tag:blogger.com,1999:blog-36937073652985384432024-03-19T15:37:09.319-07:00dunia bukudunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-71725250360691259822011-05-05T20:19:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.434-07:00Pengkafiran Sebagai Senjata Politik<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOYkXZnCWcE04KW1N8GzusyIQOsSKHJE0w1s59mxJRuX92j5wF9SFBoFPVN6UdSLJGnnmpBvcywmuLZlRWyEEu44HJqloBfCgdDxix9L5oJqX-QiyWnkP_N7pMj6czCj58lDO85y5QC6Y/s1600/COVER_BUKU_politk_pengkafiran.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="320" width="219" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOYkXZnCWcE04KW1N8GzusyIQOsSKHJE0w1s59mxJRuX92j5wF9SFBoFPVN6UdSLJGnnmpBvcywmuLZlRWyEEu44HJqloBfCgdDxix9L5oJqX-QiyWnkP_N7pMj6czCj58lDO85y5QC6Y/s320/COVER_BUKU_politk_pengkafiran.jpg" /></a></div><br />oleh Jusuf AN<br />Judul Buku:<br />POLITIK PENGKAFIRAN DAN PETAKA KAUM BERIMAN;<br />Sejarah, Politik, dan HAM<br />Penulis:<br />Muhammed Yunis<br />Penerbit: <br />Pilar Media, Yogyakarta<br />Cetakan: <br />I / September 2006<br />Tebal buku: <br />xlvi + 188 Halaman<br />Peresensi: <br />Jusuf AN*)<br />Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, adalah orang benar-benar tolol, apabila diminta untuk memberikan devinisi tentang kekafiran (kufur) lalu menjawab: "Kufur adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan Asy'arisme, Mu’tazilah, Hambalisme, atau madzhab-madzhab lainnya."<br /><br />Pada awalnya mengganggap seseorang kafir (takfir) merupakan masalah teoretik yang berhubungan dengan konsep keimanan semata. Namun dalam perkembangannya takfir justru menjadi persoalah yang bersifat praktik, yakni dijadikan senjata bagi kelompok politik tertentu untuk menjatuhkan lawannya.<br /><br />Masalah takfir dijadikan senjata politik pertama kali oleh kelompok Khawarij yang tidak puas dengan hasil arbitrase (tahkim) antara Ali r.a dan Mu’awiyah berkenaan dengan perebutan posisi politik, yakni Khalifah. Ayat Al-Quran dan Hadis dijadikan senjata oleh kelompok Khawarij untuk mengecam pihak yang menerima arbitrase itu sebagai orang-orang kafir yang dihalalkan darahnya. <br /><br />Menengok sejarah pengkafiran tak bisa menghindar dari nasib malang yang menimpa Imam Ath-Thabari, seorang ahli hadis dan penulis yang paling produktif pada zamannya. Ia dikafirkan dan dituduh atheis hanya karena mempunyai perbedaan metode penafsiran dan penolakannya untuk bergabung dengan kelompok Hanbalis. Ath-Thabari dilempari dengan botol tinta di bawah tekanan murid-murid Ibn Hanbal, lalu rumahnya dilempari bebatuan hanya karena menggunakan metode tafsir yang berbeda. <br /><br />Politik abad pertengahan juga telah menorehkan eposide berdarah dalam kehidupan Ibnu Rusyd, filosof Islam terbesar dalam sejarah. Ia diasingkan dan hampir semua bukunya dibakar karena pemikirannya dianggap mengancan dinasti Muwahhid (rezim penguasa). <br /><br />Al-Hallaj, seorang sufi revolusioner Irak juga menjadi tumbal politik pengkafiran. Al-Hallaj dieksekusi mati setelah terlebih dulu dicambuk seribu kali. Karena belum meninggal dengan cambukkan kemudian Algojo memotong kaki dan tangan Al-Hallaj satu persatu. Setelah itu al-Hallaj disalib di atas sebatang pohon dan keesokkan harinya kepalanya dipenggal. Betapa mengerikan, tapi begitulah fakta sejarah mengatakan.<br />Eksekusi yang diterima Al-Hallaj bukan disebabkan karena perbedaan medote sufisme yang ditempuhnya dalam menyapa Tuhan, melainkan kerena keterlibatannya dengan aktivitas-aktivitas politik yang dinilai oleh rezim penguasa pada waktu itu sebagai ancaman. Dengan kata lain, Al-Hallaj syahid karena ‘dosa’ politik. <br />Sebenarnya umat Islam tidak sendirian mengalami peristiwa beradarah di abad pertengahan. Tindakan represif dan pemberangusan pemikiran merupakan karakteristik umum panggung politik di abad pertengahan. Hanya saja ummat Islam kurang melakukan pembelajaran terhadap sejarah. Eropa pernah menjadi saksi atas operasi-operasi pemasungan pemikiran atas diri para cendekiawan. Akan tetapi bangsa Eropa mampu menghentikan sejarah tersebut. Itulah salah satu penyebab ketertinggalan Islam dari bangsa-bangsa Eropa. <br />Muhammed Yunis, dalam pengantarnya yang mendayu-dayu mengatakan bahwa, bangsa yang dikendalikan oleh rasa takut tidak akan mampu melanjutkan perjalanannya menuju kemajuan. <br /><br />Tentu saja kemajuan sebuah bangsa tak bisa lepas dari peran pemikir. Sementara para pemikir selalu menjadi target operasi orang-orang yang ingin memperkarakannya dengan memperalat undang-undang dan hukum. Para pemikir dan cendekiawan dibungkam, dipenjarakan, disiksa, dan dibunuh dengan dakwanan melanggar hukum secara telanjang.<br /><br />Semenjak umat Islam berusaha bangkit mengejar ketertinggalannya para tokoh kebangkitan selalu mendapat tuduhan kafir, intimidasi, pengasingan, perburuan, tuduhan zindiq (pemberontak), dan serentetan tuduhan lain yang keji dan menindas. Masih melekat di benak kita, "pertempuran" yang dialami Manshour Fahmi, Thaha Husain, Nazr Hamid Abu Zayd, dan beberapa cendekiawan muslim Indonesia seperti Ulil Absor Abdala, Gus Dur, Nurkholis Majid, dan kelompok-kelompok minoritas. Figur intelektual seperti mereka dan kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah misalnya, selalu dan—semoga tidak—akan terus menjadi target lontaran tuduhan-tuduhan keji seperti itu. Sebab tuduhan dan stigma takfir atas diri seseorang/kelompok tertentu adalah bentuk kejahatan yang terang-terangan melanggar hak asasi manusia (HAM). <br /><br />Muhammed Yunis yang juga aktif di Komisi Nasional HAM Mesir dalam buku ini membeberkan peristiwa-peristiwa sejarah tentang takfir yang biasanya disertai dengan tuduhan murtad. Yunis menuliskannya dengan obyektif dan detail sehingga enak dibaca dan dipahami. <br /><br />Sejarah takfir yang diterangkan Yunis dalam buku ini, merupakan sejarah penindasan. Penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan universal dengan kedok agama. Kebebasan berkeyakinan, kita tahu, merupakan salah satu syarat utama pengetahuan dan penyebaran ilmu. Karenanya, kemajuan ilmu pengetahuan tergantung kepada besarnya jaminan masyarakat terhadap individu-individunya yang bebas berkeyakinan dan berkespresi.dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-77993761220917408362011-05-03T08:13:00.000-07:002011-05-20T22:58:16.406-07:00Menerapkan "Jam Wajib Baca"<link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:1;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-format:other;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}<br />@font-face<br /> {font-family:Calibri;<br /> panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:swiss;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:11.0pt;<br /> font-family:"Calibri","sans-serif";<br /> mso-fareast-font-family:Calibri;<br /> mso-bidi-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;<br /> mso-ascii-font-family:Calibri;<br /> mso-fareast-font-family:Calibri;<br /> mso-hansi-font-family:Calibri;}<br />@page Section1<br /> {size:612.0pt 792.0pt;<br /> margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;<br /> mso-header-margin:36.0pt;<br /> mso-footer-margin:36.0pt;<br /> mso-paper-source:0;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br /><div class="MsoNormal"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRFGbkiSh3y5f174wAEqtDOE8PjfI8vr7irLOo9nvbfy7SVsJecwlIqsYY" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRFGbkiSh3y5f174wAEqtDOE8PjfI8vr7irLOo9nvbfy7SVsJecwlIqsYY" width="189" /></a></div>M.Yusuf Amin N <br /><br />Kita menyadari bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Keyakinan tersebut kiranya tidak perlu lagi dibuktikan dengan angka statistik hasil penelitian. Mengamati orang-orang di sekitar kita—dan barangkali juga diri kita sendiri—sudah lebih dari cukup untuk membuktikan hal tersebut. Betapa televisi di rumah-rumah hampir menyala sepanjang waktu. Betapa anak-anak di sekitar kita lebih senang menghabiskan waktunya di depan layar kaca, bermain play stasion, sementara para remaja lebih memilih ngeceng di mall, ibu-ibu nggosip di warung, guru-guru lebih suka berceramah dan ngrumpi soal kenaikan gaji, bapak-bapak khusuk mendengarkan radio sambil mungkin membayangkan betis kendedes. Akibat dari minat membaca yang rendah ini juga jelas: orang-orang memiliki daya kritis dan imajinasi yang pendek, wawasan pengetahuan yang dangkal, suka ngomel-ngomel, dan tidur di depan televisi dengan lambung yang kenyang. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Ada saja yang dikambing hitamkan dengan kenyataan soal minat baca ini, semisal pemerintah yang sibuk berpolitik, buku yang mahal, guru yang tidak kreatif, orang tua yang jor-joran—dan tiada seorang pun merasa patut disalahkan. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Sekian usaha telah dilakukan untuk mendongkrak minat baca, tentu. Mulai dari meniadakan pajak penerbitan buku, subsidi buku ke sekolah-sekolah, buku elektronik yang gratis, dibukanya rumah baca di kampung-kampung, seminar dan diskusi, juga melalui tulisan semacam ini. </div><div class="MsoNormal">Dan kita yakin, meski lemot, usaha-usaha tersebut sedikit demi sedikit mulai membangkitkan kelesuan minat baca. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Minat baca memang selayaknya dipancing sejak dini, sejak masih dalam bayi kandungan. Ibu hamil yang senang membaca, suami yang membacakan al-Qur’an atau buku di depan perut istrinya yang membengkak, barangkali akan mempengaruhi si janin. Tetapi tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika bayi-bayi jebrol lahir, mereka akan melihat nyata aktifitas yang dilakukan kedua orangtuanya, dan mereka sangat tergoda untuk menirunya. Dan ketika bayi-bayi tadi bertambah usia, kemudian sekolah, maka guru-guru kudu kreatif membimbing mereka mencintai buku dan membaca. Jadi, penanaman minat baca memang tidak bisa berjalan setengah hati, mood-mood-an, melainkan harus terus dipupuk seiring pertumbuhan. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Minimnya buku bacaan di sekolah-sekolah memang merupakan penghambat besar tumbuhnya minat baca, khususnya di kalangan siswa. Saya memiliki pengalaman khusus soal ini. Tahun 2007, ketika saya baru menyelesaikan studi di Jogja, saya bergabung bersama kawan-kawan guru di sebuah sekolah formal tapi swasta. Sekolah tersebut, sungguh memprihatinkan. Waktu itu baru ada kelas VIII dan VIII dengan siswa yang semuanya berjumlah sekitar 20 anak. Selain tidak memiliki gedung sendiri dan hanya menempati rumah warga yang mau ambruk, sekolah tersebut tentu juga “jelas” tidak memiliki perpustakaan. Memang ada beberapa buku paket yang lusuh, lungsuran dari sekolah lain, yang ditaruh di sebuah ruang ukuran 2x1,5 meter, tetapi itu sama sekali tidak mendukung proses pembelajaran, alih-alih memancing siswa untuk tertarik membaca. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Lalu saya berinisiatif membawa satu dus berisi buku-buku bacaan yang saya miliki dalam kegiatan pembelajaran. Para siswa saya suruh memilih buku bacaan yang mereka sukai, memberikan waktu 10-15 menit untuk membacanya, sebelum pelajaran yang sesuai silabus dimulai. Saya bisa dengan jelas melihat kegembiraan pada raut wajah polos anak-anak kampung itu. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Saya menamai kegiatan itu dengan “jam wajib baca”. Semua anak membaca, tak ada yang bicara kecuali bicaranya itu adalah melafalkan kata-kata di buku (hemm, memang begitu anak-anak, khususnya yang jarang membaca: Mereka tidak terbiasa membaca dalam hati). Selain “jam wajib baca” di saat jam resmi proses pembelajaran, saya juga mengadaan ekstra “membaca”. Hujan-hujan anak-anak menjemput saya di rumah dengan payung, dan saya terharu melihat gairah mereka.