan, disebarkan secara interen di departemen pemerintahan yang ditugaskan untuk menangani mereka, Departemen Sosial. Lalu di media massa cetak maupun audiovisual sebagaimana diceritakan (baca esai Christoper Duncan, Savage Imagery: (Mis)representation of the Forest Tobelo of Indonesia). Serta di acara pameran (lihat tulisan Greg Acciaioli, ‘Archipelagic Culture’ As an Exclusionary Government Discourse in Indonesia). Laskar Pelangi bisa dibaca pula sebagai praktek eksklusi. Andrea Hirata membedakan secara absolut antara kehidupan moderen dan tradisional. Antara Paris dan Belitong. Antara Ikal dan Tuk Bayan Tula.

Demikian luas dan banyaknya wacana ini bersebar, sehingga banyak orang tidak lagi sadar dari mana asalnya, dan apa gagasan yang melandasinya.


Sekarang mari kita lihat apa yang ditulis Mansur Samin tentang masyarakat yang Lain dan Terbelakang ini.

Menurut buku cerita ini, masyarakat terasing, sebelum diintervensi oleh negara, adalah masyarakat yang terbelakang. Sejak di halaman pertama sang penulis, dengan wacana masyarakat terasing di kepalanya, secara terbuka sudah memproklamirkan bahwa, “Suku Lubu adalah orang-orang terbelakang.” Selanjutnya, di sepanjang buku itu Mansur Samin menggambarkan satu demi satu karakteristik masyarakat terasing menurut wacana yang sudah diamini masyarakat luas.

Penyatuan ‘komunitas’ ke dalam satu unit tunggal yang dilabeli ‘suku terasing’ sangat diperlukan sebelum melekatkan karakteristik yang berlawanan secara radikal, dengan masyarakat moderen, kepada komunitas tersebut. Tentu sulit melaksanakan intervensi bila mereka dilihat sebagai masyarakat yang beragam. Dari kacamata birokrat, akan terlalu ribet mengurusi masyarakat yang berbeda kebutuhan. Dengan demikian terciptalah entitas tunggal ‘Mereka’, suku terasing

Mansur Samin dengan lihai membentuk karakteristik masyarakat terasing yang, secara mengejutkan, mirip dengan indikator-indikator buatan pemerintah ketika merujuk ke kelompok masyarakat tersebut. Sebuah dokumen kebijakan Departemen Sosial, Sejarah Perkembangan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, terbit tahun 2003, memperlihatkan dengan jelas kesamaan tersebut. Di sana termuat daftar kriteria bila sebuah masyarakat hendak kita disebut Komunitas Adat Terpencil ini.

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa nama ‘masyarakat terasing’ diubah menjadi Komunitas Adat Terpencil setelah terjadi desakan kuat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999. Meskipun perubahan itu cuma pada sebatas nama, bukan mengubah persepsi masyarakat umum terhadap mereka.

Kembali ke dokumen tadi. Daftar dalam produk kebijakan itu digunakan untuk menyiapkan sebuah proyek yang dulunya di namakan resetlement masyarakat terasing. Konstruksi kriteria-kriteria tersebut bisa diringkas menjadi, satu, mempunyai kesamaan penampakan fisik, kehidupan sosio-kultural dan model perumahan. Dua, hidup di tempat-tempat terpencil yang sangat sulit dijangkau, berpindah-pindah, atau bertebaran dalam kelompok-kelompok kecil. Tiga, masih berburu, mengumpul-meramu, dan melakukan perladangan berpindah. Empat, menjalani kehidupan tidak sehat bagi diri mereka dan bagi lingkungan sekitarnya. Lima, berperilaku tertutup terhadap orang luar. Enam, sistem sosial, ideologi dan teknologi mereka masih tetap tradisional dan statis.

Semua ini bisa terjadi karena, tujuh, mereka tidak bisa diakses oleh pelayanan pemerintah.

Kembali ke cerita Mansur Samin, penampakan fisik yang dilukiskan di sampul depan buku cerita itu secara grafis sudah menunjukkan apa yang diinginkan sang pengarang. Seorang anak pria mengenakan cawat. Dia mengangkat dan menekuk tangan kanannya, memperlihatkan lekuk otot lengan atasnya, sebuah tanda maskulinitas dan kekuasaan—atau kesuksesan. Sementara tangan lainnya menggenggam sebuah buku. Buku tulis sekolah. Anak itu menjadi penyedot perhatian utama sampul tersebut, sebagai latar depan. Di belakang sana seorang pria yang juga mengenakan cawat sedang mencangkul dengan gerakan yang berkesan sarat beban. Tidak jauh darinya seorang wanita merunduk dalam-dalam untuk menanam benih di tanah yang telah digemburkan.

Gambaran ini menegaskan perbedaan antara generasi muda yang sudah tersentuh sekolah dan generasi lebih tua, yang hanya bisa bertani. Lalu dikesankan bahwa kehidupan sang pemuda lebih mudah ketimbang yang tua. Bahwa dia berdiri di latar depan dan orang-orang tua bekerja berat di latar belakang, menunjukkan keutamaan hidup yang dijalankan sang anak. Sekolah menjadi lebih penting daripada pertanian.

Namun sebelum kita melihat bagaimana elemen sekolah menyentuh anak itu, sebagaimana yang tergambar pada sampul depan, kita lihat dulu siapakah mereka pada mulanya? Dalam proyek-proyek pembangunan ini biasa disebut sebagai survai awal, untuk membuat baseline data, demi menghasilkan studi kelayakan proyek.

Di bagian awal cerita, sang penulis memperkenalkan ‘suku Kubu’, sebuah ‘komunitas’ tunggal yang seragam. “Suku L[K]ubu itu disebut orang-orang kota pula orang suku Pagur […] Mereka jarang mandi. Mereka berpakaian yang terbuat dari kulit kayu. Mereka mencari nafkah dengan berhuma dan menyadap pohon enau,” (hl.1) dan mengenai tempat tinggal, “Rumah mereka terbuat dari kayu beratap lalang.” (hl.1).

Bila melihat fokalisasinya, atau siapa yang menceritakan siapa, orang-orang tak beridentitas dari pegunungan ini dianggap sebagai satu unit tunggal, lalu secara pasif diberi label oleh ‘orang kota’—juga kategori tunggal yang menyeragamkan orang yang tinggal di kota—sebagai ‘suku Kubu’ atau ‘suku Pagur’. Karakter-karakter yang dilekatkan Mansur Samin kepada mereka adalah, hidup tidak teratur sehingga tidak sehat karena jarang mandi, berbudaya tradisional karena mengenakan anyaman kulit kayu, dan tempat tinggal mereka tidak permanen dan tidak elok sebagaimana rumah ‘orang kota’.

Pandangan pemerintah terhadap masyarakat terasing atau komunitas adat tertinggal nyaris sama dengan pelukisan Mansur Samin terhadap anak-anak suku Kubu. Mereka menjadi obyek di ‘luar sana’. Mereka yang berbeda samasekali dengan Kita. Kelak di sepanjang cerita mereka hanya bersuara ketika mereka mengeluarkan ujaran yang sesuai dengan paradigma arus utama, modernitas. Tidak ada tempat bagi suara lain, kecuali untuk dikalahkan atau untuk diubah. Mirip dengan kisah kekalahan Tuk Bayan Tula dalam Laskar Pelangi.

Selain itu, dengan memasukkan ‘orang kota’ sebagai sebuah frasa untuk merujuk pada kelompok tunggal tak bernama dalam cerita ini, maka dengan sendirinya terciptalah dua kelompok yang berlawanan secara mutlak. Maka terlihatlah, satu, ketimpangan temporal, yakni lintasan masa yang dibutuhkan untuk mencapai ‘kemajuan’, tentu dalam takaran orang kota. Anak-anak Suku Kubu butuh waktu untuk menjadi Orang Kota. Dua, ketimpangan ruang atau perbedaan cara pemanfaatan lahan. Orang Kota tinggal di kota, atau daerah sub-urban, dan menggunakan lahannya dengan efisien dan teratur. Sedangkan Suku Kubu berpindah-pindah dan hanya berladang. Tiga, ketimpangan etik, yaitu standar prilaku. Yang pantas dan tidak pantas menurut ‘orang kota’ mutlak dianggap lebih baik.

Dengan begitu terbentuklah hirarki antara mereka yang menjadi obyek amatan dan mereka yang mengamati. Antara mereka yang diceritakan dan mereka yang bercerita.

Pun, deskripsi di atas memperlihatkan kesamaan yang mengejutkan dengan kriteria-kriteria masyarakat terasing ciptaan pemerintah. Ambil misal, tidak mandi berarti hidup secara tidak sehat, mengenakan cawat bisa ditafsir oleh pembaca berparadigma moderen sebagai kehidupan sosiokultural yang tradisional dan statis. Sekali lagi, aspek-aspek ini agaknya bertemu dalam satu belanga, untuk meracik sebuah penganan bernama, ‘masyarakat terasing’, yang terbelakang dan benar-benar beda dengan ‘orang kota’.

Laku membandingkan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang benar-benar beda terbaca secara konsisten di sepanjang buku cerita ini. Tetapi tingkat perbedaan ini semakin menipis seiring semakin lama dan intensnya persentuhan mereka dengan negara.

Gradasinya kelainan itu bermula dari perbedaan yang benar-benar mencolok sebelum masuk sekolah—salah satu alat negara paling dominan dalam cerita ini. Mereka kemudian diakui sebagai bagian dari anggota masyarakat luas dengan posisi yang lebih rendah. Ini digambarkan lewat perwakilan masyarakat terasing di dalam cerita ini, anak-anak Suku Kubu. Akhirnya, masyarakat subordinat ini mengalami transformasi menjadi orang-orang yang menjalani gaya hidup moderen. Gaya hidup yang dipromosikan negara, yang dalam cerita ini muncul dalam bentuk seorang guru (Pak Abdi) dan sekolah. Dalam hal ini, buku Mansur Samin berbeda dengan Andrea Hirata. Dalam Laskar Pelangi, peradaban moderen tiba-tiba sudah diketahui dengan begitu luas dan beragam. Dari nama penyanyi sampai ilmuan abad ke 17. Dari nama taksonomi tumbuhan sampai tontonan eksotis ala Afrika. Dari mana anak-anak ini belajar, kita tidak mendapat jawaban memuaskan.

Namun yang penting di sini adalah kedua buku ini menggambarkan dua model penetrasi budaya moderen ke masyarakat Indonesia. Meski kita tidak diceritakan dengan baik dari mana Andrea memperoleh seluruh keping peradaban moderen itu, dengan mudah kita bisa menunjuk media internet, pengalamannya sekolah di luar negeri, bacaannya, dan pergaulannya. Sementara bagi anak-anak Suku Kubu sumber satu-satunya adalah sekolah. Tetapi keduanya melakukan praktek eksklusi serupa. Sehingga meski caranya beda namun tujuannya sama. Memenangkan peradaban moderen.

