Kamis, 08 April 2010

Keunggulan Pendidikan Berbasis Komunitas

Gerakan reformasi 1998 yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan. Hingga saat ini sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (mechanic student) sehingga pendidikan bukan lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kelender akedemik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah fovorit.

Kejengkelan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkedilan (Qaryah Thayyibah).

Sekolah Berbasis Komunitas.

Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.

Dalam pandangan Lembaga Qaryah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya—yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal—untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuannya sebagai basis aspirasi bagi kehidupannnya.

Oleh karena itu pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Buku ini—yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah—merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah tandus dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.

Judul Buku : Sekolah Alternatif: Qaryah Thayyibah
Penulis : Ahmad Bahrudin
Penerbit : L-KiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal Buku : xix + 286 halaman
Harga : Rp. 25.000
Presensi : Jusuf AN,Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo

0 komentar:

Posting Komentar