</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Sekolahan tempat saya mengabdi tersebut kemudian memiliki gedung baru dengan tiga ruang, dan saya terpaksa harus pindah ke sekolah lain karena beberapa hal. Di sekolah tempat saya sekarang mengabdi, yakni MTs Negeri Wonosobo, saya kembali menggulirkan program “jam wajib baca” tersebut. Bedanya, saya tidak harus repot-repot membawa dus berisi buku, karena di sekolahan saya itu sudah ada perpustakaan yang menyediakan ribuan buku paket dan ratusan buku bacaan. Mula-mula saya wajibkan mereka memiliki kartu perpustakaan. Lalu, saya suruh mereka wajib meminjam buku bacaan dan membawanya masuk kelas pada saat pelajaran fiqih. Yang meminjam saya beri nilai, sementara yang tidak saya suruh keluar untuk terlebih dulu meminjam buku sebagai syarat mengikuti pelajaran. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Mapel yang saya ajarkan memanglah Fiqih, tetapi anak-anak justru saya anjurkan untuk meminjam buku bacaan (sastra, filsafat, agama, budaya, majalah, dsb), bukan buku paket. Karena menurut saya, para siswa sudah terlalu capek menghadapi buku paket disebabkan buku-buku tersebut cenderung menggunakan bahasa yang kaku. Selain itu, bukankah anak-anak juga penting untuk mengetahui apa yang tidak diajarkan oleh guru mereka? </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Hasilnya, buku-buku bacaan di perpustakaan sekolah kami ludes dipinjam setiap kali pelajaran menjelang pelajaran Fiqih kelas VIII di mulai. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Apa yang saya lakukan mungkin sejenis pemaksaan! Lebih-lebih ada ancaman “tidak mendapat nilai” bagi yang tidak meminjam buku. Memang begitu. Saya memaksa mereka, dengan maksud yang mulia. Kadang-kadang siswa tidak doyan membaca karena mereka belum tahu bahwa membaca itu merupakan hal yang nikmat, lebih lezat dari sosis atau batagor. Saya memaksa dengan tujuan memberi tahu kepada mereka dengan menyuruh mereka merasakan langsung, bahwa ada banyak hal menarik dan baru yang akan dijumpai di buku-buku yang mereka baca. Bukankah orang yang shalat kadang-kadang belum bisa menikmati indahnya shalat? Kita shalat karena mungkin terpaksa, takut dosa. Ini tingkatan kualitas shalat orang awam. Tapi kualitas ini akan terus meningkat jika kita konsisten, bersungguh-sungguh melakukannya. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Begitu pula pada siswa. Saya yakin banyak siswa didik yang terpaksa meminjam buku karena takut tidak mendapat tambahan nilai dari saya. Dan saya yakin pula, ada sebagian anak yang kemudian jatuh cinta kepada buku, lalu dengan kesadaran penuh dia bersetia berpacaran dengannya. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Demikianlah, hasil dari program “jam wajib baca” memang tidak bisa langsung dilihat, tetapi mengenalkan kepada mereka tentang indahnya, nikmatnya, dan bergunanya aktifitas membaca adalah WAJIB. Dan sebenarnya, “jam wajib baca” juga sangat baik jika para orangtua di rumah mau menerapkannya. </div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><br /></div>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-67796411251120755112011-04-30T08:05:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.434-07:00Akar Mistik Orang Jawa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjV1YbwuAjJK1NtUc-qVjocn47Qsw8-Bej4OC4KoJSeL0i4DXVFZFWnf9cj6r2uMabfjTeh-3oeion_0hIXZY-AtuAcnYDV5zl2PC_Z-ucJuRdGdf6Deh3aZuTmI3cimGZ1RXlF1M4QOUU/s1600/cover+mistik+jawa.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjV1YbwuAjJK1NtUc-qVjocn47Qsw8-Bej4OC4KoJSeL0i4DXVFZFWnf9cj6r2uMabfjTeh-3oeion_0hIXZY-AtuAcnYDV5zl2PC_Z-ucJuRdGdf6Deh3aZuTmI3cimGZ1RXlF1M4QOUU/s320/cover+mistik+jawa.JPG" width="218" /></a></div>diresensi oleh Jusuf AN <br /><br />Judul Buku : Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis<br />Penulis : Capt. R.P. Suyono<br />Penerbit : LKiS, Yogyakarta<br />Cetakan : I, Mei 2007<br />Tebal Buku : xii + 280 halaman<br /><br /><br /><br />Sebagai pengoleksi benda antik (termasuk buku) Suyono tergerak untuk menyadur buku karya H. A. van Hien berjudul De Javansche Geestenwereld atau Dunia Roh Orang Jawa yang diterbitkan sekitar tahun 1920 oleh G.Kolff & Co. Batavia. Van Hien merupakan sejarahwan dari Belanda yang ditugaskan meneliti dan menulis alam pikiran orang Jawa. Berkat pemahaman alam pikiran orang Jawa yang diperolehnya, tidak heran jika Belanda kemudian sukses besar menjajah negeri ini selama 350 tahun.<br /><br />Menurut Suyono, buku karya van Hien tersebut masuk dalam kategori buku yang sangat langka. Pada jaman penjajahan Jepang, kita ingat, semua buku berbahasa Belanda harus dimusnahkan, dan bila ada yang ketahuan menyimpannya, maka akan dihukum oleh polisi rahasia Jepang. Kini, di Belanda sendiri tidak ditemukan lagi buku karya van Hien itu. Kerenanya, kita beruntung, berkat kemampuan bahasa Belanda lama yang Suyono kuasai memungkinkan kita menikmati karya van Hien dan menelusuri jejak orang Jawa, terutama wilayah mistiknya.<br /><br />Kita tahu, mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat yang bersifat abadi. Demikian pula dengan dunia mistik orang Jawa. Berbagai kepercayaan mistik yang telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat Jawa, diturunkan dari generasi ke generasi, hingga kini. <br />Pengamat sejarah yang teliti akan mengetahui bahwa masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang campur-aduk. Pada mulanya penduduk Jawa merupakan bangsa pengembara. Di tengah alam yang buas orang Jawa pertama berusaha mempertahankan hidup dengan mempelajari pengaruh-pengaruh alam yang kemudian menimbulkan kepercayaan, bahwa setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk-makhluk di sekitarnya: animisme.<br /><br />Oleh Suyono animisme dibagi menjadi dua, yakni fetitisme dan spritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa. Sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk halus yang terdapat di alam.<br /><br />Ketika agama Islam mulai dianut hampir sebagian besar masyarakat Jawa, pemujaan terhadap kekuatan alam tidak begitu saja ditinggalkan. Wali Sanga sendiri, sebagai tokoh yang menyebarkan Islam di Nusantara mempunyai segudang cerita mistik. Sebut saja Sunan Giri, mengalahkan tentara Majapahit dengan sebuah pena yang bisa berubah menjadi keris. Sunan Kalijaga mampu membuat tiang masjid yang kokoh dari tatal. Dan sederet cerita mitis lainnya.<br /><br />Beberapa kalangan membantah kebenaran cerita mitis tersebut dengan dalih, Islam merupakan agama tauhid. Muhammad sebagai pembawa risalah Islam tidak mengenal mistik dan anti kemusyrikan. Berkaitan dengan itu, Profesor Simuh, dalam buku Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, menganalisis bahwa Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam murni yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan Islam yang dibawa oleh pedagang Persia dan Gujarat. Persia, kita tahu, merupakan pusat perkembangan tradisi tasawuf. Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al-Quran dan Hadis; dan tasawuf murni atau mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan. Era tasawuf Islam yang berakhir 728 M memperkuat dugaan bahwa tasawuf yang masuk ke Indonesia merupakan tasawuf Mistikisme. Maka, tak heran jika Islam mudah berkompromi dengan budaya Hindu-Budha yang dianut sebagian besar penduduk pada masa itu. <br />Terlepas dari kontroversi historis di atas, Suyono membagi Islam menjadi empat sekte: (1) Kaum Islam yang masih memegang campuran kepercayaan Brahma dan Budha; (2). Kaum Islam yang menganut kepercayaan magik dan dualisme; (3). Kaum Islam yang masih menganut animisme; (4) Kaum Islam murni. Tiga sekte Islam yang pertama masuk dalam golongan "Islam Kejawen", yakni keyakinan dan ritual campuran dari agama Islam dengan pemujaan terhadap kekuatan alam. Pedoman kepercayaan kejawen ini tampak pada ajaran yang disebut sebagai petangan, tata cara memperhitungkan keberuntungan.<br /><br />Melalui buku Dunia Mistik Orang Jawa: Roh Ritual, Benda Magis kita akan mengetahui alam mistik yang dipraktikkan masyarakat Jawa sekitar tahun 1920-an. Karena spektrum dunia mistik orang Jawa sangat luas maka karya ini akan terbit dalam tiga jilid. Buku setebal 280 halaman ini merupakan buku pertama yang membahas mengenai dunia roh, tempat-tempat angker, azimat, hantu atau memedi, perhitungan waktu, doa dan mantra, ritual dan sesajian, sampai ramalan Jaya Baya. Buku kedua (belum terbit) berisi mengenai petangan, dan buku ketiga mengenai orang Tengger.<br /><br />Era global dan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi kehidupan alam pikiran masyarakat Jawa ternyata tidak begitu saja menghilangkan berbagai kepercayaan mitis dan praktik-praktiknya. Akan tetapi sedikit orang mengetahui akar mistiknya sendiri. Karena itu, buku ini penting dibaca bukan karena dipenuhi dengan cerita gaib dan mantra-mantra, melainkan sebagai jalan merunut perkembangan keyakinan dan alam pikiran nenek moyang. Dengan begitu akan mudah memahami alam pikiran kita sendiri. Kuasai alam pikiranmu, maka kamu akan menguasai tindakanmu. Kuasai tindakanmu maka kamu akan menguasai kebiasaanmu. Kuasai kebiasaanmu, maka kami akan menguasai nasibmu, begitu kata orang bijak.dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-52639559520318209982011-04-30T07:55:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.435-07:00Titik Lemah Gerakan Mahasiswa<link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}<br />@font-face<br /> {font-family:"Book Antiqua";<br /> panose-1:2 4 6 2 5 3 5 3 3 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}<br />@font-face<br /> {font-family:"Arial Narrow";<br /> panose-1:2 11 6 6 2 2 2 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:swiss;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:647 2048 0 0 159 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> text-align:right;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> direction:rtl;<br /> unicode-bidi:embed;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />a:link, span.MsoHyperlink<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-bidi-font-family:"Times New Roman";<br /> color:blue;<br /> text-decoration:underline;<br /> text-underline:single;}<br />a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed<br /> {mso-style-noshow:yes;<br /> mso-style-priority:99;<br /> color:purple;<br /> mso-themecolor:followedhyperlink;<br /> text-decoration:underline;<br /> text-underline:single;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;}<br />@page Section1<br /> {size:595.3pt 841.9pt;<br /> margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm;<br /> mso-header-margin:35.45pt;<br /> mso-footer-margin:35.45pt;<br /> mso-paper-source:0;<br /> mso-gutter-direction:rtl;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br /><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWVd7ooGiryWXANjc4Ui9hgZmWkBQZ1oN27aWZsspG-XyaDCiNHDm7ko8GoutHlvLC2bt2BvHTWRdIlHJ8rL8hNkbzliIPSa2M11GU8dX1EI6z9i7WXPcOD5UjvF86nFiONlCOLEVaz50/s1600/cover+Bergerak+Bersama+Rakyat.