Tatkala anak-anak Suku Kubu diperbandingkan dengan orang-orang lain, deskripsi tiga di antara mereka—yaitu Kuto [tokoh utama], Nihu dan Sabe—berbunyi sebagai berikut: “Orangtua mereka baru lima tahun bermukim di desa Dolok. Tapi kebiasaan-kebiasaan dari desa yang lama masih sukar diubah. Rambut mereka gondrong. Jarang mandi. Kaki mereka tak bersepatu. Pakaiannya masih tetap yang terbuat dari kulit kayu.” (hl.2) Perlu dicatat, gambar sampul menampilkan sang tokoh mengenakan cawat, dalam teks bukunya dia memakai kulit kayu. Bisa jadi penggambar sampul tidak membaca isi bukunya.

Deskripsi tertulis tentang ciri anak-anak Kubu itu, meski tidak diperbandingkan dalam bentuk tulis, terlihat sangat kontras dengan gambar-gambar Pak Abdi yang tercetak di dalam buku tersebut. Sang guru dilukiskan sebagai pria paruh baya yang mengenakan kemeja dan celana yang apik dengan rambut yang juga tersisir rapih. Sementara pencitraan sang guru sebagai sosok intelektual dari masyarakat moderen diperkuat dengan kehadiran kacamata bergagang tebal yang di kenakannya (terdapat di gambar-gambar pada halaman 7, 18, 54 dan 84. Hanya di halaman 37 sang guru digambarkan tidak mengenakan kacamata sebab dia tengah bekerja secara fisik.)

Demikianlah salah satu pemunculan negara secara langsung dalam cerita ini. Singkatnya, negara hadir di buku ini melalui latar utamanya, sekolah, dan salah satu tokoh utamanya, Pak guru Abdi. Sekolah dianggap sebagai tempat yang seharusnya mengajarkan anak-anak suku Kubu itu bagaimana berintegrasi dengan sebuah gaya hidup baru yang dibawa oleh negara kepada mereka, yaitu gaya hidup moderen.

Tentu yang dimaksud negara adalah pemerintah, yakni pemerintahan formal hirarkis terpusat yang pucuknya berada di Jakarta, di pulau Jawa. Hirarki ini juga terlihat dalam kecakapan guru-guru yang muncul dalam Kuto Anak Dusun Terasing. Seorang guru bernama Togar—kita tahu biasanya nama ini berasal dari Sumatera Utara yang secara geografis lebih dekat dari latar cerita buku ini—digambarkan sebagai guru yang cepat naik pitam, sehingga memukul Kuto. Tindakan inilah yang membuat sang guru dipindahkan dari sekolah itu, karena dia juga mengalami pemukulan dari ayah Kuto. Sebuah tindakan balasan yang kelak disesalkan oleh sang penulis, kemungkinan karena dianggap main hakim sendiri dan dengan demikian melanggar peraturan hukum formal negara. Sementara guru yang digambarkan cakap, serba bisa dan baik hati, namanya berakar dari bahasa sansakerta, Abdi, sebuah nama populer di pulau Jawa. Guru ini tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana Pak Togar.

Dalam cerita ini, apa yang dibawa Pak Abdi adalah pembangunan ala negara, yang datang sebagai “aksi, intervensi dan bertujuan untuk pengembangan.” Ini menyiratkan bahwa pihak yang membawa intervensi lebih dahulu sudah mengetahui tujuan pembangunan yang benar, apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang perlu dan tidak perlu, bagi kelompok sasarannya. Demikian pemikiran Des Gasper dalam bukunya, The Ethics of Development: from Economism to Human Development, yang terbit tahun 2004 silam. Dan pembangunan ini meliputi seluruh aspek hidup masyarakat sasaran. Hasilnya adalah adaptasi terhadap ‘budaya’ yang dibawa oleh negara, dalam hal ini, ‘budaya’ yang meliputi segala sesuatu, dari budaya material hingga ideologi. Negara menginginkan sebuah perubahan radikal lewat paksaan halus yang berstatus legal.

Dalam keadaan seperti inilah seluruh gagasan dan cara hidup kelompok sasaran takluk di hadapan elemen-elemen modernitas yang didesakkan negara. Kita lihat saja bagaimana ketika berhadapan dengan kertas ujian sekolah, “Kuto sadar. Kini dia berjuang dengan kebodohannya. Dia berikhtiar mengerjakan soal-soal yang belum selesai digarapnya. Ternyata dia tidak sanggup.” (hl. 13) Standar baru yang harus dianutnya memaksa dia menjadi pengikut yang tertatih-tatih tatkala mencoba menggabungkan diri. Orientasi modernitas yang baru diadopsinya mengharuskan Kuto menjadi orang bodoh. Ini tentu mengingatkan kita tentang kisah kekalahan Tuk Bayan Tula dari Laskar Pelangi. Pengikut-pengikutnya, Mahar dan Flo, akhirnya ‘sadar’ dan kembali menekuni ‘sekolah’.

Tentu saja Kuto tidak sendiri, seluruh ‘komunitas’ digambarkan menyesali diri karena tidak menjalani pendidikan (sekolah formal) yang baik. Sebuah ‘kesalahan’ yang membatasi ruang gerak mereka, sehingga hanya bisa bekerja fisik untuk mencari nafkah (hl. 24). Lagi-lagi, kerjaan berkerah putih, sebagaimana yang diinginkan Ikal dari Laskar Pelangi, menjadi tujuan akhir pencapaian seorang manusia. Menggantikan kerja fisik adalah keahlian saintifik, yang diasumsikan tidak terdapat dalam masyarakat tradisional, yang hanya bisa didapatkan lewat guru sekolah formal yang berpengetahuan luas dan membaca buku teks. Ulasan mengenai kemanjuran pengetahuan masyarakat lokal terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Salah satu yang paling berpengaruh adalah buku Linda Tihuwai Smith, Decolonizing Methodology.

Akhirnya dengan mengikuti resep dunia moderen untuk mendapatkan ilmu, Kuto berhasil membuat tercengang orang-orang dewasa sekampungnya yang tidak pernah bersekolah formal.

“Dari mana kau tahu Nak, cara penumpasan tikus itu?” tanya Bapak itu.
“Dari membaca buku pak,” jawab Kuto. (hl. 45-47)


Penyeragaman nilai sering diikuti dengan banyak intervensi pembangunan oleh negara. Katanya sih untuk mengurangi ketimpangan, antara masyarakat yang dianggap sudah maju dan yang masih terbelakang. Mansur Samin melakukan hal ini dengan menuturkan sebuah cerita dari pengalaman di tempat lain. Meminjam suara sang guru, penulis mengenang bahwa suatu waktu ada seorang anak yang sangat bodoh namun belajar demikian keras di sekolah, dan “karena ketabahan anak itu [dalam belajar] ia menjadi pandai. Cita-citanya tercapai. Hidupnya bahagia.” (hl. 9)

Pendidikan formal dan cita-cita, dua aspek yang menjadi alat penuntun penting dalam Laskar Pelangi rupanya muncul juga di sini. Namun kali ini, tujuannya bukan sekolah di Perancis dan jalan-jalan keliling Eropa dan Afrika, tapi hidup bahagia. Di luar itu, tuturan sang guru ini terasa terlalu sederhana. Belajar keras belum tentu membuat orang menjadi pandai. Menjadi pandai belum tentu membuat cita-cita seseorang bisa tercapai. Dengan mencapai cita-cita belum tentu hidup seseorang otomatis menjadi bahagia. Logika kelewat sederhana seperti ini membuat saya bertanya-tanya, apakah ini bisa membentuk cara berpikir anak-anak yang membacanya, dan apa efeknya di masa dewasanya?

Sekolah juga mengajarkan tatakrama sekolah mainstream Indonesia. Tentu saja adab ini diimpor dari tempat lain yang dianggap sudah lebih maju. Ini sudah terjadi di bagian-bagian awal cerita, “Tanpa bersalam, Kuto menerobos pintu. Lalu duduk seenaknya di bangku belakang.” (hl. 6) Sekolah membawa bersamanya aturan yang harus dipatuhi oleh subyeknya. Dengan masuk sekolah, suka tidak suka, Kuto harus memberi salam sebelum masuk pintu dan harus duduk dengan ‘sopan’ di bangku depan. Daftar aturan berperilaku ini sebenarnya tidak begitu esensial dalam menerima pelajaran. Bukankah semakin nyaman posisi duduk, semakin mudah seseorang menerima pelajaran?

Selain itu, retorika yang dipakai Mansur Samin adalah gaya orang kota yang menceritakan keterbelakangan anak ‘suku Kubu’. Sebuah nada yang mengundang pembaca yang seadab dengannya ikut mencela perilaku Kuto tanpa sedikitpun kesempatan Kuto bersuara menurut tatanan perilaku yang dia pelajari sejak kecil di komunitasnya. Setiap masyarakat punya nalar sendiri yang seharusnya diberi kesempatan untuk diperdengarkan. Namun hierarki harus ditegakkan. Negara mesti sebagai pihak benar dan berkuasa. Segala yang berbeda darinya sebaiknya berusaha mengubah diri.

Nasionalitas, atau lebih dikenal dengan istilah, semangat kebangsaan, adalah isu penting lain yang diperkenalkan kepada masyarakat terasing. Sebabnya bisa macam-macam. Pertama, ketakutan akan penyebaran komunisme. Sesuatu yang dihembuskan AS selama perang dingin ke seluruh permukaan bumi. Kedua, pandangan pra-kolonial kerajaan-kerajaan Jawa di mana hutan-hutan sekitar menjadi tempat orang melarikan diri dari kontrol negara (baca Christopher Duncan 2001: 54-55). Ketiga, kebutuhan konstan watak inheren pemerintahan untuk memerintah dan mengatur rakyatnya, ‘governmentality’ (lihat Tania Murray Li 1999: 296). Semua ini menjadi daftar alasan terkuat bagi negara untuk menyuntikkan ideologi ini kepada warga yang dianggap sebagai ‘masyarakat terasing’.

Di Indonesia, cara umum yang diyakini bisa menanamkan semangat nasionalitas adalah dengan mengadakan upacara penaikan bendera. Di banyak tempat sampai sekarang, setiap Senin pagi, selain di beberapa hari peringatan nasional, seluruh insititusi formal melaksanakan upacara. Biasanya seluruh pesertanya berdiri dan berjajar lurus untuk melakukan hormat secara fisik, dengan menyentuhkan ujung telunjuk kanan ke dahi, sementara bendera nasional dinaikkan, dan diiringi lagu kebangsaan.

Pak Abdi juga menjelaskan aspek penting lain dari modernitas: teknologi. Dia misalnya menjelaskan pentingnya teknologi transportasi kepada murid-murid. Katanya, teknologi yang satu ini krusial untuk melebarkan wawasan mereka, menyeberangi ‘komunitas tertutup’ mereka, agar bisa menjadi sebuah masyarakat ‘beradab’. (hl. 13-14). Akan tetapi, sebuah percakapan antara seorang murid dengan gurunya tidak hanya menjelaskan ketertutupan tetapi bahkan mengungkap sebuah ketidaktahuan yang mutlak:

“Kalian sudah pernah melihat mobil?”
Tidak ada yang menyahut (hl.14)

Pilihan cara mengekspresikan ketidaktahuan anak-anak ‘suku terasing’ akan teknologi bernama mobil ini memantulkan cara bagaimana masyarakat yang tersubordinasi harus ditaklukkan dalam cerita. Pertama-tama mereka seharusnya tidak boleh bicara, mereka adalah yang diamati dan diceritakan. Di hadapan modernitas mereka harus terlihat bodoh dan bungkam. Mereka baru diberi kesempatan bicara untuk menampakkan ketaklukannya, atau sudah mengaku sebagai menganut keyakinan modernitas yang didesakkan kepada mereka.