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWVd7ooGiryWXANjc4Ui9hgZmWkBQZ1oN27aWZsspG-XyaDCiNHDm7ko8GoutHlvLC2bt2BvHTWRdIlHJ8rL8hNkbzliIPSa2M11GU8dX1EI6z9i7WXPcOD5UjvF86nFiONlCOLEVaz50/s320/cover+Bergerak+Bersama+Rakyat.jpg" width="320" /></a></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="EN-US">Jusuf AN*)</span></b><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br /></div><br /><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;">Judul Buku</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b>Bergerak Bersama Rakyat: <o:p></o:p></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b>Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia<br /></b>Penulis</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b>Suharsih dan Ign Mahendra K</b><br />Penerbit</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b>Resist Book<o:p></o:p></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;">Cetakan</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="EN-US">Pertama, </span>Februari 2007</b><br />Tebal</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><i><span lang="EN-US">x</span></i>+ 268 halaman, 17 X24,5 cm</b><b><span lang="EN-US" style="font-size: 17pt;"><o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US"><br /><o:p></o:p></span></div><br /><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US"> </span><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> text-align:right;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> direction:rtl;<br /> unicode-bidi:embed;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;}<br />@page Section1<br /> {size:612.0pt 792.0pt;<br /> margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;<br /> mso-header-margin:36.0pt;<br /> mso-footer-margin:36.0pt;<br /> mso-paper-source:0;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Tidak bisa dipungkiri gerakan mahasiswa telah mengawal banyak perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah Indoneia. Bahkan, gerakan mahasiswa tahun 1966 dan 1998 mampu menumbangkan rejim, menandakan betapa gerakan mahasiswa memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun demikian, peran penting mahasiswa tidak selalu diiringi dengan tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Berbagai organisasi gerakan mahasiswa kini berkecambah di setiap kampus, aksi <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">massa</st1:place></st1:city> terus berlangsung, tetapi kenapa negeri ini tak kunjung membaik? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Buku </span><i>Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region></i> ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Bagi Suharsih, proses pembangunan masyarakat yang demokratis, adil, dan sejahtera membutuhkan sebuah aksi yang benar-benar sadar. Salah satu jalan yang ditawarkannya agar gerakan mahasiswa mampu menentukan langkah-langkah yang harus diambil adalah dengan menganalisis hukum-hukum sejarah—baik sejarah masyarakat, maupun sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri. <o:p></o:p></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Tengoklah gerakan mahasiswa pada tahun 1965, di mana mahasiswa bergandengan tangan dengan militer dan akhirnya berhasil menumbangan rezim Soekarno. Pasca bergulingnya <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Sokarno</st1:city>, <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> justru kian terpuruk. Gerakan mahasiswa saat itu secara tidak langsung malahan membantu berdirinya rejim yang berkuasa selama 32 tahun dan belaku refresif terhadap rakyatnya. Berdirinya rejim Soeharto merupakan hasil dari aliansi dari mahasiswa-mahasiswa pro-liberalisme Barat, yang berarti merupakan awal jatuhnya <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> ke tangan imperialis. Ini memang sejarah pahit bagi mahasiswa, namun bukan berarti gerakan mahasiswa akan selalu berujung kepahitan seperti itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Pada era 1970-an gerakan mahasiswa di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> kembali bangkit dengan mengambil konsep gerakan moral. Dalam konsep tersebut mahasiswa lebih banyak bertindak sebagai kekuatan moral dari pada sebagai kekuatan politik. Artinya, mahasiswa hanya muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis. Tepat kiranya jika Arief Budiman menyebut gerakan ini dengan ‘Gerakan Koreksi’ karena setelah krisis berlalu, mahasiwa kembali pulang ke kampus untuk belajar. Selain itu, mereka hanya melakuan kritik pada tataran kebijakan yang pragmatis dan bersifat jangka pendek. Konsep gerakan moral juga bisa berarti bahwa gerakan mahasiswa tiak boleh pamrih dengan kekuasaan, harus murni, non-partisan, mahasiswa adalah <i>agent of change</i>, gerakan intelektual dan gerakan sosial.(hlm: 215)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Penulis memberikan beberapa titik kelemahan dari konsepsi gerakan moral tersebut. <i>Pertama, </i>tidak mengembangan konsepsi ideologis, apalagi ideologi kerakyatan. Bagi gerakan moral, tatanan kapitalisme yang ada sudah dianggap baik, hanya perlu dikoreksi. <i>Kedua, </i>gerakan mahasiswa tidak mau bergabung dengan rakyat dan tidak berusaha keluar ke kota-kota lain, sehingga hanya berlangsung di kota-kota besar alias bersikap sektarianisme gerakan. <i>Ketiga, </i>strategi, taktik, program, isu, atau pun tuntutan yang diambil sangat moderat, bahkan dapat digeneralisir bahwa bagi gerakan moral, mengirim ‘<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">surat</st1:place></st1:city> cinta’ kepada prisiden untuk mencabut kenaikan BBM atau tuntutan lainya adalah cukup, karena kepentingan gerakan semacam itu hanya memberikan kritik yang loyal. <i>Keempat, </i>gerakan moral hanya akan menjadi alat peralihan dari satu penguasa ke penguasa lain. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Gerakan Reformasi 1998 juga mengambil konsep gerakan moral dilihat dari tuntutan yang diajukan. Dengan mendukung Habibie mahasiswa tak sadar jika telah terhasut dan dibodohi. Tuntutan mahasiswa waktu itu antara lain mengadili Soeharto dan menghapus KKN, yang artinya rejim Habibie—termasuk Golkar dan tentara dipaksa mengadili dirinya sendiri. Alhasil, secara pokok tidak ada yang berubah dari pemerintahan pasca Soeharto. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Hingga saat ini masih terdapat sisa-sisa dalam beberapa gerakan mahasiswa yang mengangap dirinya sebagai gerakan moral. Secara tegas, dengan membeberkan fakta sejarah, Suharsih menyatakan, bahwa gerakan moral tidak akan menghasilkan apapun. Baginya, yang dharus dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat ini adalah sebuah gerakan politik radikal dengan ideologi kerakyatan. Idelogi kerakyatan sendiri memiliki makna, arah, dan tujuan perjuangan gerakan mahasiswa demi kepentingan rakyat tertindas. Ideologi ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat bila mengikutsertakan rakyat turun langsung dalam gerakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Memang tidak gampang menanamkan kesadaran pada rakyat untuk turut serta dalam gerakan. Meski begitu, penulis yakin, kesadaran ideologis akan muncul jika suntikan kesadaran terus menerus dilakukan, sehingga memungkinkan terciptanya kesatuan kesadaran rakyat untuk menyerang penyebab pokok persoalan rakyat negeri ini, yakni: imperisalisme dan rejim bonekanya, militerisme dan sisa feodalisme. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Merebut negara adalah kepentingan pokok bagi gerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan politik berideologi kerayakatan. Pengalaman sejarah di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Vietnam</st1:place></st1:country-region> (tahun 1960-an), di Kuba (1969), <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Venezuela</st1:place></st1:country-region> (dalam pemerintahan Hugo Chavez) menegaskan bahwa ketika rakyat ingin menghentikan penindasan oleh imperisalis, maka negara harus dikuasai. Sebab, selama negara ini dikuasai oleh kelas borjuasi, maka selamanya pula negara diperalat untuk melanggengkan tatanan kapitalisme. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="EN-US">Buku ini memberikan banyak catatan kritis atas sejarah panjang gerakan mahasiswa di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> dengan tujuan mengajak seluruh mahasiswa dan rakyat untuk bersatu, bergerak melakukan perlawanan atas segala bentuk penindasan, sebab teori gerakan apa pun tidak akan berarti tanpa sebuah aksi. <o:p></o:p></span></div><br /><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 36pt; unicode-bidi: embed;"><br /></div>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-12124101920281716972011-04-30T07:51:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.435-07:00Imperialisme Media<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCrrIsnkcx7V0uJK5OiP8j2kvqGA1xvutVp9cseKw7U6GibzXqz1ufxit8YXgBYeX35o7Xph690Mg9M0hNCATv8EJb1907uK-fJJAOFvMCSXtpHEisy0k5NiKuhQSjU0SOrvtGB47GBLs/s1600/Cover+Buku+Membongkar+Kuasa+MEdia.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCrrIsnkcx7V0uJK5OiP8j2kvqGA1xvutVp9cseKw7U6GibzXqz1ufxit8YXgBYeX35o7Xph690Mg9M0hNCATv8EJb1907uK-fJJAOFvMCSXtpHEisy0k5NiKuhQSjU0SOrvtGB47GBLs/s320/Cover+Buku+Membongkar+Kuasa+MEdia.jpg" width="208" /></a></div><br />Jusuf AN*)<br /><br />Judul Buku : Membongkar Kuasa Media<br />Penulis : Zainuddin Sardar<br />Ilustrasi : Borin Van Loon<br />Penerjemah: Dina Septi Utami<br />Penerbit : Resist Book, Yogyakarta<br />Cetakan : Pertama, Juni 2008<br />Tebal : 174 Halaman<br /><br />Media memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak mengherankan, sebab rata-rata seseorang menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar dan majalah, mendengar radio, dan berselancar di internet. Artinya, kita menghabiskan sepertiga dari hidup kita dengan membenamkan diri dalam media. Akibatnya, kemampuan kita berbicara, berfikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitas kita sendiri dibentuk oleh media. Dengan demikian, mempelajari media adalah mempelajari diri kita sendiri sebagai makhluk sosial. <br />Namun tidak semua orang menganggap penting mempelajari media. Jonathan Margolis, seorang jurnalis di London Obeserver mengatakan bahwa studi media tidak memiliki nilai pendidikan, dangkal, dan gampang dilupakan. Menurutnya studi media adalah ilmu sosial semu yang menyamarkan diri sebagai disiplin akademik. <br />Zainudin Sardar membantahnya dengan menyatakan bahwa studi media (yang sebenarnya berakar dari linguistik, psikologi, sosiologi bahkan fisika dan matematika sebagaimana studi budaya yang lain) merupakan disiplin keilmuan yang lebih luas. Studi media menunjukkan kepada kita mengapa politik, seni, dan masyarakat berjalan seperti sekarang ini dan bagaimana masa depan dapat dibentuk dengan lebih baik. <br />Ketika kita menonton TV atau berselancar di internet, kita sebenarnya sedang menciptakan makna dan emosi kita sendiri. Oleh karena itu kita harus memandang aktivitas kita sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Inilah dasar pemikiran utama dari studi media. <br /><br /><br />Industri Media<br />Media merupakan sebuah “industri”. Televisi membuat produk yang merupakan rakitan bagian-bagian tertentu seperti sinetron dan serial kartun. Surat kabar dan majalah mengadakan pemotongan harga jual, penawaran gratis dan merger akibat ketatnya persaingan. Sebuah film misalnya, memang dapat dilihat sebagai hiburan untuk dinikmati, atau sebagai suatu bentuk karya seni untuk diapresiasi. Tetapi sebagiaman vacuum cleaner atau sepeda motor, produk-produk media semacam film, televisi, surat kabar, majalah, dan lainnya juga diproduksi secara massal dan dipasarkan sebagai barang konsumen. Seperti juga produk-produk industri lain, produk media membutuhkan inovasi terus-menerus dan harus dijual semurah mungkin. <br />Saat ini media menawarka pilihan yang lebih beragam. Satelit, TV, digital, dan film film Hollywood sangat mahal sehingga hanya sedikit korporasi yang sukses secara finansial. Hal inilah menciptakan kecenderungan ke arah terjadinya pemusatan kontrol atas media. <br />Tetapi produksi hanyalah setengah dari jalan ceritanya. Ketika kita menonton TV atau berselancar di internet, kita sebenarnya sedang menciptakan makna dan emosi kita sendiri. Kita harus memandang aktivitas kita sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Inilah dasar pemikiran utama dari studi media. <br />Dalam sebuah pasar industri, tulis Sardar, terdapat tendensi bagi organisasi yang lebih besar, lebih sukses untuk mengambil alih perusahaan yang lebih kecil. Satelit, TV, digital, dan film-film Hollywood sangat mahal sehingga hanya sedikit korporasi yang sukses secara finansial. Dari sinilah kemudian tercipta kecenderungan ke arah terjadinya pemusatan kontrol atas media. Memang, konglomerat media telah meluas dengan pesat sehingga hanya segelintir perusahaan yang sekarang mengendalikan kebanyakan keluaran media. Buktinya, lebih dari separuh dari seluruh program televisi di Asia diimport dari Barat. Musik rekaman secara total dikendalikan oleh lima perusahaan saja: Polygram, Time Warner, Sony, EMI dan Bertelsman. Sementara berita-berita televisi global disuplai oleh CNN, CNBC, TV BBC Word Service.