Karena mereka bodoh dan tak pernah lihat mobil, maka dibutuhkan sebuah intervensi, agar mereka bisa pintar dan mengenal teknologi. Untuk itu, mereka harus melihat dan mengalami penggunaan teknologi. Maka sang guru harus membawa murid-muridnya ke kota. Tetapi ketidaktahuan akan keberadaan mobil bukanlah satu-satunya alasan di sini. Lebih dari itu, makna atau fungsi mempunyai teknologi juga harus diketahui. Mereka harus tahu apa artinya mempunyai mobil dan akses jalanan. Pun, mereka mesti paham untuk apa teknologi itu wajib mereka miliki.

Selanjutnya, menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena dalam logika sistem pendidikan Orde Baru, seluruh pertanyaan harus ada jawabannya, dan jawaban itu harus disediakan oleh negara. Demikian tulis Barbara Leigh dalam artikelnya Learning and Knowing Boundaries: Schooling in New Order Indonesia yang terbit tahun 1999 silam. Jawabannya adalah, tentu saja, peningkatan tingkat ekonomi. Jawaban yang selalu menjadi perangsang utama gerak pemerintah Indonesia pada masa itu.

Dalam cerita ini, sang guru menjelaskan risiko ekonomis yang bisa menimpa murid-murid belianya bila tidak mempunyai akses transportasi: tengkulak atau rentenir bisa menaikkan harga sekehendak hatinya. Ini kemudian memprovokasi salah satu murid untuk bertanya mengapa mereka belum punya akses jalan. Jawabnya tentu tidak boleh politis. Tentu sang guru tidak boleh (bisa?) menjawabanya dengan menunjukkan ketimpangan pembangunan di daerah pedalaman bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Yang salah adalah mereka sendiri. Sehingga untuk mendapatkan akses jalan, menurut versi sang guru, mereka harus belajar lebih keras supaya mereka semua bisa menjadi insinyur yang sanggup membangun jalan, “untuk menghubungkan desa kita dengan kota” (hl. 61-62).

Selain itu, demi menyuntikkan gaya bernalar kaum neo-klasik, murid diberi wejangan untuk menabung uang, untuk mengkonsumsi komoditas yang diproduksi sendiri (sebagai ganti produk impor), dan tidak meminjam uang dari tengkulak (yang menyiratkan adanya promosi untuk lebih percaya kepada sistem bank formal). Semua elemen ini termasuk dalam daftar promosi pemerintah paling populer di masa itu.

Teknologi untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi adalah program anak emas Orde Baru, dan banyak bagian dari buku cerita anak-anak ini dipersembahkan untuk tujuan itu. Teknologi lain yang secara mengherankan bisa diajarkan oleh sang guru adalah, teknologi menenun dan mewarnai: dari membuat kilang penenun sampai membuat campuran warna (hl. 33-34). Dia juga pandai membuat irigasi dan bendungan kecil. Dia lebih tahu daripada warga bahwa dinding irigasinya harus lebih landai dan mesti lurus (hl. 21-23).

Teknologi bertani juga dikuasainya, misalnya teknik menanam padi (hl. 16). Teknologi pertanian menetap ini merefleksikan antipati tradisional pemerintah Indonesia terhadap perladangan berpindah. Mereka sangat percaya bahwa perladangan berpindah selalu menyebabkan kerusakan hutan (hl. 17). Padahal berbagai penelitian telah membuktikan hal sebaliknya. Nature and the Colonial Mind karya William M adams dalam buku Decolizing Nature menjelaskan penelitian di berbagai tempat, misalnya di Afrika, yang menunjukkan bahwa peladangan berpindah justru berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem di sebuah tempat. Teknik tradisional yang ternyata punya logika pelestarian. Ini cuma salah satu contoh dari sekian banyak penelitian yang memperlihatkan hasil serupa.

Selain pelukisan negara yang telah disebutkan di atas, pencitraan akan superioritas, kedemawanan, dan watak paternalistik negara juga muncul dalam nuansa yang agak beda. Imajinasi yang sering kita lihat di mana negara memandang ke bawah menyaksikan rakyatnya yang sedang beraktifitas, juga muncul dalam porseni di sekolah. “Di tribun telah hadir Bapak Camat dan pejabat-pejabat kecamatan lainnya. Kepala-kepala sekolah SD juga telah hadir di situ.” (hl.51)

Kendali negara terhadap keamanan, sebuah isu yang maha penting bagi pemerintahan Soeharto yang militeristik, juga mencuat dalam buku ini. Fenomena ini muncul ketika Pak Abdi menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa hanya polisi yang boleh menangkap kriminal (hl.61). Sebuah pemerintahan moderen memang membutuhkan formalisasi dan pemusatan untuk segala soal, menangani masalah kejahatan adalah salah satunya. Main hakim sendiri menjadi istilah yang sangat populer di masa Orde Baru, yang kelak turut membantu kerja panjang sejak masa kolonial untuk memberangus atau memanipulasi berbagai macam institusi hukum adat. Asumsinya, masyarakat tidak mampu menangani masalah sendiri.

Penelitian Craig Thorburn mengenai konflik yang terjadi di Maluku justru menunjukkan hal sebaliknya. Di Tual, Maluku Tenggara, justru hukum adat yang sudah sekian lama dilemahkan pemerintah masih sanggup dihidupkan kembali oleh rakyat untuk menghentikan konflik berdarah di sana. Ini bisa kita baca dalam esaiThorburn berjudul Musibah: Penguasaan sumberdaya, tindak kekerasan, dan penemuan kembali tradisi di Kepulauan Kei, dalam buku suntingan P.M. Laksono dan Roem Topatimasang, Ken Sa Faak, yang terbit tahun 2004.

Untuk memungkinkan semua penyuntikan paradigma pembangunan negara bisa terjadi, tentu dibutuhkan tokoh tipe-ideal ala Orde Baru. Penokohan Pak Abdi harus sempurna. Untuk itu dia diceritakan sebagai seorang yang baik hati dan berperangai lembut terhadap murid-muridnya. Mansur Samin harus membuat dia terlibat intens dalam mengatasi seluruh permasalahan di desa tempatnya mengajar seorang diri. Dan ini sebaiknya berlangsung di sepanjang pemunculannya dalam buku cerita ini.

Hasilnya, warga menjadi sangat hormat kepadanya. Demikan hormat warga kepadanya sehingga kepala desa harus melakukan gerakan tradisional penghambaan diri seperti yang terlihat pada gambar di halaman 18. Di sana kepala desa digambarkan merunduk sambil kedua tangannya berhimpun di depan selangkangannya. Matanya menatap ke kaki Pak Abdi yang sedang menjelaskan dengan gerakan tangan, dengan mengenakan kemeja licin dan kacamata bergagang tebal.


Apakah yang akan, atau dibayangkan akan, dicapai dari intervensi semacam ini? Dalam realitas, sebagaimana disebut sebelumnya, intervensi ini terejawantahkan dalam program perumahan masyarakat terasing. Gerard Persoon, seorang peneliti dari Belanda, dalam artikelnya Isolated Islanders or Indigenous People: The Political Discourse and its Effect on Siberut (Mentawai Archipelago, West-Sumatra), terbit di Jurnal Antropologi Indonesia tahun 2002, merangkum tujuan dari elemen-elemen program perumahan itu:

“Pertanian permanen (sebagai ganti perladangan berpindah-pindah), perumahan permanen berisi anggota keluarga inti (sebagai ganti perumahan nomaden yang berkelompok), penganutan agama-agama resmi (ketimbang agama-agama alami atau paganisme), pakaian yang ‘beradab’ (dan bukan cawat), makanan yang berasal dari pertanian (bukan makanan dari rimba liar), pelayanan kesehatan moderen (sebagai ganti dukun) dan pendidikan moderen (daripada tidak berpendidikan sama sekali).”

Dalam Kuto Anak Dusun Terasing, dua dari elemen di atas tidak terlihat: agama resmi dan pelayanan kesehatan moderen, namun kesamaannya terlalu banyak untuk kita abaikan sebagai rujukan. Elemen-elemen yang hilang ini kemungkinan tidak hadir karena sudah cukup berhasil disebarkan. Penelitian Christoper Duncan tentang program ini di Indonesia juga mengatakan demikian.

Bagaimana dengan realitas dalam cerita kita? Mari kita lihat pesan terakhir dari sang tokoh utama kita. Dia tuturkan tuah ini pada pidato perpisahan sebelum dia berangkat ke sebuah tempat yang tidak kita ketahui—bukankah kesuksesan membawa promosi?

“Anak-anakku! Kalian adalah harapan bangsa. Pada kalianlah terletak tanggungjawab membangun negara kita. Betapa kaya bumi kita Indonesia ini, kalianlah yang kami harapkan kelak untuk mengolahnya. Kalianlah yang harus menjadi ahli di kemudian hari. Kalian telah saya didik agar mempercayai tenaga sendiri. Kalian telah pulah saya latih untuk menyayangi lingkungan kita yang indah ini.” (hl 82-83)

Dan seperti sihir, di akhir cerita, anak-anak dari ‘suku terasing’ itu semua bisa sekolah hingga perguruan tinggi, dan mendapatkan gelar sebelum kembali ke desa. Ada yang mengajar di sekolah, yang lain menjalankan pabrik kertas dan memimpin industri penambangan emas milik negara yang kebetulan sekali berada di dekat desa mereka. (hl.86-91).

Tiba-tiba saya teringat sebagian besar anggota Laskar Pelangi yang ketika dewasa bisa mencapai cita-cita masa kecilnya. Bagaimana bisa akhir cerita Laskar Pelangi sangat mirip dengan Kuto Anak Dusun Terasing? (bersambung)

*Citizen reporter Nurhady Sirimorok dapat dihubungi melalui email nurhadys@gmail.com

Minggu, 01 Agustus 2010

Cita-cita Tionghoa Muslim Indonesia

Ridwan Munawwar

SEJARAH etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejarah represi dan kekerasan. Sejarah mencatat, di Batavia pada 1740, terjadi pembantaian massal orang-orang Tionghoa oleh VOC yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa. Pada masa Perang Jawa (1825-1830), terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa karena dicurigai sebagai pembawa sial yang mengakibatkan pasukan Diponegoro kalah oleh Belanda.

Lalu pembunuhan massal orang-orang Tionghoa oleh pasukan republik (1946-1948), peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Jawa Barat, pembunuhan dan pengejaran orang-orang Tionghoa pada tragedi 1965 karena dituduh sebagai agen pemerintah komunis RRT, dan terakhir peristiwa berdarah Mei 1998 di Jakarta.
Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia.


Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa-Indonesia.

Titik kulminasi dari ketimpangan ini adalah saat Orde Baru mempraktikan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Tionghoa. Pupuslah pula impian Bung Karno untuk menciptakan indigeneus nation (negara suku) yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia, berdampingan dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya, sehigga orang-orang Cina tidak perlu melakukan asilimasi untuk menjadi warga Indonesia (Susetyo,2002).