<br />Lewat media, kapitalisme modern telah berhasil membangun situasi global dalam kungkungan dunia media di mana orang sulit membedakan antara realitas dan fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan lewat media. Ini merupakan tanda di mana masyarakat telah kehilangan kapasitas kekritisannya. Sementara akan terlalu sukar, atau bahkan tidak bisa, kita lepas dari jeratan media. Dalam situasi seperti ini yang penting dilakukan adalah membekali diri kita dengan mempelajari media itu sendiri. <br />Melalui buku Membongkar Kuasa Media, penulis mengajak kita untuk menelaah bagaimana audiens dibentuk oleh media dan pada gilirannya dapat menginterpretasikan isi dan makna dalam merepresentasikan media. Membaca buku ini kita diajak menganalisis tentang bagaimana media membentuk opini publik dan melakukan imperialisme budaya. <br />Kolaborasi Sardar dengan ilustrator Van Loon telah berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya cerdas tetapi juga menghibur. Banyaknya gambar kocak dan kalimat satir dalam hampir setiap lembaran buku ini akan membuat pembaca tidak jenuh, selain juga menjadikan sesuatu yang tadinya berat menjadi ringan sehingga buku ini dapat dibaca siapa saja untuk kemudian diajarkan kepada anak-anak. Mengapa anak-anak perlu mempelajari media? Salah satunya, karena berbagai iklan yang muncul di televisi kini menjadikan anak-anak dan yang lebih muda dan jauh muda lagi menjadi targetnya. Banyak acara kartun anak yang sepanjang acara sebenarnya hanya berisi iklan saja. Karena itu, studi media sangatlah layak jika dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar agar anak-anak dapat memandang sesuatu dengan kritis sejak dini.<br />Masa Depan <br />Sohail Inayatullah, pengajar di Pusat Komunikasi Queensland University of Technology meramalkan, tidak lama lagi majalah cetak akan hilang dan surat kabar bagi kebutuhan kita akan muncul di layar televisi setiap pagi. Para aktor menjadi buatan komputer, dan film akan bisa kita sunting ulang dan ubah, lalu dipasarkan di web. Media virtual akan menjadi norma dan cara kita berhubungan dengan bagian dalam dan luar diri kita sendiri. Semuanya akan bersifat instan dan begitu interaktif sehingga kita akan mati karena bosan.dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-25764013866785976162011-04-30T06:12:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.435-07:00Cerita-Cerita yang Menelanjangi Madura<link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}<br />@font-face<br /> {font-family:Calibri;<br /> panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;<br /> mso-font-alt:"Arial Rounded MT Bold";<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:swiss;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> text-align:justify;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:12.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:11.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:Calibri;<br /> mso-ansi-language:EN-US;<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />p.MsoNoSpacing, li.MsoNoSpacing, div.MsoNoSpacing<br /> {mso-style-priority:1;<br /> mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:11.0pt;<br /> font-family:"Calibri","sans-serif";<br /> mso-fareast-font-family:Calibri;<br /> mso-bidi-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;<br /> mso-ascii-font-family:Calibri;<br /> mso-fareast-font-family:Calibri;<br /> mso-hansi-font-family:Calibri;}<br />@page Section1<br /> {size:612.0pt 792.0pt;<br /> margin:54.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;<br /> mso-header-margin:36.0pt;<br /> mso-footer-margin:36.0pt;<br /> mso-paper-source:0;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br /><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRq1GpoVJR_6FAmKCP6Kduq-XqjXX3hYmpXtGPrAQY9lPXuxvJjUtxLHrU" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRq1GpoVJR_6FAmKCP6Kduq-XqjXX3hYmpXtGPrAQY9lPXuxvJjUtxLHrU" width="202" /></a></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 18pt;"><br /><o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 18pt;"><o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b><span lang="EN-US">Jusuf AN *)<o:p></o:p></span></b></div><br /><div></div><br /><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br /></div><br /><div style="text-align: left;"></div><br /><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: left;"><b><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Judul Buku</span></b><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">: <span style="color: black;">Mata Blater</span><o:p></o:p></span></div><br /><div style="text-align: left;"></div><br /><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: left;"><b><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Penulis</span></b><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">: Mahwi Air Tawar<br /><b>Penerbit</b>: Mata Pena, Yogyakarta<br /><b>Cetakan</b>: I, Maret 2010<br /><b>Tebal Buku:</b> xiv + 127 halaman<o:p></o:p></span></div><br /><div style="text-align: left;"></div><br /><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: left;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Siapakah <i>blater</i>? Ia adalah seorang tokoh penting dengan posisi unik yang sukar dicari padananya di daerah-daerah lain di luar Madura. Ia semacam preman tapi bukan preman, semacam jawara tapi bukan jawara, demikian Joni Ariadinata memberi keterangan dalam kata pengantar untuk buku ini. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Sebagai cerpenis yang lahir di Pulau Garam, Mahwi Air Tawar mencoba menghapus citra miring tokoh <i>blater </i>sebagai pembuat onar. Melalui cerpen “Mata Blater”, yang diangkat sebagai judul buku ini, Mahwi ingin menegaskan bahwa seorang <i>blater</i> berani mati dengan suatu alasan yang dianggap “benar”, yakni demi harga diri, demi keberlangsungan hidup yang damai antara sesama, demi tradisi yang diyakini kebenarannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Adalah Madrusin, seorang tokoh <i>blater,</i> yang<i> </i>cintanya tidak direstui oleh keluarga kekasihnya, yang notabene adalah keluarga Kiai. Cerita cinta semacam ini barangkali akan sangat biasa jika Mahwi tidak menjadikan seorang <i>blater </i>sebagai tokoh utamanya. </span><i><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Tembang pote mata, angor mate katelak tolang</span></i><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;"> (lebih baik mati terlihat tulang daripada hidup berputih mata atau menanggung malu). <span style="color: black;">Itulah prinsip hidup Madrusin, lelaki dengan sorot mata setajam ujung celurit. Maka, lihatlah bagaimana gaya Madrusin<i> </i>dalam memecahkan persoalan cintanya yang tak direstui dan hinaan yang telah ia terima. Bukan dengan menculik gadis pujaannya, tetapi dengan cara yang dianggapnya lebih ‘jantan’. Dengan celuritnya Madrusin memotong tiga helai rambut Sati, yang kemudian dimasukkannya ke dalam cangkir kopi. Setelah mengatakan permohonan agar orangtua Sati mau merestui hubungannya, Madrusin mengambil kembali tiga helai rambut Sati dari dalam cangkir kopi dan ditaruhnya persis di atas gagang celurit. <o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Orang Madura memang dikenal sebagai orang yang akrab dengan dunia kekerasan. Memalui cerpen-cerpennya, Mahwi sama sekali tidak ingin menutup-nutupi persoalan-persoalan kekerasan di tanah kelahirannya, melainkan justru bermaksud menelanjanginya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Konflik-konflik yang ada dalam cerpen-cerpen Mahwi merupakan cermin dari apa yang ia lihat dan rasakan selama hidup di Madura. Dalam “Karabhen Sape” dikisahkan tentang Matlar, jagoan karapan sapi, yang mengalah dalam pertandingan akibat iming-iming akan disekolahkan di luar kota. Cerpen ini diakhiri dengan peristiwa tragis, yakni sabetan celurit yang menyemburkan darah sapi kesayangan Matlar. Sementara “Eppak” mengisahkan tentang dendam seorang istri kepada suaminya sendiri yang telah membunuh ibu si istri. Si istri tersebut kemudian mengutus anaknya untuk membunuh ayahnya sendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Sosiolog asal Belanda, Huub de Jonge, dalam </span><span lang="EN-US">buku <i>Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society </i>(1995) mengungkapkan, </span><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Hal tersebut tersirat dalam “Bulan Selaksa Celurit”. Konflik dalam cerpen ini mencuat akibat dendam kekalahan dalam ajang karapan sapi, yang berujung dengan adu <i>carok</i>. Cerpen tersebut bukan sekadar menyuguhkan adegan-adegan kekerasan, tetapi lebih dari itu hendak mengatakan bahwa </span><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">tradisi </span><i><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">carok</span></i><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;"> bukan semata adu kekuatan dan pertumpahan darah tapi upaya mempertahankan apa yang diyakini sebagai sebuah “kebenaran”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Kita tahu, Madura merupakan kelompok etnis terbesar setelah Jawa dan Bali sedangkan penelitian terhadap suku ini belum banyak dilakukan. Karenanya, buku yang memuat 12 cerpen ini memberikan sumbangsih penting yang tidak hanya memberikan hiburan semata, tetapi sekaligus informasi mengenai tradisi dan budaya Madura, sehingga bisa meminimalisir kesalahpahamaan pembacaan terdahap Madura itu sendiri. Bagi Mahwi, Madura beserta problem sosiologis masyarakatnya yang sangat kompleks, merupakan ladang estetika yang sangat menarik untuk digali. Maka usaha Mahwi menelanjangi tradisi dan budaya Madura lewat karya sastra patut mendapatkan apresisasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><b><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Eksplorasi Kultur Etnik<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Penggambaran </span><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">peristiwa serta penulisan setting yang detail membuat pembaca diajak untuk menyaksikan langsung adegan-adegan yang hidup dalam buku ini. Penguasaan materi seputar tradisi dan budaya Madura ditambah dengan cara pengungkapan cerita dengan bahasa puitis membuat cerpen-cerpen dalam buku ini renyah untuk dinikmati kapan saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Membaca buku ini, kita tidak hanya akan disuguhi kisah-kisah kekerasan, tetapi juga diperkaya dengan khasanah serta persoalan-peroalan yang melingkupi tradisi dan budaya Madura, seperti kontes kecantikan sapi dalam “Sape Sonok”; ritual upacara meminta hujan dalam “Ojung”; tarian Ronggeng khas Madura dalam “Tandak” dan “Careta Penanda”; juga pasir putih yang dijadikan tempat untuk tidur dalam “Kasur Pasir”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US" style="color: black; line-height: 150%;">Warna lokal seperti mata air gagasan yang tak pernah kering, demikian pernah disinggung Maman S. Mahayana (2002). Ia menyimpan benih-benih kisah yang tak ‘sudah-sudah’ jika para pengarang mau mengolah. </span><span lang="EN-US" style="line-height: 150%;">Pilihan Mahwi menggarap <span style="color: black;">kultur etnik Madura dalam cerpen-cerpennya merupakan pilihan yang tepat, karena masih langkanya pengarang (cerpen apalagi novel) Madura yang mencoba mengekpolasi kultur etniknya sendiri. Selama ini dalam dunia sastra, Madura lebih dikenal dengan gudangnya penyair, dengan D. Zawawi Imron sebagai ikonnya, sehingga munculnya cerpen-cerpen lokalitas Madura yang terhimpun dalam buku ini telah melahirkan peta baru di dunia kesusastraan kita. <o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><br /></div><div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">*) Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo</span></div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><br /></div><div class="MsoNormal"><br /></div><br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span><br /><div class="MsoNormal"><br /></div><div class="MsoNormal"><br /></div>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-57548935461383085532011-04-29T09:03:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.435-07:00Memperjelas Identitas Manusia Indonesia Judul Buku : Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia<br />Penulis :<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWkH6jkUa43OdrmtTB1siniZovgHrSi2-gRNGxGs9qp-24LrIHcE76zxm_KB2Y5vB26lWOp2DnU9bqF7KYcd4xC07uOtRbo1HJ1qy3RLAsHxsQ5OFgV9cohjZJVZTVaJTNG4BiYdHigAY/s1600/inikah+kita.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWkH6jkUa43OdrmtTB1siniZovgHrSi2-gRNGxGs9qp-24LrIHcE76zxm_KB2Y5vB26lWOp2DnU9bqF7KYcd4xC07uOtRbo1HJ1qy3RLAsHxsQ5OFgV9cohjZJVZTVaJTNG4BiYdHigAY/s320/inikah+kita.JPG" width="205" /></a> Radhar Panca Dahana<br />Penerbit : Insist Book, Yogyakarta<br />Cetakan : Pertama, Maret 2007<br />Tebal : xxviii + 300 halaman<br />Presensi : Jusuf AN*)<br /><br />Sejarah Indonesia tak pernah lepas dari usaha keras untuk menyatukan seluruh unsur ideal, baik yang pernah ada, dianggap ada, bahkan yang diharapkan ada, untuk memberi landasan identifikasi manusia di dalamnya. Sayangnya, usaha tersebut telah menafikan realitas faktual, yakni keberagaman budaya. Radhar menulis, sesungguhnya realitas faktual disusun bukan dari kesatuan ideologis, tapi justru dari keberagamannya. Menurutnya, tak satupun pihak, bangsa atau kelompok etnis apa pun di negeri ini yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu entitas yang genuin. Mangkunegara IV misalnya, mengidentifikasi diri dan ontologi Jawa dari penanggalan dan kedatangan pangeran India Ajisaka; masyarakat Betawi ada karena percampuran puluhan etnis lokal asing serta mendapat sebutan dari sebuah daerah kecil di Netherland, Batavia; begitu pun dengan etnis atau bahkan sub etnis lainnya. Jelaslah, bahwa kita adalah sesuatu yang tersusun dari tradisi dan pecahan-pecahan identitas orang lain.<br /><br />Lewat pemahaman seperti itu, Radhar kemudian memotret realitas mutakhir kita. Realitas yang tragik, di mana dari hari ke hari kita kian lemah. Cara pandang kita kian gelap. Kita seperti berada di ambang kepunahan. Gejala-gejalanya sudah meremang. Cermatilah, bagaimana pesimisme dan apatisme bukan saja terekspresikan dalam karya-karya seni mutakhir, tapi juga fenomena merebaknya tarekat modern, mulai dari gaya Hare Krisna, Scientologi, hingga LSM-LSM yang memenuhi kawasan terpinggirkan sampai tumpah ke jalanan di mana protes-ptotes radikal diarahkan pada WTO, Bank Dunia, IMF, atau negeri seperti Israel dan Amerika Serikat. Gejala-gejala itu memperlihatkan rona muka kita yang gelisah.<br /><br />Dalam pandangan penulis, kegelisahan itu tanpak sebagai upaya-upaya parsial yang mengalami kesulitan titik temu, karena semua modus titik temu sudah diambil alih dan dikuasai oleh kekuatan dominan. Ia tinggal sebagai serpihan, dalam perspektif luas, menjadi mozaik (baru) hasil interaksi dan akulturasi kultural baru. Sebagian menarik, sebagian besar menggelikan dan mengecewakan. Hasilnya: perikalu, sikap, cara berpikir, dan mentalitas yang kacau, bahkan khaotik di semua lini. <br />Buku kumpulan esai Radhar Panca Dahana yang tersebar di sejumlah media masa dan forum-forum diskusi ini mencoba menguraikan kembali persoalan eksistensi kita. Lewat buku ini Radhar mempertanyakan kembali, kemudian mencari jawaban atas eksistensi sebuah entitas dengan cara menghimpun serpihan-serpihan pengertian, menyusun satu mozaik dari realitas mutakhir kita. Penulis membagi tulisannya dalam tiga bagian.<br />Pada bagian pertama ("Pedalaman Kita") diuraikan berbagai situasi realitas subyektif, realitas di kedalaman—jiwa, hati, pikiran—kita. Mulai dari keserakahan dan korupsinya, semangat palsu nasionalismenya, perilaku orang kaya baru, sampai gencarnya monolog di kalangan petinggi kita. Kita diajak untuk mengenali, menerima, dan pada akhirnya mengoreksi kelemahan-kelemahan sendiri yang turut ambil dalam kekisruhan kolektf kita.<br /><br />Pada bagian kedua ("Pertengahan Kita"), sastrawan yang juga pengajar sosiologi di pasca sarjana Universitas Indonesia ini mengajak kita berkontemplasi melalui simbol-simbol puitik, yang merupakan hasil renungan tentang realitas yang terurai di bagian pertama. Lewat puisi "Dilaknat Kalian", "Manusia Pantat", "Dari Insan Tercipta Tuhan", "Nabi Monyet", "Setan-Malaikat; Aku menujumu", barangkali bisa didapatkan signifikasi melalui bahasa ungkap yang berbeda, sehingga memberi inspirasi dan proses penyadaran diri bagi pembaca.<br />Selanjutnya, pada bagian ketiga ("Peluaran Kita") penulis memaparkan kenyataan ekspresif kita sebagai kesatuan kolektif, sebagai sebuah negeri formal di tengah gencaran peradaban modern yang didistribusikan melalui proyek raksasa globalisasi. Di sini Radhar mencoba menyikapi, memberikan gagasan untuk menyiasati atau sekedar menghadapi persoalan-persoalan baru itu.<br /><br />Menurut Ketua Federasi Teater Indonesia ini, kita mesti menerima (atau menempatkan) Indonesia sebagai satu realitas yang belum tercapai atau sedang berproses mencari bentuknya. Lalu melihat diri sendiri sebagai kecambah "Indonesia" itu dalam bentuknya yang carut marut, bahkan mungkin tak berbentuk sama sekali. Karena ia semata mozaik yang disusun dari kepingan-kepingan masa lalu, masa depan, harapan, pengaruh-pengaruh, kelebihan, kekurangan, dan berbagai hal yang semestinya dapat segera kita identifikasi. Setidaknya kita bisa mulai dengan satu usaha untuk menyusun ulang (merekontruksi) puing-puing atau kepingan itu ke dalam satu mozaik baru yang lebih memiliki bentuk dan lebih bisa teridentifikasi.<br />Untuk menyusun mozaik baru itu, tulis Radhar, sebuah kerja kebudayaan yang besar mesti siap kita lakukan. Ekspresi dan produk budaya dari mana pun asalnya mesti mendapatkan ruang dan keleluasaannya. Karena secara sinergis dan akumulatif semua kerja itu akan melakukan semacam rafikasi atau penghalusan dari kerja pembentukan mozaik kita di atas. Sehingga bentuk itu pun semakin integral, kuat, komprehensif dan tegas sebagai sebuah identitas.<br /><br />Demi kemaslahatan sebuah negeri yang mampu mengatasi semua bentuk perbedaan itu, Radhar menyarankan, kita mesti menghadapkan semua kemungkinan cara di atas dalam posisi yang egaliter. Tidak ada sepihak atau seorang pun yang dapat menduga: bentuk atau mozaik baru apa yang akan berrupa setelahnya. Yang bisa kita lakukan hanya menerima: itullah Indonesia kita. Indonesia yang berbeda. Mungkin baru.<br />Buku setebal 300 halaman ini begitu kaya dengan kritik, wacana, dan gagasan brilian berkait dengan persoalan-persoalan mutakhir kita. Meski Radhar sendiri mengakui, semua gagasannya masih dalam bentuk mozaik, tersusun dari pecahan-pecahan ide yang kadang sektoral, sehingga masih diperlukan sebuah buku baru. Tetapi yang pasti buku ini bisa menjadi sebuah awal terbentuknya mozaik baru Indonesia.dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-19314392159627424472011-04-29T08:41:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.435-07:00Citra Orang Tionghoa<link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> text-align:right;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> direction:rtl;<br /> unicode-bidi:embed;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-ansi-language:IN;<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />p<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-margin-top-alt:auto;<br /> margin-right:0cm;<br /> mso-margin-bottom-alt:auto;<br /> margin-left:0cm;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-ansi-language:EN-US;<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;}<br />@page Section1<br /> {size:612.0pt 792.0pt;<br /> margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;<br /> mso-header-margin:36.0pt;<br /> mso-footer-margin:36.0pt;<br /> mso-paper-source:0;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br /><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 21pt; line-height: 150%;"><br /><o:p></o:p></span></b></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGKSG0X2ImtnThhHuikM6BCXocSuUOhUBO7FkIWFDvfCYV-iuLUI95BRpi2P2Zzj4BX-K7CnNRUeZ_b4SFryNi-Hk1K8qKbRynTNkpqlX3yKjdSnpx8_Bsc9IBWfc8HxyN9MF0yCNZn8w/s1600/Menjadi+jawa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGKSG0X2ImtnThhHuikM6BCXocSuUOhUBO7FkIWFDvfCYV-iuLUI95BRpi2P2Zzj4BX-K7CnNRUeZ_b4SFryNi-Hk1K8qKbRynTNkpqlX3yKjdSnpx8_Bsc9IBWfc8HxyN9MF0yCNZn8w/s320/Menjadi+jawa.jpg" width="211" /></a></div><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-ansi-language:EN-US;<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />p<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-margin-top-alt:auto;<br /> margin-right:0cm;<br /> mso-margin-bottom-alt:auto;<br /> margin-left:0cm;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-ansi-language:EN-US;<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;}<br />@page Section1<br /> {size:612.0pt 792.0pt;<br /> margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;<br /> mso-header-margin:36.0pt;<br /> mso-footer-margin:36.0pt;<br /> mso-paper-source:0;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style> <div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 23pt;"><br /><o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 16pt;"><o:p><span style="font-size: small;">Peresensi: Jusuf AN </span></o:p></span></b></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span lang="EN-US">Judul Buku : Menjadi Jawa<br />Penulis : Rustopo<br />Penerbit : Ombak, <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place><br />Cetakan : I, Agustus 2007<br />Tebal : xxii + 420 halaman<br /><o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-indent: 36pt;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Etnis Tionghoa telah mengalami bertubi-rubi derita sepanjang sejarah <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Permbunuhan besar-besaran terhadap orang cina di <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Batavia</st1:place></st1:city> (baca: <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>) dan sekitarnya yang dilakukan VOC pada tahun 1740 menjadi satu titik penting bermulanya peng-asingan etnis Tionghoa. Ketika gerakan nasionalisme semakin semarak orang-orang Tionghoa dianggap sebagai golongan yang anti <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Proses peng-asingan etnis Tionghoa terus berlanjut sampai diplokamirkannya <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> di mana seharusnya segala bentuk diskriminasi dihapus dan diganti demokrasi yang menjujung tinggi keseteraan hak dan perbedaan. Pembunuhan masal tahun 1946 di Banten yang konon dipicu oleh sentimen ekonomi menambah satu lagi daftar kepedihan masyarakat Tionghoa. Ironisnya, orang Tionghoa kembali menjadi sasaran keberingasan sosial yang terjadi tahun 1998 di Surakarta di mana toko, rumah, dan tempat usaha mereka di bakar dan dijarah. Rentetan peristiwa itu menunjukkan, seolah-olah etnis Tionghoa merupakan elemen asing yang patut dimusuhi. Sebuah prasangka yang terburu-buru dan jelas-jelas keliru.