Kini, meskipun masa Orde Baru telah usai, praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa masih saja sering terjadi sehingga dengan demikian ini adalah masalah sosial kita yang tetap aktual untuk dibahas. Diakui atau tidak, meskipun saat ini terdapat berbagai ragam interaksi sosial antara kaum Tionghoa-Indonesia dengan kaum pribumi, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih dianggap sebagai orang asing yang belum dapat sepenuhnya melakukan pembauran dengan kelompok mayoritas pribumi di Indonesia. Mereka bagaikan air dengan minyak.

Penelitian sosial yang dilakukan oleh Afif dalam buku ini berusaha melihat lebih dalam dan lebih dekat persoalan identitas sosial kaum Tionghoa muslim Indonesia. Dengan pendekatan ideografis, yakni menggunakan analisis terfokus pada individu-individu Tionghoa muslim sebagai unit analisisnya, Afif berhasil menggali temuan-temuan yang cukup berharga, terutama tentang bagaimana pergulatan masing-masing individu itu dalam membentuk identitas sosial positif di tengah masyarakat yang langsung-tidak langsung mengalienasikannya.

Totok dan Peranakan
Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.

Identitas sosial positif adalah suatu tata-ekspresi diri terhadap yang-lain. Identitas sosial adalah bagaimana menghadirkan diri secara baik ke dalam persepsi yang-lain. Tata-ekspresi diri yang positif akan menghasilkan penilaian dan afirmasi yang baik pula dari yang-lain. Dengan demikian, identitas sosial adalah jalan menuju kerekatan sosial dalam masyarakat.

Ada dua strategi dalam pembentukan identitas sosial positif, pertama adalah strategi kategorisasi diri, dan kedua strategi hibridasi. Yang pertama adalah peleburan. Yang kedua adalah identitas sosial yang terbentuk dari interaksi personal dengan satu komunitas atau lebih.

Orang-orang Tionghoa totok lebih dekat pada kebudayaan asli mereka (baca: kebudayaan Tionghoa) dibanding orang-orang peranakan. Dan ini memiliki korelasi dengan bagaimana kemudian mereka mempertahankan identitas sosial positif yang berhasil didapat dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan modal wawasan kultural dan keunikan diri yang dimilikinya, para Tionghoa totok muslim ini cenderung melakukan optimalisasi dan eksplorasi keunikan diri yang dimiliki untuk kemudian menjadi suatu hal yang bisa disumbangkan pada masyarakat.

Namun identitas sosial positif yang mereka dapatkan sering kali terganjal oleh suatu stigma yang berkenaan dengan kemusliman. Mereka yang kerap kali dicap sebagai sesuatu yang oportunistik. Untuk menepis mitos ini, Afif melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan para subjek berkenaan dengan motivasi mereka menjadi muslim.

Dari lampiran verbatim wawancara, dapat kita lihat dan rasakan bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dalam memeluk agama Islam. Dulu, Junus Jahja pun pernah menepis stigma ini dengan mengatakan bahwa ia memang mencintai Islam sebagai ajaran yang sempurna, universal dan memiliki nilai keadilan dalam ajaran tata-sosialnya. Universalisme Islam selaras dengan suara penuh harapan para subjek yang diangkat dalam buku ini, yakni “kami percaya identitas-identitas yang berbeda bisa disatukan dengan harmonis.

=============================
Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta
Cetakan: Perta,a, Juni 2010
Tebal: xxxiv+228 halaman
sumber: suaramerdea.com

Kamis, 03 Juni 2010

BUKU KITA DI NEGERI JIRAN

Jika melihat angka jumlah penduduknya, negeri ini adalah pasar yang besar bahkan untuk penerbitan buku. Tapi kita tahu persis hal ini: jumlah pembaca buku hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta orang itu --setelah "dikorting" dengan jumlah mereka yang belum atau tak bisa membaca. Banyak penyebabnya.

Tetapi soal penyebab itu sudah luas dibahas dan sejauh ini memang belum ada perubahan berarti. Yang menarik, dan karenanya Ruang Baca kali ini memilih untuk menuliskannya, adalah perluasan pasar bagi buku- buku kita yang terjadi berkat meningkatnya tren "impor" bukubuku terbitan Indonesia oleh penerbit di Malaysia, tetangga kita yang berbahasa ibu serumpun dengan bahasa Indonesia. Kata "impor" sengaja diletakkan di antara tanda petik, sebab yang terjadi bukan sepenuhnya impor --bahwa penerbit di Malaysia memasukkan buku Indonesia dalam wujud aslinya, secara fisik. Yang sebenarnya berlangsung adalah penerbit di Malaysia membeli hak penerjemahan.

Dari situ bisa dipahami bahwa akan ada pengalihbahasaan. Atau, dengan kata lain, kenyataan bahwa kedua negara itu berbahasa serumpun sama sekali tak serta-merta berarti bahasa yang berlaku di satu negara bisa langsung dipahami oleh pembaca di negara yang lain.

Apa yang terjadi itu mungkin sedikit mengurangi optimisme sudut pandang tentang perluasan pasar, atau ekspansi daya jangkau. Sebab, bagaimanapun, perpindahan bukubuku itu tak langsung; pembaca tidak membeli dan membaca versi aslinya.

Hal itu berbeda dengan, misalnya, buku berbahasa Inggris yang diterbitkan, katakanlah, di Tristan dan Cunha, pulau terpencil di antara Cape Town, Afrika Selatan, dan Buenos Aires, Argentina. Peluang buku itu untuk dibaca oleh jauh lebih banyak orang dalam versi orisinalnya, kalaupun ada, lebih besar, bukan saja di lingkungan negara berbahasa Inggris, melainkan juga pembaca di negara- negara lain yang memahami bahasa Inggris. Atau sebutlah karyakarya Derek Walcott, penyair, dramawan, dan penulis dari St. Lucia, negara pulau di Laut Karibia, yang mendunia --dan kemudian membuat Walcott masuk ke jajaran para pemenang Nobel untuk sastra.

Tetapi, apa pun, meningkatnya gairah pembelian hak penerjemahan buku-buku Indonesia oleh penerbit di Malaysia, harus diakui, merupakan perkembangan yang sulit untuk tidak membuat bungah. Akan lebih bagus lagi bila dari perkembangan demikian ini bertambah pula golongan penikmat buku yang, seperti kata William Lyon Phelps, seorang pengarang dari Amerika Serikat, membaca untuk mengingat dan mencerap isi buku yang mereka baca, bukan yang sebaliknya.

Di luar itu, paling tidak bagi penerbit, ada tambahan penopang untuk tetap melanjutkan usahanya -- beroperasi, meningkatkan produksi, dan barangkali juga berekspansi, yang ujung-ujungnya adalah manfaat bagi pembaca buku. Syukur-syukur bila daftar pengimpornya bertambah.
sumber:http://www.ruangbaca.com

Bagaimana Memilih Penerbit

Banyak orang telah memiliki naskah tulisan yang telah siap dicetak, tapi tidak tahu akan dikirimkan ke penerbit mana. Penulis juga tak memiliki cukup informasi tentang aturan main dalam dunia penerbitan. Berikut ini beberapa tips memilih penerbit:


1. Kenali penerbit yang dituju, berikut divisi-divisi mereka, pastikan karya yang kita kirimkan sesuai dengan karakter divisi penerbit tersebut.

2. Cari data tentang penerbit-penerbit sejenis, semakin banyak, semakin banyak pilihan pula bagi kita.

3. Kenali produk yang telah mereka luncurkan, sosok bukunya. Kenali kemampuan penetrasi pasar (lihat buku-buku yang telah diterbitkan, sudah berapa kali cetak ulang dan sebagainya, ini cuma satu indikasi). Kenali profesionalitas mereka, cari info dari yang telah menulis di sana lebih dulu, untuk mengetahui seberapa jauh penerbit tersebut menghargai karya penulis-penulisnya, dan menunaikan hak royalti dengan baik, kenali pula standar royalti di sana.

4. Kenali keinginan kita tentang buku yang nanti diterbitkan (konsep, ukuran, desain dan seterusnya), kombinasikan dengan profesionalitas penerbit tersebut.

5. Buatlah prioritas 1-10 penerbit yang kita inginkan. Kirimkan naskah kita pertama-tama ke penerbit yang kita anggap paling cocok menerbitkan buku-buku kita.

6. Kirimkan naskah dalam bentuk disket dan hard copy, juga dalam bentuk email. Kalau kita menginginkan naskah dikembalikan apabila tidak dimuat, kirimkan juga sebuah amplop kosong yang bertuliskan nama kita dan alamat dan sudah dibubuhi perangko, hingga tidak merepotkan penerbit.

7. Sertakan juga biodata dan kalau ada keterangan tentang karya-karya yang telah dimuat di media mana saja. Sertakan sinopsis cerita, sertakan pula karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Ini akan memudahkan ilustrator nantinya.

8. Rajinlah mengontak penerbit yang bersangkutan, apakah naskah kita sudah mereka terima, tanyakan pula kira-kira berapa lama kita harus menunggu. Kalau mereka tidak punya jawaban mungkin kita bisa memberikan alternatif (3 bulan? 6 bulan? 12 bulan? Tentu disesuaikan dengan posisi bargaining power kita. Kalau baru pertama kali, mungkin jangan langsung menggetok penerbit dengan hanya memberi waktu 3 bulan). Untuk diketahui, biasanya penerbit perlu waktu 2-3 bulan untuk menerbitkan sebuah buku.

9. Meskipun itu buku pertama kita, tidak berarti penulis tak berhak untuk memberikan usul-usul atau meminta beberapa terms, selama wajar. Misal minta gambaran sampul buku, minta bisa mengintip duluan soal sinopsis yang mereka buat, tanya apakah boleh memberi alternatif dari kita sendiri?
sumber:http://www.ruangbaca.com

Minggu, 09 Mei 2010

Lomba Menulis Resensi Buku Lewat Facebook 2010

Deadline: 18 Juli 2010


Dalam rangka memasyarakatkan minta baca dan menulis, serta ikut serta menjadikan facebook sebagai ajang kreasi positif bagi generasi muda muslim, kami dari Penerbit
Oase Qalbu, didukung penuh oleh penulis buku Badiatul Muchlisin Asti, Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG), Yayasan Mutiara Ilma Nafia, dan Lembaga Pelatihan Penulisan dan Penerbitan Buku (LP3B), berinisiatif mengadakan Lomba Menulis Resensi Buku Lewat Facebook 2010.
Lomba ini terbuka untuk para sahabat muda muslim pengguna facebook di mana pun berada dengan syarat usia maksimal 25 tahun.

CARA MENGIKUTI:
1. Buatlah sebuah resensi dari buku berjudul “Saat Kuncup Cinta Mekar di Hati: Panduan Islami untuk Remaja Agar Cintanya Tak Berbuah Petaka” karya Badiatul Muchlisin Asti yang diterbikan GAUL (imprint dari penerbit Oase Qalbu yang mengkhususkan diri pada penerbitan buku-buku remaja) pada April 2010.