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Tradisi pemikiran historiografi <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, khusunya Jawa, yang menempatkan masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat asing sudah sepatutnya dibongkar ulang. Tionghoa, kita tahu, bukanlah satu-satunya etnik atau bangsa pendatang di pulau Jawa, tetapi anehnya label non-pribumi hanya melekat pada Tionghoa, dan tidak termasuk etnik Arab atau <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">India</st1:place></st1:country-region>. Selama ini keberadaan komunitas Tionghoa dalam sejarah Jawa lebih sering dipahami sebatas cara pandang politis, yaitu elemen pengganggu ataupun parasit kegiatan ekonomi. Jarang sekali ditemukan adanya upaya untuk melihat masa lalu Tionghoa di Jawa secara sosio-kultural, yaitu sebagai salah satu bagian yang secara integratif membentuk identitas Jawa. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Kita tak bisa menutup mata terhadap beberapa orang Tionghoa yang pernah tampil sebagai tokoh-tokoh utama dalam pengislaman Jawa. Bukankah kerajaan Islam pertama di Jawa dipimpin oleh seorang raja keturunan Tionghoa? Dalam bidang pertanian orang-orang Tionghoa juga meninggalkan warisan yang abadi hingga kini, berupa pengetahuan, teknologi pengolahan dan peralatan pertanian. Belum lagi sumbangan orang-orang Tionghoa di bidang kelautan berupa pembuatan kapal serta alat-alat atau senjata dari logam. Sementara dalam bidang seni budaya, orang Tionghoa telah berhasil mengembangkan Wayang Orang Panggung, ‘Srimulat’ dan batik tulis Jawa yang memiliki kehalusan dan corak yang khas. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Adalah Kho Djin Tiong atau yang lebih akrab disapa Teguh, seorang keturunan Tionghoa yang begitu intens membelajari nilai-nilai filosofi, etika, dan estetika Jawa yang terkandung dalam <i>lawakan</i> Mataram sebagai dasar dari pengembangan sandiwara lawak ‘Srimulat’ yang ia pimpin. Kepada seluruh pelawak asuhannya, Teguh menanamkan konsep lawakan ‘Srimulat’, yaitu ‘lucu itu aneh, dan aneh itu lucu.’ Teguh dianggap sebagai seorang guru besar pertunjukan lawak yang telah melakukan pengembangan-pengembangan besar terhadap seni pertujunjukan Jawa tradisional seperti Dagelan Mataram, ketroprak, wayang wong, wayang kulit, ludruk dan lain-lain. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="EN-US">Membangun Jawa Adiluhung<o:p></o:p></span></b></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="EN-US"> </span></b><span lang="EN-US">Banyak lagi orang-orang Tionghoa yang berjasa membangun Jawa yang <i>adiluhung</i>. Go Twin Swan adalah orang tionghoa yang mula-mula mengawinkan batik <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">gaya</st1:place></st1:city> pesisir utara Jawa Tengah dengan batik <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">gaya</st1:place></st1:city> <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Surakarta</st1:place></st1:city> dan <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place>, yang kemudian dilegitimasi oleh Bung Karno dan diperkenalkan kepada masyarakat sebagai ‘Batik <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>’. Tengoklah pula Koo Kiong Hie, yang dengan tekun berjuang untuk mampu menari, <i>nembang, </i>dan berbahasa Jawa sebaik seniman-seminam Jawa. Juga Koo Kiong Hie (Theo Hidayat), Tio Gwat Bwee (Sri Rejeki), Liem Tan Swie (Wiwiek Widodo), Koo Giok Lian (Nora K. D), dan para pemain Wayang Orang Panggung Darma Budaya yang merupakan orang-orang Tionghoa yang memiliki bakat dan keseriusan dalam kesenian Jawa. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Meskipun Wayang Orang Panggung, Srimulat, dan Batik <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> tidak pernah tertulis tentang hasil-hasil karya ‘Jawa’ dari orang-orang Tionghoa, tetapi tidak pernah ada yang menyangsikan bahwa hasil kreatifitas itu bukan ‘Jawa’. Karya-karya orang Tionghoa bukan hanya merupakan aset budaya milik Jawa, atau <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Surakarta</st1:place></st1:city>, melainkan menjadi milik bangsa. Citra positif tentang kejawaan orang-orang Tionghoa, baik melalui karya-karya mereka maupun melalui perilaku dalam hubungan masyarakat sehari-hari, tidak perlu disangsikan. Terlepas dari ada atau tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka, sesungguhnya apa yang mereka lakukan menunjukkan adanya keinginan masyarakat Tionghoa untuk “menjadi” Jawa agar dapat diterima oleh masyarakat Jawa. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Buku <i>Menjadi Jawa </i>karya Rustopo ini sangat layak diapresiasi. Sebab buku setebal 420 halaman ini berbeda dengan tulisan-tulisan yang ada sebelumnya yang kebanyakan hanya melihat etnis Tionghoa dari kaca pandang ekonomi atau politik sehingga orang Tionghoa di Jawa terkesan hanya berurusan dengan modal, dan terpisah dari masayarakat. Melalui buku ini Rustopo bermaksud menempatkan Tionghoa sebagai komunitas sekaligus individu yang lebur menjadi satu ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa untuk bersama-sama membangun Jawa yang <i>adiluhung</i>. [*] </span></div></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-68183799872433332022011-04-29T08:34:00.000-07:002011-05-15T17:50:08.436-07:00Memongkar Tiang-Tiang Pengangga Imperialisme AS<link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CIntel%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style><br /><!--<br /> /* Font Definitions */<br /> @font-face<br /> {font-family:"Cambria Math";<br /> panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;<br /> mso-font-charset:0;<br /> mso-generic-font-family:roman;<br /> mso-font-pitch:variable;<br /> mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}<br /> /* Style Definitions */<br /> p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal<br /> {mso-style-unhide:no;<br /> mso-style-qformat:yes;<br /> mso-style-parent:"";<br /> margin:0cm;<br /> margin-bottom:.0001pt;<br /> mso-pagination:widow-orphan;<br /> font-size:12.0pt;<br /> font-family:"Times New Roman","serif";<br /> mso-fareast-font-family:"Times New Roman";<br /> mso-ansi-language:EN-US;<br /> mso-fareast-language:EN-US;}<br />.MsoChpDefault<br /> {mso-style-type:export-only;<br /> mso-default-props:yes;<br /> font-size:10.0pt;<br /> mso-ansi-font-size:10.0pt;<br /> mso-bidi-font-size:10.0pt;}<br />@page Section1<br /> {size:612.0pt 792.0pt;<br /> margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;<br /> mso-header-margin:36.0pt;<br /> mso-footer-margin:36.0pt;<br /> mso-paper-source:0;}<br />div.Section1<br /> {page:Section1;}<br />--><br /></style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhquWm6B5bgciPag-bPNtwFzqe_YxVCLGKZJiwrGXJef34Gp5x7inNn6murEJyZMsT2dDO2VwpEQ9ZhgcNOQELx-VK1yqEuKeo35A9O6rrN7oplX7WPmUU2OH2sCaeqieA9CLbyKYTFgd4/s1600/cover%252C+NEO+IMPERIALISME+AS.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhquWm6B5bgciPag-bPNtwFzqe_YxVCLGKZJiwrGXJef34Gp5x7inNn6murEJyZMsT2dDO2VwpEQ9ZhgcNOQELx-VK1yqEuKeo35A9O6rrN7oplX7WPmUU2OH2sCaeqieA9CLbyKYTFgd4/s320/cover%252C+NEO+IMPERIALISME+AS.jpg" width="209" /></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: left;"><span lang="EN-US">Jusuf AN*)</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 90pt;"><b><span lang="EN-US">Judul Buku </span></b><span lang="EN-US">: </span><span lang="IT" style="color: black;">Neo Imperialisme Amerika Serikat</span><span lang="EN-US" style="color: black;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 90pt;"><b><span lang="EN-US">Penulis</span></b><span lang="EN-US"> : <span style="color: black;">Noam Chomsky</span><br /><b><span style="color: black;">Penerjemah</span></b><span style="color: black;">:<b> </b>Eko Prasetyo Darmawan<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 90pt;"><b><span lang="EN-US" style="color: black;">Penerbit </span></b><span lang="EN-US" style="color: black;">: Resist Book, <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place><br /><b>Cetakan </b>: Pertama, November 2008<br /><b>Tebal </b>: xxiii + 235 Halaman<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 90pt; text-align: center;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Kejayaan Amerika Serika (AS) ternyata hanya sekadar mitos. Apa yang selama ini kita sangka bahwa AS merupakan negeri yang kaya, menjadi kiblat kemodernan dan kemajuan, ternyata palsu. Adalah Noam Chomsky, penduduk asli Amerika, seorang pakar linguistik sekaligus aktifis politik yang telah menyingkap lebar-lebar mitos itu. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Menurutnya</st1:city>, <st1:state w:st="on">AS</st1:state></st1:place> tak lebih dari negara imperialis yang keji dan biadab. AS tidak bisa disebut maju karena kemajuan itu dibangun di atas penindasan dan pembodohan terahadap berjuta-juta penduduk aslinya dan terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Meskipun Chomsky adalah seorang warga asli Amerika, tetapi ia sangat tidak menyukui politik imperialisme negerinya sendiri. Baginya, penindasan tetaplah penindasan yang mesti mendapat perlawanan. Dan AS, yang terbukti telah menjadi biang kerok kekacauan, kemiskinan, teror, dan kematian massal di mana-mana, tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Eksploitasi ekonomi dan dominasi yang dilakukan AS mesti secepatnya dihentikan! </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Perlawanan dari negara-negara Dunia Ketiga sebagai pihak yang paling sering dirugikan dan dikisruhi oleh AS memang sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, masyarakat dalam negeri AS yang notabene lebih dekat dengan Pentagon beserta bau busuk yang dihembuskannya ternyata lebih sering diam dan menutup mata. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> apa? Mengapa imperiliasisme AS yang demikian kejam tidak mendapat peralawan dari dalam negerinya sendiri? Strategi apa yang dipakai oleh kelas berkuasa di AS untuk menjinakkan warganya sendiri, sebelum kemudian menundukkan negara lain?</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan hanya untuk menguak bagaimana ideologi imperialistik AS ditanamkan secara hegemonik, tetapi juga untuk memahami apa sajakah sebenarnya syarat-syarat yang mesti diciptakan oleh setiap kekuasaan untuk melakukan hegemoni, dominasi dan ekspolitasi.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Buku setelah 255 halaman ini berusaha menyingkap beberapa ‘aparatus ideologi’ yang digunakan oleh kelas berkuasa di AS untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara AS sehingga nilai-nilai, pandangan hidup dan sitem kapitalis diterima sebagai wajar dan normal, bahkan didukung dan sanjung-sanjung. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Jalur pertama dari ‘aparatus ideologis’ yang digunakan adalah pendidikan. Pendidikan di Amerika, sebagaimana yang digambarkan Chomsky, masih jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan. Praktik pendidikan di AS digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu dan diciptakan sebagai institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengindoktrinasi anak-anak muda. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Melalui Komisi Trilateral yang berfungsi untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya pemikiran yang mandiri, kelas berkuasa AS berusaha membendung gerakan-gerakan rakyat. Komisi Trilateral, menurut Chomsky, bertugas mencari cara-cara yang efektif untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme barat dan dominasi elit-elit berkausa sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri dari ilmuwan, para profesional pakar, melalui suatu sistem pengajian terus-menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan nilai-nilai AS. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Karena itu, salah besar jika <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> mencontoh (bahkan mencontek) praktek pendidikan yang diselenggarakan di AS. Sebab, pendidikan yang dipraktekkan di AS begitu jauh dari pendidikan demokratik melainkan menggunakan model pendidikan kolonioal yang dipercangih. Pendidikan di AS jauh dari model pendidikan kritis, sehingga kultur sosial dan politik masyarakatnya pun mudah untuk dijinakkan. Kalangan kelas terdidik justru berbondong-bondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan mereka akan bungkam dan menutup mata jika kelas berkuasa AS melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Selain jalur pendidikan, kelas berkuasa AS juga sangat menyadari bahwa kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media, dan pengetahuan merupakan elemen kekuasaan yang sangat berpengaruh. Kini, hampir seluruh media <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place> besar dan tersohor di AS, seperti majalah <i>Times </i>dan <i>New York Times,</i> telah berhasil dibuat patuh dan menetek pada kekuasan. Maka tidak susah untuk melahirkan rekayasa sejarah yang didukung oleh praktik-praktik manipulatif lainnya. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Tengoklah, betapa kultur politik dan media <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place> di AS cenderung membisu dan menutup mata atas kejatahan-kejahatan negaranya sendiri. Pembelaan media-media besar di AS atas kekejaman yang dilakukan <st1:country-region w:st="on">Israel</st1:country-region> terhadap rakyat Palestina dengan menyebut bahwa tindakan kekerasan negera <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Israel</st1:country-region></st1:place> memang diperlukan untuk menghadapi aksi-aksi Palestina merupakan satu contoh yang disebut oleh Chomsky berasal dari sebuah doktrin yang memiliki pola “marah luar biasa terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan musuh sambil memuja-muja setinggi langit terhadap ketinggian prinsip yang dianut.” </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Upaya kelas berkuasa AS dalam “menundukkan pikiran publik,” tentu saja kurang lengkap jika tidak ditopang kaum intelektual agar doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstiusional di dalam negeri.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Itulah tiang-tiang penyangga imperialisme AS yang dibongkar oleh Chomsky. Semua kekuatan ekstra-ekonomi tadi tiada lain digunakan untuk mengukuhkan dan mengawetkan kekuasaan kelas berkuasa AS. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita merobohkan tiang-tiang itu, untuk kemudian menegakkan tiang-tiang baru dalam rangka mensejahterakan dunia. </span></div>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-15031689143333599012011-02-25T07:45:00.000-08:002011-05-15T17:50:08.436-07:00Anakku: BURUNG-BURUNG CAHAYA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjToGq1q7GvwanMg9AFY_lLdOrcdekrUXX79PQP4Zt06KzVicSknBIk4PFvcjuA3LH8nUZBzX9jjuHuwUjedXtsNkLhx2Xh6V5fipWjTK0Ye4j0sQ0nDCSfB7Kq8Wtnu8tGYstGEzF9TOI/s1600/burung+burung+cahaya11.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjToGq1q7GvwanMg9AFY_lLdOrcdekrUXX79PQP4Zt06KzVicSknBIk4PFvcjuA3LH8nUZBzX9jjuHuwUjedXtsNkLhx2Xh6V5fipWjTK0Ye4j0sQ0nDCSfB7Kq8Wtnu8tGYstGEzF9TOI/s400/burung+burung+cahaya11.jpg" width="278" /></a></div><br /> Judul : Burung-Burung Cahaya<br /> Penerbit : Sabil, Yogyakarta<br /> Tebal : 446 hlm<br /> Cetakan : 1, Februari 2011 <br /><br /><br /><br />alhamdulillah<br />anak saya yang kedua kembali lahir, sudah digenapkan denga<span class="text_exposed_hide"></span><span class="text_exposed_show">n nama: "Burung-Burung Cahaya". </span><br /><span class="text_exposed_show">mohon doa restunya, semoga petualangannya di dunia perbukuan mendapatkan berkah.<br />Saya ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk Penerbit Diva Press yang bersedia membantu kelahirannya. Kepada Simbah K.H. Musthafa Bisri, Kang Acep Zam-Zam Noor, Bang Kurnia Effendi, Mas Chand Parwez Servia, dan Mbakyu Yetti A.KA yang sudi memberikan komentar (doa) dan masukan. Juga kepada guru, dan kawan-kawanku yang telah mengajarkan kebijaksanaan kepadaku (K.H. Nuruddin (almarhum), Joni Ariadinata, Mahwi Tawar, Indrian Koto, Rakai Lukman, Amin Steven, Sunlie Thomas Alexander, Ridwan Munawar,Fahmi Amrullah, Mukhlis Amrin, Aguk Irawan MN, kawan-kawan Rumah Poetika dan Sanggar Jepit Yogyakarta, serta guru dan kawan-kawanku yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. terimakasih atas kebaikan kalian semua....<br /><br />*****<br />Berikut ini merupakan spirit dan doa untuk Burung-burung Cahaya:</span><br /><span class="text_exposed_show"><br />Al-Quran oleh setiap muslim diakui sebagai sesuatu yang agung. Sebutan-sebutan mulia selalu dikenakan pada kitab suci umat Islam itu. Pertanyaannya, sudahkah kaum muslimin memperlakukan kitab sucinya itu sebagaimna mestinya? Novel 'Burung-burung Cahaya' yang merupakan metafor untuk menggambarkan santri-santri Pondok pesantren al-Quran ini, mencoba memotivasi pembacanya ~khususnya yang beragama Islam~ untuk memperlakukan al-Quran sebagaimana seharusnya. Di samping itu, pembaca diajak berpikir tentang lika-likunya perjalanan menuju derajat kemuliaan di sisi Allah. Novel yang menarik dan menggelitik. (KH. A. Mustofa Bisri, Budayawan, Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang)<br /><br />Novel ini menguraikan secara detail berbagai anasir cerita mulai dari tema, peristiwa hingga konfilk dengan sangat hidup dan memikat. Sebuah novel yang mencoba mengangkat dunia pesantren dari sudut pandang lain, dengan cara yang lain pula. (Acep Zamzam Noor, penyair peraih penghargaan Sastra Asia Tenggara dan Khatulistiwa Award)<br /><br />Pesantren tidak kalis pada persoalan manusia umumnya: cinta, harapan, dan ambisi untuk mendapatkannya. Ada niat mulia untuk menghapus kelam masa lalu, dan persahabatan yang terjalin liat seiring waktu. Jusuf memandang lengkap tiap warna yang merona di latar relijius itu. (Kurnia Effendi, Pecinta Sastra)<br /><br />Cerita berjalan dalam dua koridor tentang menghafal al-Qur’an dan cinta yang coba disatukan dalam gejolak pencarian dan pendewasaan Rijal, tokoh utama novel ini. Cukup memberi romantika dan menarik untuk dibaca. (Chand Parwez Servia, Produser Film Starvision Plus)<br /><br />Jusuf AN dalam novel ini menghadirkan kehidupan dunia pesantren dengan gaya penulisan yang sederhana, enteng, tetapi memikat. (Yetti A. KA. Cerpenis)<br /><br /><br />Selamat berpetualang anakku...</span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-14876232408219923682011-01-09T16:35:00.000-08:002011-05-20T23:03:11.695-07:00Jehenna, Narasi Jin di Tengah Kita<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRmyCeL9adXkbPN5EidWyyL3Zvb6aMQmCYgbGN5Hi9YRfVoR610" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRmyCeL9adXkbPN5EidWyyL3Zvb6aMQmCYgbGN5Hi9YRfVoR610" width="135" /></a></div>oleh: Ridwan Munawar*)<br /><br />“kesesatan pun perlu dibaca. Untuk dihindari”<br />(Ahmad Tohari)<br /><br /><br />Sederet kalimat di atas kiranya cukup reresentatif untuk menggambarkan spirit dari novel mistik yang menggambarkan bagaimana gigihnya proses penyesatan yang dilakukan oleh kaum jin terhadap manusia ini. Membaca novel ini, adalah mengikuti ketegangan tanpa henti tentang bagaimana perilaku manusia selalu berada dalam godaan dan pilihan nilai baik-buruk sampai pada titik terkecilnya.<br /><br />Tokoh utama di sini adalah Jehenna, seekor jin jantan yang menggoda para pengikut Muhammad Jumadil Qubra’ dan Sunan Kalijaga sampai pada keturunannya di masa dulu sampai modern sekarang. Dengan kata lain, alur waktu dalam novel ini ada tiga; masa jawa klasik, masa pergerakan nasional dan masa modern sekarang. Dalam satuan waktu kaum jin yang rata-rata berumur ratusan sampai ribuan tahun manusia, kurun waktu tiga periode di atas tentulah pendek saja adanya. “Jehenna” sendiri adalah sebuah kata yang berasal dari Syiria yang berarti “jahanam.<br /><br />Melihat tema yang mistik dan mungkin terkesan horor ini, di antara kalangan pembaca barangkali ada yang bertanya dan menerka; jangan-jangan novel ini sama saja halnya dengan cerita-cerita hantu lain yang galibnya disukai orang-orang. Memang, dari segi sejarah kesusasteraan, cerita hantu atau novel-novel mistik yang mengeksplorasi mitologi alam gaib, jadag lelembut, alam jin, supranaturalitas pernah meramaikan dunia perbukuan kita, terutama pada dekade 80-90 an. Kita mungkin masih ingat novel-novel stensilan dengan tema di atas yang seringkali nama pengarangnya adalah nama samaran. Marga.T, seorang penulis kisah asmara populer pun ternyata pernah menulis tema demikian dalam beberapa edisi novelnya.<br /><br /><a name='more'></a><br /><br />Banyak kalangan dari kritikus sastra yang mengkategorikan novel cerita hantu sebagai sastra ringan/populer. Dari segi kebahasaan, novel-novel itu memang datar-datar saja, tidak mengalami sofistikasi dan estetisasi bahasa yang njlimet. Dan segi penceritaan pun, novel horor stensilan itu tidak memiliki pesan moral yang mendalam.<br /><br />Namun lain hal nya dengan novel mistik “Jehenna” ini. Dengan dialog yang subtil dan intens, konflik antara jin dan insan (manusia) pun bisa dieksplorasi sampai pada sisi nilai yang dalam; bahwa keberadaan mahluk gaib supranatural bukan sekedar keseraman-keseraman bentuk yang tanpa arti, melainkan juga memiliki peran yang penting dalam pembentukan nilai-nilai kemanusiaan. Dari segi kebahasaan, novel ini cenderung puitis dan cukup peka akan perimaan.