2. Resensi ditulis dalam 400 - 500 kata (atau 1 – 1,5 halaman A4) Times New Roman ukuran 12, spasi satu.
3. Tulis hasil resensi di catatan (note) facebook kamu sendiri, tag minimal 20 teman, dan cantumkan “RESENSI BUKU SAAT KUNCUP CINTA MEKAR DI HATI” di subjek catatan (note) tersebut. Jangan lupa menyertakan gambar cover buku.
4. Untuk memudahkan penilaian, jika kamu belum jadi teman di facebook OASE QALBU, maka silakan add/ tambahkan sebagai teman OASE QALBU terlebih dahulu.
5. Selain menulis resensi di catatan (note) facebook kamu, kirimkan hasil resensi tersebut ke email: penerbitoaseqalbu@gmail.com, dengan menuliskan RESENSI BUKU SAAT KUNCUP CINTA MEKAR DI HATI sebagai subjek email. Jangan lupa untuk menyertakan data diri lengkap (nama, alamat rumah, alamat facebook, nomor HP).

HADIAHNYA:

1. Paket buku senilai Rp 3.000.000,- untuk 6 (enam) pemenang.
-3 (tiga) pemenang utama masing-masing mendapatkan paket buku senilai Rp 750.000,-
-3 (tiga) pemenang harapan masing-masing mendapatkan paket buku senilai Rp 250.000,-
2. Voucher Pelatihan Cara Mudah Menulis Buku (CMMB) dari Lembaga Pelatihan Penulisan dan Penerbitan Buku (LP3B) senilai Rp 1.200.000,- untuk 3 orang pemenang utama dan 3 pemenang harapan (masing-masing voucher senilai Rp 200.000,-).
3. Piagam penghargaan untuk seluruh pemenang.


KRITERIA PENILAIAN:
1. Kelihaian menguraikan isi buku secara padat, menarik, komunikatif, dan informatif.
2. Kedalaman analisis isi buku, seperti manfaat, kekurangan, dan kelebihan buku.
3. Kualitas dan kuantitas komentar teman-temanmu di masing-masing catatan (note) facebook.

Resensi ditunggu sampai dengan 18 Juli 2010.
Pengumuman pemenang tanggal 31 Juli 2010 lewat FB dan blog Oase Qalbu.

Hasil resensi pemenang juga akan ditampilkan di FB dan blog Oase Qalbu. Pemenang akan dihubungi lewat telepon.

CATATAN PENTING:
-Judul buku hadiah tidak bisa dipilih dan sesuai stock buku yang ada.
-Hadiah akan dikirimkan ke alamat pemenang.
-Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.
-Buku “Saat Kuncup Cinta Mekar di Hati” dapat dipesan langsung kepada kami. Informasi cara pemesanan bisa diperoleh di FB Oase Qalbu atau blog: http://penerbitoaseqalbu.blogspot.com.

Kamis, 08 April 2010

Ensiklopedi Kecil Tentang NU


Sebelum putranya lahir, Ny. Halimah sudah yakin, kelak putranya akan menjadi orang hebat. Selain kandungannya mencapai 14 bulan, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa diyakini anaknya akan cerdas, ia juga bermimpi bulan perunama jatuh dari langit dan menimpa perutnya. Dugaan itu semakin menguat manakala putranya telah lahir, dan pada masa kecilnya menunjukkan sifat kepemimpinan. Putra pasangan Ny. Halimah dan Kiai Asy’ari itu seringkali bertindak sebagai penengah dalam setiap permainan. Sementara kalau mendapati salah seorang temannya ada yang melanggar aturan permainan, dia tidak segan-segan menergurnya.

Itulah sekelimit kisah masa kecil Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Jami’iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 M di Surabaya.

Latar belakang berdirinya NU sendiri tidak terlepas dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, yakni lahirnya gerakan Wahabi yang melarang segala bentuk amaliah kaum Sunni. Tujuan NU didirikan adalah untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamakan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah. Dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ (kesepakatan para Sahabat dan ulama), dan al-Qiyas (analogi). Sementara dalam pendekatan dakwahnya NU lebih banyak mengikuti dakwah model Wlisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. 


Secara garis besar pendekatan masyarakat NU dapat dikatergorikan menjadi tiba bagian. Pertama, Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim). Kedua, Tasamuh, sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Ketiga, Tawazun, sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah Swt. Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo tersebut NU dikenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat.
Buku Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah ini memberikan gambaran yang rinci dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.


Pada tahun-tahun awal berdirinya (1926-1942), perjuangan NU dititik beratkan pada penguatan paham Ahlussunah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang.tidak sesuai dengan ajaran Ahlussunah Waljamaah. Pada masa itu, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah" murni (independen). Tetapi pada perkembangannya, tepatnya pada tahun 1952 bersamaan dengan Mu’tamar NU ke- 19 di Palembang NU kemudian menjadi partai politik sendiri. Kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul sebagai kekuatan sangat besar pada pemilu 1955, menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. 


Sepak terjang NU dalam dunia politik mulai terganjal mulai oleh Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang pada tahun 1973 ‘menertibkan’ partai peserta pemilu. Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tohoh NU benar-benar dipinggirkan oleh pemerintahan Orba. Bahkan, pada pemilu 1977 dan 1982 banyak tokoh NU yang masuk penjara dengan aneka tuduhan. 


Setelah malang melintang di dunia politik praktis selama 32 tahun NU memutuskan kembali ke jati dirinya pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Peristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khitah 1926, yakni kembalinya NU ke jami’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan pendidikan. Namun, ketika terjadi euforia pasca jatuhnya Soeharto (1998) pertanda dibukanya keran Demokrasi, NU kembali terjun dalam politik praktis dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa sebagai kendaraan politiknya. Menjadi satu kebanggaan warga NU ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri resmi NU itu, terpilih sebagai Presiden RI keempat (1999). Tapi Gus Dur harus rela turun setelah impeachment dijatuhkan oleh DPR pada 2003. Peristiwa itu kembali menyadarkan para pengurus NU akan komitmennya untuk kembali ke Khitah, yang kemudian diteguhkan kembali dalam Muktamar ke- 31 di Donohudan, Solo (2004). 


Hingga sekarang memang masih banyak tokoh-tokoh NU yang berkecimpung dalam politik praktis, dan itu sah-sah saja. Hanya saja, NU kini mencoba menjaga jarak dengan sesama partai politik, dan lebih mengurusi pendidikan serta lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan.
Sebagai organisasi yang tua, hampir mencapai usia 82 tahun, NU telah melahirkan banyak istilah yang khas. Istilah-istilah khas NU itu sebagian terkait dengan nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini terdapat 57 istilah khas NU yang dijelaskan arti dan sejarah lahirnya istilah-istilah tersebut.


Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliyah yang beberapa di antaranya ditentang dan dianggap bid’ah (sesat) oleh penganut ajaran Islam lain. Hizib, haul, istighasah, kitab kuning, laduni, qunut, siwak, tawassul, terbangan, tingkepan, tirakat, ziarah kubur, untuk menyebut beberapa di antaranya. 


Buku ini juga menyuguhkan kisah hidup 49 tokoh NU yang mungkin dapat dijadikan teladan dan diambil pelajaran dari padanya (uswah). Mereka yang terekam dalam buku ini, mulai dari pemberi restu, pendiri, pejuang, penegak, pembaharu, hingga pelestari, merupakan orang yang memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal perjalanan NU. Memang masih banyak tokoh NU, khususnya yang muda, tidak diulas dalam buku ini. Meski begitu perjalanan hidup 49 tokoh NU dalam buku ini kiranya sudah cukup dapat mewakili tokoh-tokoh lain yang tidak dimasukkan. 


Layak kiranya kalau buku yang merangkum sejarah, istilah, amaliah, dan uswah NU ini disebut sebagai ensiklopedi kecil tentang NU. Membaca buku ini dan mengamati foto-foto berupa peristiwa-peristiwa penting seputar kegiatan NU dan para tokoh NU yang terdapat di sana, pembaca akan mendapat gambaran utuh tentang NU. Buku ini patut di baca, bukan saja oleh warga NU, tetapi siapa saja yang ingin tahu lebih dalam tentang NU.
Judul Buku    : Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah
Penulis           : H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos
Penerbit         : Khalista, Surabaya
Cetakan          : I, 2007
Tebal buku    : xviii+ 322 Halaman (hard cover)
Peresensi        : Jusuf AN*)

Seni Berperang Nabi Muhammad

Selain dikenal sebagai seorang Nabi ummat Islam, Muhammad saw juga merupakan manusia biasa yang sangat dikagumi kecerdasannya, termasuk dalam hal strategi berperang. Setidaknya ada dua kekuatan yang sangat menentukan kemenangan berperang, yakni kekuatan angkatan perang (fisik dan mental) dan persiapan senjata dan logistik. Dan Muhammad saw menyadari benar bahwa kekuatan tersebut merupakan modal awal dalam berperang dan karenanya beliau begitu memerhatikan.

Setelah modal tersebut terpenuhi misi selanjutnya adalah menjalankan integrasi horisontal. Strategi ini bertujuan mendapatkan informasi dan meningkatkan pengendalian atas ekspedisi musuh. Sebelum bertempur di medan perang, beliau terlebih dulu akan mengirimkan intelejen serta pasukan kecil untuk melakukan analisis terhadap kekuatan dan kelemahan pihak lawan, model strategi yang dipraktekkan sejak abad ke 5 oleh Sun Tzu. Sebelum terjun ke medan Badar, misalnya, Muhammad saw terlebih dulu mengutus Ali bin Abi Thalib bersama beberapa Sahabat lain untuk mengumpulkan informasi terbaru tentang tentara Quraisy. Laporan dari para intelegen itu kemudian dianalisis dan dijadikan rujukan perencanaan strategi dan formulasi perang. Hasilnya, 300 tentara Muslim berhasil membuat mundur 1000 tentara Quraisy.

Memang, terkadang jalan kekerasan (perang) tidak selamanya buruk. Untuk melawan Hitler dan Stalin misalnya, perang merupakan salah satu jalan yang tidak keliru. Begitu pun dengan keputusan berperang nabi Muhammad. Nabi Muhammad merasa, tidak bisa mendiamkan kesewenang-wenangan dan tirani suku Quraisy beralarut-larut, dan karenanya Islam mewajibkan mengadakan perlawanan. Peperangan yang ia tempuh merupakan solusi puncak karena terdesak, setelah jalan perdamaian gagal ditempuh dan nyawanya selalu terancam.

Seni berperang Sang Nabi jauh berbeda dengan Machiavelli dalam The Art of War, yang menganggap perang adalah bertempur habis-habisan dan tak kenal perasaan. Muhammad saw tidak demikian. Beliau selalu berusaha meminimalkan korban, perang menyelesaikan konflik secepat mungkin, dan memperlakukan tawanan perang dengan hormat.

Buku berjudul Muhammad saw on The Art of War: Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah ini merupakan upaya menafsir sejarah dan memetakan strategi dan managemen perang Muhammad. Jika kebanyakan buku sejarah Nabi hanya menjawab pertanyaan, when, where, who, dan how, buku ini mencoba menjawab pertanyaan why dengan perspektif managemen strategi. Menariknya, buku ini lebih mengkhususkan pembahasan pada aspek perang yang dialami Muhammad, sebuah pembahasan sejarah yang masih jarang disentuh. Melalui buku ini Yuana ingin mendapatkan mainset baru dari realitas historis peperangan yang dialami Muhammad.

Judul Buku : Muhammad saw on The Art of War:
Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah saw
Penulis : Yuana Ryan Tresna
Penerbit : Progressio, Bandung
Cetakan : I / 2007
Tebal buku : xviii + 182 Halaman
Peresensi : Jusuf AN

Keunggulan Pendidikan Berbasis Komunitas

Gerakan reformasi 1998 yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan. Hingga saat ini sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (mechanic student) sehingga pendidikan bukan lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kelender akedemik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah fovorit.

Kejengkelan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkedilan (Qaryah Thayyibah).

Sekolah Berbasis Komunitas.

Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.

Dalam pandangan Lembaga Qaryah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya—yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal—untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuannya sebagai basis aspirasi bagi kehidupannnya.

Oleh karena itu pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Buku ini—yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah—merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah tandus dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.

Judul Buku : Sekolah Alternatif: Qaryah Thayyibah
Penulis : Ahmad Bahrudin
Penerbit : L-KiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal Buku : xix + 286 halaman
Harga : Rp. 25.000
Presensi : Jusuf AN,Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo

Mengembalikan Fungsi dan Esensi Pendidikan

Prof Kurt Singger pernah mengatakan, sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa.


Setuju atau tidak dengan pernyataan itu, yang jelas sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan orang-orang lemah. Orang lemah memiliki ciri-ciri di antaranya; rendah daya inisiatif dan kreatifitas, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri. Orang lemah selalu ingin mencari "yang kuat" untuk mengagantungkan hidupnya. "Yang kuat" ini, bisa orang, perusahaan, atau negara. Maka, tak heran setiap kali dibuka pendaftaran kerja di perusahaan atau pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) orang-orang lemah ini—dengan bekal ijazah— berduyun-duyun, dan berlomba agar bisa diterima.
Jika hal itu dibiarkan, dengan logika sederhana Sujono mengungkap, tidak mungkin ada orang, perusahaaan, bahkan pemerintah sekalipun mampu menampung orang-orang lemah itu. Sehingga fenomena pengangguran terpelajar adalah konsekwensi logis yang memang harus terjadi.

Berbagai upaya inovasi dan regulagi di bidang pendidikan yang telah dilakukan ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan. Dari survei yang dilakukan Political and Economical Risk Consultan (PERC) diperoleh data, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada para urutan ke 12 dari 12 negara di Asia.

Pastilah ada ketidakberesan yang mendasar dalam sistem persekolahan kita. Betapa tidak? Ketika hendak memperbaiki kualitas misalnya, yang diutamakan selalu memperbaiki aspek sekolah yang sifatnya materiil dan simbolis, seperti gedung, buku pelajaran, nilai Ujian Nasional (UN). Perbaikan kualitas pendidikan seringkali mengabaikan subtansinya yang fundamental. Secara mendasar, tulis Suyono, fungsi dan esensi pendidikan dan pembelajaran telah membias tidak jelas arahnya dan sudah harus dikembalikan.

Kita tahu, pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan akan berkembang jika ada "pemerdekaan." Kebalikannya, pendidikan akan kehilangan ruh ketika tidak ada suasana memerdekakan.

Selama ini sekolah hampir tidak memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi individual dan nilai-nilai prularitas. Dikotomi yang tegas antara guru dan siswa, kurikulum dan kehidupan riil, sekolah dan masyarakat, telah menjauhkan sekolah dari relasi sosial yang sehat. Sujono menyimpulkan, jika tetap tidak terjadi proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan hanya menciptakan orang-orang lemah, tentu "lebih baik tidak sekolah". Kesimpulan itulah yang kemudian dijadikan judul buku ini.

Judul itu, mengingatkan kita pada gagasan kontroversial yang pernah dilontarkan Ivan Illich pada akhir 1970-an, Deschooling Society, masyarakat tanpa sekolah. Jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Dan memang sudah waktunya negara memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mendesain model pendidikan yang realistis dan fungsional sesuai kultur dan kebutuhan.

Kiranya tak perlu kita sibuk mencari siapa "kambing hitam" di balik keterpurukan pedidikan di negeri ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah riil action, dan bukan saling menyalahkan, menggunjing, atau menggerutu. Bukan pula wacana yang melangit serta konsep-konsep yang kadang kontradiktif dalam tataran aplikasi atau semata berhenti di atas kertas.

Pendidikan Tanpa Sekolah

Dalam buku ini, penulis memberikan deskripsi yang tepat menyangkut di antaranya, model pendidikan, kualitas pengajaran, inrfasruktur, kapitalisme global, dan peran negara yang hegemonik. Sujono juga mengarahkan kita semua untuk mencari model pendidikan alternatif yang bisa menggembalikan pendidikan pada fungsi dan esensinya. Ia menunjukkan fakta yang menarik, tentang berdirinya sebuah lembaga pendidikan alternatif berbasis komunitas Qaryah Thayyibah. Lembaga ini mencoba keluar dari mainstrem pada umumnya dengan cara mengembangkan tradisi, kurikulum, serta model pembelajaran secara radikal.
Lahirnya Lembaga Qaryah Thayyibah di sebuah desa terpencil di Salatiga merupakan satu bukti bahwa masyarakat sudah mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jika sekolah formal mengekang kreatifitas, dan tidak demokratis, maka Lembaga Qaryah Thayyibah hadir dengan model pembelajaran yang humanis dan demokratis. Jika YB Mangunwijaya mengatakan, fungsi guru telah berubah menjadi pawang, maka lembaga ini berusaha mengembalikan pawang itu menjadi guru lagi. Yakni sebagai pendamping untuk mengantarkan anak-anak pada kehidupannya nanti.
Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri. Yakni dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai konteks. Sebab sesungguhnya pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya, sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Judul Buku : Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis : Sujono Samba
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal Buku : xiv + 93 halaman
Presensi : Jusuf AN *)

Minggu, 04 April 2010

Hikayat Penyemangat Bagi Pencari Ilmu


Jusuf AN*)
Membaca hikayat para ulama adalah cara paling mujarab untuk membangkitkan kemuliaan jiwa dan menegarkan diri dalam menangung derita ketika menempuh jalan yang lurus. Hikayat serupa pasukan Tuhan yang dengannya Dia meneguhkan hati para kekasih-Nya.


“Dan semua kisah Rasul-Rasul Kami ceritaan kepadamu, Muhammad, agar dengan kisah itu, Kami teguhkan hatimu. (QS. Hud 120). Berangkat dari hal itulah Abd Fattah Abu Ghuddah menulis buku yang berisi kumpulan hikayat para pencari ilmu ini.
Mencari ilmu, kita tahu, merupakan sebuah aktifitas yang begitu mulia. Imam Ali Bin Abi Thalib menandaskan bahwa ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.

Ilmu senantiasa bergandengan dengan kesabaran, cita-cita tinggi, semangat baca, zuhud terhadap dunia, begadang di kala malam, keuletan, doa dan tobat, rendah hati dan rasa syukur. Bermacam goda, coba, dan derita merupakan keniscayaan bagi para pencari ilmu. Pada konteks inilah sebuah hikayat kegigihan para ulama penting untuk dibaca. Menelaah kisah para ulama saleh merupakan cara paling efektif untuk menumbuhkan tekad menguatkan jiwa, meneguhkan cita-cita serta menanamkan akhlak yang lurus. Membaca kisah para ulama yang tak kenal letih mencari ilmu, berjuang menggapai harapan dan cita-cita menjadi cambuk bagi kita untuk memantapkan tujuan agung, niat yang ikhlas, dan ketabahan dalam menghadapi kesulian yang menghadang demi meraih asa.

Perburuan ilmu membutuhkan kesabaran yang sungguh besar. Kemiskinan biasanya menjadi cobaan terberat bagi para pencari ilmu. Lapar dan haus mesti ditanggung demi mengawal kemuliaan dan melatih kesabaran. Abu Ghuddah berusaha mengetuk kesabaran kita dengan menghadirkan kisah Ibn Hazm al-Andalusi, Abdul Walid al-Baji al-Andalusi, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang harus menjual pakaian dan tempat tidur demi menuntut ilmu. Juga kisah Abu Hurairah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Ibrahim An-Nazhzham, Ibnul Muqri, yang tidak sibuk mencari harta benda karena lebih mementingkan ilmu, selain juga pantang menjadi beban bagi orang lain.

Membaca hikayat mereka, kita akan malu dan merasa kalau cobaan yang kita alami dalam pencarian ilmu belum seberapa. Tengoklah liku-liku dan perjalan hidup Syu’bah bin al-Hajjaj, Ahmad bin Hanbal, Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Abu Hatim ar-Razi, dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Betapa sering mereka kehabisan bekal makanan di tanah perantauan saat mencari ilmu. Tetapi mereka tetap tegar. Bagi mereka ilmu jauh lebih berharga ketimbang makanan.

Buku menjadi makanan wajib yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan pencari ilmu. Apa pun akan dikorbankan demi mendapatkan buku yang cari. Kedudukan buku bagi ulama bagaikan roh bagi jasad, atau bagaikan pentingnya kesehatan bagi badan. Kisah-kisah dalam buku ini memberitahukan pada kita ikhwal reaksi para ulama saat bukunya tiada, baik hilang, dirampok, rusak, maupun terbakar. Pernah suatu ketika buku-buku Al-Ghazali dirampok. Al-Ghazali yang tidak ingin peristiwa pahit itu terulang kemudian menghafal seluruh isi buku-bukunya. Dengan demikian, ia tidak takut kehilangan buku bila suatu saat dirampok lagi.


Kedudukan ilmu bagi mereka ibarat air dari kayu hijau, bahkan udara bagi kehidupan manusia. Ibnu Jarir ath-Thabari, Yunus Bin Habib al-Bashri, Abu Bakar al-Anbari, dan Abu Ali al-Farisi adalah orang-orang yang memilih hidup membujang dan konsentrasi penuh untuk mencari ilmu. Mereka tak sanggup berpisah darinya dan tak kuasa melepaskannya sedikitpun. Ilmu bagi mereka layaknya makanan dan obat.

Kisah tentang orang yang membujang disajikan disini bukan untuk mengajak pembaca ikut membujang sepanjang hayat demi berkhidmat pada ilmu. Tujuannya adalah agar biografi keilmuan dan tingkah laku mereka yang sarat keutamaan dapat membangkitkan minat pembaca untuk meneladani mereka (kecuali dalam hal membujang). Dengan begitu, terbentuklah pribadi yang cinta ilmu, larut di dalamnya, dan terpadu menuju arah kebajikan dan takwa.

Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan sederhana, sehingga mudah dicerna siapa saja ini, cukup komplit menguraikan ketinggian cita-cita dan kesabaran para ulama dalam mencari ilmu. Ada delapan tema besar diangkat dalam buku ini. Pertama, tentang kelelahan dan kepayahan para ulama dalam perjalanan menunutut ilmu. Kedua, tentang para ulama yang jarang tidur dan upaya mereka menghindari semua kenikmatan duniawi demi menuntut ilmu. Ketiga, tentang kesabaran mengahadapi penderitaan dan kemiskinan. Keempat, tentang kelaparan dan kehausan para ulama ketika menuntut ilmu. Kelima, tentang ketabahan para ulama yang kehabisan bekal dalam perantauan menuntut ilmu. Keeenam, tentang para ulama yang bukunya hilang, dirampok, terbakar dan terpaksa dijual. Ketujuh, tentang para ulama yang memilih hidup membujang. Kedelapan, tentang para ulama yang berkorban harta benda demi mendapatkan ilmu serta menyusun karya. Delapan tema tersebut dibagi dalam tiga buku, masing-masing: Bertualang Mencari Ilmu, Ketabahan Para Pencari Ilmu, dan Pengorbanan Para Pemburu Ilmu.

Membaca hikayat pada ulama yang tersaji dalam buku ini ibarat meminum obat penyemangat. Gairah kita dalam usaha mencari ilmu akan muncul, pikiran kembali segar, dan kesabaran akan menebal.
resensi dari:
Buku : Seri Kisah Para Pencari Ilmu
(Bertualang Mencari Ilmu; Ketabahan Para Pencari
Ilmu; Pengorbanan Para Pemburu Ilmu)
Penulis : Abd. Fattah Abu Ghuddah
Penerjemah : M. Fatih Mansur & Miftahul Asror
Penerbit : Pustakata Insan Madani, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : Jilid I 209 halaman
Jilid 2 202 halaman
Jilid 3 172 halaman

Buku Amal dan Amal Buku

Jusuf AN *)

Sejak tahun 1954 program Books for Asia Foundasion telah mendistribusikan lebih dari 41 juta buku jurnal ilmiah, materi pendidikan, bahkan buku-buku sastra ke lebih dari 50.000 lembaga akademis maupun non-akademis di negara-negara Asia. Pada tahun 2005 saja, lebih dari 750.000 sumbangan buku senilai US$ 28 juta telah dibagikan ke sekolah-sekolah, universitas, perpustakaan umum, pusat penelitian, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di 15 negara, termasuk Indonesia.

Meskipun jumlah tersebut terbilang banyak, tetapi buku-buku yang disumbangan itu lebih dari 95% merupakan sumbangan yang diberikan oleh penerbit-penerbit di Amerika Serikat. Tentu saja teks di dalamnya tidak menggunakan bahasa Indoensia. Lantas, apakah buku-buku tersebut bisa digunakan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia yang memiliki kualitas pendidikan, seturut International Educational Achievment (IEA), masih rendah, dan tentunya juga memiliki penguasaan bahasa Inggris yang lemah?
Apapun jawabannya, sumbangan buku yang dilakukan Asia Foundation patut diteladani dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Bagaimana pun beramal dalam bentuk buku punya andil yang besar dalam meningkatkan kecerdasan bangsa—tugas yang sebenarnya menjadi agenda besar negara namun kurang mendapat perhatian bahkan nyaris dilupakan.
Kita tahu, hingga saat ini masih banyak sekolah-sekolah, khususnya di kawasan pedesaan yang belum memiliki bahan bacaan penujang pelajaran yang memadai. Belum lagi krisis multidimensi yang berdampak pada kemiskinan dan melambungnya harga-harga, termasuk buku, hingga tak terjangkau kalangan bawah. Hal ini semakin menjauhkan harapan pencerdasan bangsa, apalagi secara merata.

Keluar dari Krisis dengan Buku
Imbauan untuk memerangi kemiskian yang ditujukan kepada pengusaha swasta sudah sering dilontarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR). Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Sebab amal sering kali dilihat sebagai beban. Tekanan. Pengusaha hanya beramal saja tanpa ikut ambil bagian dalam usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini mandeg, karena pada umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.
Ungkapan di atas akan lain jika amal dalam bentuk buku. Amal atau sumbangan buku lebih mudah pemberdayaannya, jelas sasarannya, dan tidak lebih rumit pengorganisirannya.
Meski demikian beramal dalam bentuk buku masih jarang dilakukan, bahkan dianggap hal yang aneh. Kebanyakan orang akan lebih lebar senyumnya jika mendapat bantuan selain buku, misalnya, pupuk, sembako, dan lainnya. Saya tidak sedang mengatakan pupuk dan sembako tidak penting, tetapi sumbangan dalam bentuk buku tentu tak kalah penting.
Saya bukan sedang berkhotbah. Tetapi lihatlah, di sekeliling kita, masyarakat muslim misalnya, lebih senang beramal dalam bahan bangunan atau cash money untuk membangun masjid ketimbang membelikan buku-buku untuk membuat perpustakaan kecil di masjid. Oleh karena menyumbang buku dianggap tidak menjanjikan menggaet massa, maka calon-calon kepala desa, bupati, atau gubernur lebih memilih berkampanye dengan menyumbang hewan kurban atau mengiming-imingi jalan aspal ketimbang membagi-bagikan buku gratis atau membangunkan perpustakaan.
Para dermawan saya kira tidak bisa disalahkan. Mereka menyumbang berdasarkan kebutuhan masyarakat, lebih jelas lagi kebutuhan yang mendesak. Masyarakan menginginkan bantuan yang instan, nyata, bisa langsung digunakan saat itu juga, tidak seperti buku yang (mungkin dalam kaca mata sebagian besar orang) hanya menghabiskan waktu. Fenomena seperti itu merupakan ciri masih rendahnya minat baca di negeri ini. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terjadi. Kita tidak mungkin akan bangkit dari krisis dengan serta merta. Butuh waktu. Amal buku paling tidak bisa membantu, mengokohkan kaki negeri ini untuk berdiri kembali.
Sementara itu, baru-baru ini cukup marak kita melihat aksi proyek buku amal. Buku amal itu sendiri mengandung pengertian, buku yang sebagian atau keseluruhan dari hasil penjualannya disumbangkan. Sasaran yang mendapatkan sumbangan dari penjualan buku amal bisa berbeda-beda. Mulai sumbangan untuk kaum miskin, pendidikan nasional, atau korban bencana alam.
Buku kumpulan puisi 5,9 Scala Richer misalnya, merupakan salah satu contoh buku amal yang hasil penjualannya disalurkan untuk membantu korban bencana gempa di Jogjakarta. Ada juga buku amal Opera Zaman, kumpulan cerpen yang digagas Komunitas Merapi, yang hasil penjualannya disumbangkan untuk biaya pendidikan, dsb.
Baik amal buku maupun buku amal mempunyai kelebihannya sediri-sendiri. Beramal buku secara tidak langsung beramal ilmu. Beramal ilmu berarti membantu meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai pilar terwujudnya masyarakat sejahtera. Sementara penerbitan buku-buku amal, selain dari sisi isi bukunya—bagi pembacanya—menyumbangkan pencerahan atau khazanah pengetahuan, juga memiliki manfaat lainnya.
Namun demikian, secara umum buku amal punya kelemahan yang cukup merisaukan. Ketika sebuah buku amal kurang dimitati di kalangan konsumen, maka dari segi kuantitas beramal-nya juga menjadi kurang maksimal. Karenanya, sudah selayaknya kita untuk melirik buku-buku amal yang telah beredar. Meski pun buku itu barangkali kurang begitu menarik dan kurang berkualitas. Pihak penerbit sendiri menjadi penting untuk membubuhkan label—misalnya di bagian sampul—buku amal yang berfungsi untuk membedakan dengan buku-buku di luarnya.
Sekarang bukan waktu yang tepat lagi menunggu negara bergerak memberikan buku gratis. Tapi andai saja, semoga saya tidak sedang bermimpi, orang-orang yang pemegang kendali negeri ini bisa mencontoh Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim yang mempunyai kebiasaan membelikan buku untuk diberikan sebagai oleh-oleh kepada rekan-rekannya di kabinet. Saya menyarankan kepada mereka untuk membeli buku-buku bertema "anti korupsi."


Menunggu Jin Menulis Buku





Jusuf AN

Di tengah perkembangan teknologi yang menggila ternyata tidak membuat banyak orang untuk melupakan persoalan-persoalan supranatural, alam gaib, khususnya yang berhubungan dengan alam jin, yang notabene sulit didekati dengan paradigma rasional dan atau empirik. Kenyataannya, buku seputar alam jin banyak lahir dan mendapat sambutan meriah dari pembaca.



Kita ingat, pada pertengahan tahun 1995 dunia perbukuan nasional sempat dihebohkan dengan terbitnya buku Dialog Alam Jin (Pustaka Hidayah, 1995). Buku tersebut menyedot perhatian besar dari kalangan pembaca sehingga dalam waktu kurang lebih satu setengah tahun sudah mencapai cetakan kedua belas dan hingga sekarang masih dicari banyak orang. Buku karya Muhammad Isa Dawud itu menarik karena, pertama, pengarang mencoba menggali informasi seputar alam jin melalui wawancara langsung dengan jin muslim sahabatnya. Kedua, mencoba mengungkap berbagai misteri besar dunia, seperti Segitiga Bermuda, Segitiga Formosa, dan rahasia kehebatan pesihir besar David Copperfield.
Perihal apakah Muhammad Isa Dawud benar-benar berdialog dengan jin muslim sahabatnya atau hanya sekadar menjadikan jin tersebut sebagai tokoh fiktif agar ia lebih leluasa menuangkan pemikirannya, allahua’lam. Tapi yang jelas Isa Dawud tidak sekadar asal menulis wawancara khususnya dengan jin yang memiliki nama Musthafa itu. Setiap informasi yang ia dapatkan dari Musthafa berkenaan dengan seluk-beluk dunia jin tidak begitu saja diserahkan kepada pembaca, tetapi dikuatkan kebenarnnya atau dimentahkan dengan dalil-dalil al-Qur’an maupun hadis Nabi Saw. Apa yang dilakukan Isa Dawud sangat tepat mengingat pada dasarnya jin memiliki sifat dan karakteristik yang jauh berbeda dengan manusia. Jin terkenal senang berbohong, lebih-lebih terhadap manusia, tentu ia memiliki peluang lebih besar untuk berlaku demikian.
Selain Muhammad Isa dawud ada beberapa pengarang lain yang menulis buku alam jin dengan bekal dalil-dalil dan pengalaman berinteraksi langsung dengan jin, salah satunya adalah Muhammad Jaad dengan bukunya Kayfiyyah Tarwidh al-Jinn li al-Insan yang kemudian oleh Pustaka Pelajar diterbitkan dengan judul Menaklukan Jin (2008).
Selain dua buku tersebut masih terdapat banyak buku lain dengan tema serupa. Saking menariknya alam jin, dunia sastra pun tak luput menggarapnya. Lewat novel Nar’ Kobar: The Motivator (Akoer, 2007) Andhika Pramajaya turut andil bagian menguak misteri alam jin. Tidak seperti kisah-kisah jin yang menyeramkan, Andhika menggambarkan tokoh utamanya, jin bernama Nar’ Kobar, dengan kocak dan menggelitik. Jin digambarkan sebagai sosok yang ‘manusiawi’: senang menonton TV, belanja di mall, jatuh cinta, menulis diary dan puisi. Tentu saja Andhika tidak hanya bermodalkan imajinasi dalam menulis novel tersebut. Bagi pembaca yang sedikit banyak mengetahui alam jin akan mudah merasakan, betapa Andhika telah melakukan riset tentang alam jin untuk penulisan novelnya. Perihal apakah riset yang dilakukan Andhika berupa studi pustaka atau lapangan (mengunjungi langsung alam jin dan berinteraksi dengan jin) saya sendiri tak dapat memastikan.

Tidak Tuntas
Bagi orang awam yang tidak tahu menahu soal dunia jin, tentu memiliki keingintahuan yang besar tentang alam ini. Namun sayangnya dalam pengamatan saya sampai sekarang belum ada buku tentang alam jin yang benar-benar memuaskan.
Bahwa jin tecipta dari api tetapi tak lagi berbentuk api; jin ada yang muslim dan ada pula yang kafir; jin makan, minum, berpakaian, berumah tinggal, berhubungan seksual dan beranak-pinak, kiranya sudah menjadi pemahaman kita bersama. Bahwa jin berperadaban; jin dapat menjelma menjadi sosok manusia; jin dapat merasuk ke jasad manusia, juga sudah banyak ditulis orang. Tetapi bagaimana bentuk-bentuk rumah jin dan bagaimana pakaian jin itu dibuat, tidak diterangkan oleh Isa Dawud, Muhammad Jaad, Andhika Pramajaya, atau penulis lainnya. Ada memang informasi yang mengatakan bahwa pakaian jin terbuat dari daun papirus. Tapi cara pengolahannya bagaimana, lalu apakah di alam jin juga ada penjahit dan pabrik pakaian?
Orang muslim percaya, bahwa jin merupakan makhluk yang hidup di bumi bersama-sama dengan manusia. Sebagai makhluk umurnya tentu saja dibatasi, meski ia memiliki umur yang mencapai ribuan tahun. Pertanyannya, bagaimana pengurusan jenazah jin? Dikubur atau dibakar atau diapakan? Sampai sekarang belum ada yang mampu memecah teka-teki itu.
Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan yang belum tersingkap seputar alam jin. Saya hanya menderetkan beberapa pertanyaan tersebut untuk menegaskan bahwa buku-buku tentang alam jin masih belum memuaskan.

Batas Pengetahuan
Menjadi satu kaharusan bagi setiap muslim untuk percaya akan keberadaan alam jin. Sebab al-Qur’an sendiri mengatakan dengan tegas akan keberadaan makhluk ini, bahkan jin menjadi salah satu surah di antara 114 surah yang ada di dalam al-Qur’an. Namun demikian ternyata wahyu dan sunnah membatasi pengetahuan manusia perihal seluk-beluk alam jin. Dalil-dalil seputar alam jin hanya menjelaskan secara global, dan karenanya menjadi tugas kita untuk melengkapinya.
Buku-buku seputar alam jin barangkali akan berkutat pada pembahasan yang itu-itu saja sampai ada pengarang yang berani membongkar lebar-lebar tabir kehidupan alam tersebut. Andai saja nanti ada salah seekor jin (karena memang jin memiliki ekor) yang menulis buku (karena memang jin membaca dan menulis) tentang alamnya lalu menyerahkannya kepada penerbitan yang dikelola manusia pastilah akan sangat menghebohkan. Apakah ini mungkin terjadi? Mungkin saja, meskipun pasti akan menimbulkan kontroversi.

*) Jusuf AN, Penggiat Rumah Poetika Yogyakarta



Berbalas Buku: Mengakhiri Bonfire of Liberties


Jusuf AN
Guru, Pecinta Buku asal Wonosobo

SEJARAH bonfire of liberties atau sering juga disebut penghangusan kebebasan adalah sejarah pahit dunia perbukuan. Masih kuat dalam ingatan kita tentang apa yang dilakukan dinasti Qin di Cina daratan dalam mencegah masuknya pengaruh sebuah ajaran hingga mengakibatkan buku-buku Konfusian dibakar tahun 213 SM. Perpustakaan Besar Iskandariah (The Great Library of Alexandria) juga




terbakar pada 47 SM ketika Julius Caesar membakar kapalnya yang sandar di pelabuhan agar tak dirampas Mesir. Api dari kapal yang dibakar itu merembet memusnahkan berbagai bangunan di pelabuhan, termasuk perpustakaan yang disebutkan berisi 400.000 gulung manuskrip di atas kertas papirus itu. Bonfire of liberties masih berlanjut, Kaisar Romawi Theodosius (378-396 M) memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan Pustaka Besar Iskandariah, yang dibangun kembali oleh Antonius pada 41 SM. Perulangan sejarah bonfire of liberties juga terjadi di berbagai kota di Amerika dan Eropa pada abad ke-20, yang paling menonjol adalah pembakaran buku-buku subversif dan bertentangan dengan ideologi Partai Nazi pimpinan Adolf Hitler. Buku-buku dimusnahkan dalam api unggun yang panasnya mencapai 451 derajat Fahrenheit, bulan Mei 1943.

Setelah dua dasawarsa lebih bonfire of liberties terjadi di Jerman, musibah itu menular ke Indonesia. Hampir semua buku Pramudya Ananta Toer dan para penulis ‘kiri’ lainnya dilarang terbit dan ditarik dari peredarannya pada saat Soeharto berkuasa. Setelah Soeharto lengser pun sejarah bonfire of liberties masih berlanjut, pembakaran buku karya Frans Magnis Soeseno berjudul Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (2001) yang dilakukan sekelompok orang hanyalah salah satu contoh dari sekian tregedi bonfire of liberties di negeri yang mengaku berdemokrasi ini.

Bonfire of liberties sungguhlah merisaukan para penulis sekaligus dunia penerbitan. Meskipun sebagian penulis, termasuk Pram, yang bukunya paling banyak dilarang terbit dan dilarang edar, ada yang tidak bergeming dan mengaku diuntungkan dengan pelarangan itu, karena hal itu akan menjadi promosi gratis. Tetapi pihak penerbit dipastikan mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat bukunya ditarik dari pasar, apalagi dibakar.

Tapi beginilah potret sebuah negeri yang masih ragu-ragu dengan ungkapan, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai buku, bukan membredelnya. Bukankah buku yang paling kontroversi sekalipun tidak akan membuat sebuah negara hancur, melainkan justru akan semakin mencerdaskan bangsa itu? Bukankah lebih arif sekaligus menarik dan menggairahkan semangat intelektual jika sebuah buku dibalas dengan buku, bukan api, tinju, atau surat larangan dari pihak berkuasa? Tentu.

Perang Wacana

Buku terjemahan Da Vinci Code karya Dan Brown yang telah terjual di atas 100.000 copy hanya di Indonesia saja merupakan salah satu buku yang telah melahirkan fenomena "buku berbalas buku". Dan Brown, yang mengklaim bahwa novelnya tersebut bukan sekadar fiksi melainkan didasari atas penetian ilmiah mencuatkan beberapa kontroversi. Apakah Yesus benar-benar pernah menikah dengan Maria Magdalena? Apa benar, Maria pergi ke Perancis lalu beranak cucu di sana, dan keturunannya sekarang masih ada? Benarkah pihak gereja menutup-nutupi skandal tersebut selama ribuan tahun lamanya? Maka lahirlah beberapa buku sanggahan Da Vinci Code antara lain Cracking Da Vinci Code: Mematahkan Teori-teori Spekulatif dalan The Da Vinci Code (2005) karya James L. Garlow & Peter Jones, Da Vinci Code Decoded: Menguak Kebenaran di Balik The Da Vinci Code (2005) karya Martin Lunn, Menjawab The Da Vinci Code, dan Pengakuan Maria Magdalena: Saat-saat Intim Bersama Sang Guru (2005) karya Lie Chung Yen.
Beberapa bulan setelah Andre Comte-Spionville menulis Spititualitas Tanpa Tuhan (2008) Abu Sangkan meluncurkan bukunya Spititualitas Salah Kaprah (2008). Ketika penerbit Kompas dulu masih rutin menerbitkan kumpulan cerpen terbaik yang dimuat di Kompas edisi Minggu, Rudi Gunawan kemudian menerbitkan buku Zarima: Kumpulan Cerpen (bukan) Pilihan Kompas (2001). Setelah beberapa bulan Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy terbit, Taufiqurrahman al Azizi menerbitkan trilogi Syahadat Cinta (2007), Musafir Cinta (2007), Makrifat Cinta (2008), . Dalam sebuah work shop penulisan buku di Wonosobo belum lama ini Taufik menuturkan bahwa novel trilogi tersebut merupakan usaha untuk meng-counter kandungan Ayat-Ayat Cinta yang hitam putih dalam memandang agama.

Berbalas buku, adalah berbalas wacana, kalaupun terjadi perseteruan dan bahkan perang antara penulis yang bukunya dibalas dan yang membalas, itu hanya berlangsung di atas kertas sehingga tidak merugikan publik yang memiliki hak untuk membaca, tidak merugikan penulis yang memiliki hak mengeluarkan pendapat, tidak merugikan penerbit yang kini sedang dicekik harga kertas.

Buku berbalas buku kadang-kadang memang tidak saling melengkapi, tetapi cenderung saling berbantah, hal ini begitu kentara dalam buku pemikiran dan sejarah. Buku Bersaksi di Tengah Badai (2003) debutan Wiranto, Panglima TNI saat terjadinya peristiwa Mei 1998 misalnya, setidaknya telah memunculkan dua buku balasan, yakni Konflik dan Integrasi TNI-AD karangan Mayor Jenderal Kivlan Zen (2004) dan Politik Huru-hara Mei 1998 (2003) karya Fadli Zon atau yang lebih dikenal dengan Prabowo Subianto. Saling bantah antara buku-buku tersebut, bukan hanya berkutat pada dalang peristiwa 14 Mei 1998, tetapi juga pada soal pembentukan Sidang Istimewa yang kemudian dikenal sebagai Pamswakarsa.

Keterbukaan

Belakangan ini kita sedang merindukan sebuah buku balasan atas terbitnya buku Membongkar Kegagalan CIA karya Tim Winer. Sayang rasanya kalau buku setebal 832 halaman itu teracam ditarik peredarannya hanya karena dianggap telah merusak citra Adam Malik di mata publik. Menarik buku dari pasar tidak segampang menarik makanan kada luarsa. Tidak cukup hanya dengan alasan untuk ketertiban dan kententraman masyarakat. Masyarakat kita memang mudah terprovokasi, tetapi bagaimana pun sebuah keterbukaan tetaplah lebih menarik dari pada keterutupan. Penarikan buku Memongkar Kegagalan CIA boleh saja dilakukan setelah pengadilan membuktikan bahwa buku tersebut nyata tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Agar bonfire of liberties tidak terulang lagi, mungkin kita patut untuk merenungkan kata-kata Alfred Whitney (1906-1963), seorang pendidik yang juga sejarawan asal Amerika Serikat. Menurutnya, sebuah buku tidak akan pernah bisa dibakar. Ide-ide tidak akan mungkin dipenjarakan. Satu-satunya senjata yang ampuh melawan ide-ide buruk adalah dengan ide-ide yang baik. Dan sumber ide-ide yang baik adalah kebijaksanaan.