<br /><br />Ini adalah suatu terobosan menarik. Sebab, bagaimanapun jika melihat realitasnya, kepercayaan mistik masih menjadi sesuatu yang kental dalam fikiran masyarakat kita, dari desa sampai kaum urban kota. Apa yang menjadi kesadaran publik, haruslah terus digali dan disikapi dengan nalar yang baik. Bisa dibilang, “Jehenna” adalah suatu usaha pencarian jalan baru dalam menarasikan mitologi mistik masyarakat kita. Sementara, pada kebanyakan pengarang dan penulis, tema-tema semacam ini banyak dihindari, karena bisa terjebak ke dalam nuansa artifisial yang kurang mengindahkan substansi nilai mistisistme Islam.<br /><br />Di dunia Barat, urban legend semacam kisah hantu “Bloody Mary”, “Dracula”, atau “Bogeyman” terus direproduksi dan dinarasikan ulang lewat film dengan perbaikan yang ketat di sana-sini. Ini menjadikan dongeng yang semula picisan itu menjadi memiliki sisi lain yang patut dipertimbangkan dalam menafsirkan alam bawah sadar masyarakat urban perkotaan di Amerika. Reproduksi dan penarasian ulang menjadikan urban legend bergeser dari sekedar dongeng ringan menjadi sebentuk artefak ketaksadaran kolektif dari masyarakat yang mempercayainya. <br /><br />Sudut pandang penceritaan yang memposisikan Jin sebagai narator adalah satu kekuatan penceritaan novel ini. Selama ini, hampir semua novel-novel pop mistik sebelum Jehenna selalu memposisikan mahluk gaib sebagai sesuatu yang asing, alienatif dan sesuatu yang hadir sebagai teror tanpa alasan terhadap dunia manusia. Dalam Jehenna, Jin justru ditampilkan sebagai sosok yang memiliki kesadarannya sendiri. Suara tokoh jin dan manusia yang saling berjalin kelindan dalam setiap sudut narasinya, menciptakan ketegangan yang detail dalam setiap sudut kisahnya. Konflik yang padat inilah yang membuat novel unik ini menegangkan dari awal sampai akhir.<br /><br />Personifikasi jin menjadikan kehadiran alam gaib/alam lelembut itu terasa makna antropologisnya. Kehadiran jin sebagai penggoda manusia juga erat kaitannya dengan alam bawah sadar manusia dalam novel ini. Tentunya hal ini membuka peluang bagi Jehenna untuk ditafsirkan pada banyak sisi dalam kaitannya dengan mitos dan alam bawah sadar masyarakat kita yang notabene percaya akan adanaya alam gaib.<br /><br />Membaca novel ini, anda tidak akan merinding takut sebagaimana halnya menonton film-film horor di televisi, tetapi menjadi lebih berhati-hati dalam setiap perbuatan dalam keseharian kita.<br /><br />(Sumber: Koran Merapi, 9 Januari 2011)<br /><br />*)Ridwan Munawar, Mahasiswa Psikologi <br />UIN Sunan Kalijaga Yogyakartadunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-80777237272729306752011-01-02T08:06:00.000-08:002011-05-15T17:48:52.851-07:00Menghidupkan Siaran Televisi yang Pro-BukuJusuf AN*)<br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2lmrwGPBG8j1vdDLIFAGdc8eOtSkysrHbZ9U4GSl8Pkj-b5FWhw36TNM6p6F1Jezl6rmxUmp7wvqrNjNJwrD0a5qQYVR3xaV8QCosYDcavxJ09Bul-32w1rJHJq26BbAV7o-Nj86EBWc/s1600/DSCF3923.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2lmrwGPBG8j1vdDLIFAGdc8eOtSkysrHbZ9U4GSl8Pkj-b5FWhw36TNM6p6F1Jezl6rmxUmp7wvqrNjNJwrD0a5qQYVR3xaV8QCosYDcavxJ09Bul-32w1rJHJq26BbAV7o-Nj86EBWc/s320/DSCF3923.JPG" width="320" /></a></div>Televisi seperti hanya rokok, harus dilengkapi dengan peringatan dari Departemen Kesehatan, tulis E Shapiro lewat bukunya Mengajarkan Emosional Intelligence pada Anak (2006). Walaupun menonton televisi tidak langsung menimbulkan kerusakan fisiologis sebagaimana rokok, namun televisi merupakan faktor nyata yang menyebabkan obesitas (kegemukan) di kalangan anak-anak yang sekarang diduga mencapai sekitar 14 %. Dan kita tahu, obesitas mempunyai peran yang besar dalam mengundang penyakit berat yang menyebabkan pendeknya usia. Berbeda dengan rokok yang dapat menyebabkan kanker dan serangan jantung, televisi dapat menyebabkan ketagihan psikologis yang menggangu, dan fakta ini sulit dibantah siapa saja. <br /><a name='more'></a><span class="fullpost"><br />Satu sisi memang televisi menjadi momok yang mengancam jutaan anak di seluruh dunia. Namun di sisi lain televisi juga bisa menjadi sumber belajar yang mencerdaskan. Sebagian kalangan beranggapan televisi bisa melemahkan minat baca, menjauhkan dari buku, mengurangi gairah belajar, dan melumpuhkan emosional intelligence. Sebagian lainnya menganggap, televisi sekadar alat, jika digunakan dengan tepat ia tak akan melukai. Dengan kata lain, televisi bisa dijadikan satu sarana yang baik dalam menumbuhkan semangat belajar anak, meningkatkan potensi akademik, dan mengembangkan minat baca, tergantung dari bagaimana, apa, dan berapa lama kita menontonnya. <br /><br /><b> Tenggelamnya Mitos Televisi</b></span><br /><br />Milton Chen pada 1994 menulis The Smart Parent Guide to Kids'TV, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak-Anak dan Televisi: Buku Panduan Orang Tua Mendampingi Anak-anak Menonton TV. Buku tersebut antara lain mengungkap penyangkalan terhadap mitos-mitos seputar televisi. Mitos-mitos ini berpangkal pada pandangan simplitis, tetapi keras kepala bahwa televisi, sebagai suatu medium, mempunyai pengaruh-pengaruh tersendiri yang terlepas dari isinya.<br /><br />Salah satu mitos itu, bahwa anak yang menonton televisi tidak akan pernah menjadi pembaca yang baik. Betapa selama ini banyak orang beranggapan bahwa televisi dan buku adalah musuh bebuyutan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Program siaran yang bermutu bisa benar-benar memotivasi penonton untuk membaca dan mencintai buku. <br /><br />Kita akui televisi di negeri ini penuh dengan tayangan yang cenderung sekadar menghibur ketimbang mendidik. Meski begitu, miskinnya tayangan yang bermutu tidak kemudian membuat kita terburu-buru berkesimpulan bahwa buku memiliki derajat lebih tinggi dibanding televisi. Sikap anti-televisi semacam itu disadari atau tidak telah menciptakan semacam kesombongan intelektual. Padahal, beberapa program televisi ada yang jelas-jelas pro-buku. <br /><br />Kita tentu kenal dengan acara Kick Andy yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta. Acara Kick Andy patut mendapat pujian, bukan hanya disebabkan ia konsisten mengangkat tema-tema yang humanis, tetapi juga karena usahanya mengusung buku ke layar kaca. Beberapa kali Andy bahkan menghadirkan para penulis buku, seperti Andera Hirata, Muhyidin M Dahlan, Fuadi—sekadar menyebut beberapa nama—sesuatu yang sangat jarang kita jumpai. Lagi, program ini juga selalu membagikan buku gratis kepada ratusan jama’ah yang hadir di studio dan memberi kesempatan yang sama kepada pemiarsa di rumah dengan mengakses situsnya. Sangat pantas jika IKAPI tahun lalu memberikan penghargaan kepada Andy atas usaha mengembangkan minat baca masyarakat dan kemajuan bagi dunia perbukuan.<br /><br />Fenomena Kick Andy membuat kita percaya, bahwa mitos televisi menjauhkan penonton dari buku telah tenggelam. Sebenarnya masih ada beberapa program tayangan televisi yang pro-buku. Cara menandainya tak hanya dengan melihat pengusungan buku atau ajakan membaca secara langsung. Setiap program acara yang mendidik, menyampaikan informasi, dan memberi pesan moral pada dasarnya adalah tayangan pro-buku. Dan seperti halnya buku, ada yang menjunjung mutu dan kualitas, ada pula yang tidak.<br /><br /><b>Menjadi Penonton Kritis</b><br /><br />Miskinnya tayangan yang pro-buku, lebih-lebih yang bermutu, membuat kita mau tidak mau Program-program televisi yang prosemacam itu telah menenggelamkan mitos bahwa televisi menjadikan anak menjadi bodoh.Acara-acara seperti kuis permainan kata, kartun Ipin-Upin atau Dora, diyakini bisa membantu proses belajar dan merangsang minat baca. Dapat sebuah program menggunakan animasi dan grafik untuk memperjelas kata-kata kunci yang disodorkan kepada pemirsa untuk dibaca dan diucapkan keras-keras sembari menonton. Segera harus disadari bahwa TV bisa menjadi sumber kreatif untuk kegiatan belajar secara aktif, bukannya malah dijadikan penyebab matinya kegiatan belajar. Bukankah salah satu ciri televisi adalah kemampuannya menggugah pemirsa agar membaca dengan keras. <br /><br />Televisi memang tak pantas kita musuhi, tetapi tayangan-tayangan yang buruk, serta kebiasaan menonton berlama-lama merupakan hal yang wajib kita kritisi. Tayangan yang buruk, atau tak sesuai dengan segmen penonton, meskipun sangat menghibur, tetapi pelan-pelan merusak dan memerosokkan mental. Sementara kebiasaan duduk berlama-lama di depan televisi tak dipungkiri dapat menumpulkan bahkan melumpuhkan perkembangan emosional intelligence, antara lain kualitas-kualitas yang berupa empati, mengendalikan amarah, kemandirian, ketekunan, dan keramahan. Maka, jangan heran jika Indonesia yang dulu masyarakatnya dikenal ramah, santun, dan senang bergotong royong, kini menjadi negeri yang gemar tawuran, bentrok, dan individualistik. Televisi begitu perkasa menggeser tata nilai dan budaya suatu masyarakat menjadi seperti sekarang ini.<br />Meninggalkan televisi secara total lalu menjadikan buku satu-satunya sumber ilmu dan informasi adalah sikap yang kurang arif, mesti tidak mustahil orang bisa melakukannya. Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana pemiarsa cerdas dan kritis dalam memilih tayangan, dan ini sebenarnya merupakan usaha memperbaiki kualitas tayangan televisi kita. Bukankah para pembuat program acara televisi mengikuti selera pemiarsa, bukan sebaliknya. <br /><br />Dan karena televisi mengincar anak-anak sebagai targetnya, maka orang tua sudah seharusnya menjadi panglima menentukan apa dan kapan waktu tepat menghidupkan televisi, sambil terus berjuang membiasakan anak membaca buku. Dengan begitu, buku dan televisi dapat berdamai. Tetapi bagi orangtua yang telah kecanduan televisi, jauh dari buku, maka hal tersebut akan sangat sulit tercapai, sebagaimana sulitnya seorang pemabuk meminta agar anaknya menghentikan kebiasaan minum khamr.<br /><br />Jusuf AN, penulis lepas asal Wonosobodunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-80709167439792541572010-11-07T19:29:00.000-08:002011-05-15T17:48:52.851-07:00JEHENNA, Sebuah Novel Super Imajiner<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK61U1oC6d0NnIO3p74cg-_7lgx0OC7iPmhHDJc-u9fGTOlxoE9wJNxQH9ObOYi-pPDa23z0gGg-oKL_skS1HMPKsJ-W3Cd55PJJQe6_M1f_gRb6KZKiikU1wBbtc40HtfAAlWwItAStQ/s1600/cover.jpg" imageanchor="1" linkindex="15" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK61U1oC6d0NnIO3p74cg-_7lgx0OC7iPmhHDJc-u9fGTOlxoE9wJNxQH9ObOYi-pPDa23z0gGg-oKL_skS1HMPKsJ-W3Cd55PJJQe6_M1f_gRb6KZKiikU1wBbtc40HtfAAlWwItAStQ/s320/cover.jpg" width="223" /></a></div> <br />JUDUL : JEHENNA, Sahasia Sebuah Kekuatan Impian<br /><div style="text-align: justify;">Pengarang : Yusuf AN</div><div style="text-align: justify;">Penerbit : Diva Press, Yogyakarta (November 2010)</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">“Jehenna adalah novel yang berani mengambil risiko. Ia menawarkan tema yang pada kebanyakan penulis selalu dihindari, karena ketakutannya dianggap artifisial. Dunia halus, alam lelembut, dengan segala bentuk keanehannya memang riskan dituliskan, tapi di tangan penulis yang tepat, ia bisa menjadi kekuatan dan daya tarik yang luar biasa. Dan, Jusuf A.N. secara meyakinkan bisa melakukannya.” (Joni Ariadinata, cerpenis, redaktur majalah sastra Horison).</div><div style="text-align: justify;"><br /></div>“Sebuah novel yang penuh kisah aneh dan tak terduga, membuat pembaca penasaran untuk terus membacanya hingga tamat.” (Ahmadun Yosi Herfanda, redaktur sastra harian Republika).<br /><br /><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Jin mendapat izin Allah untuk menyesatkan manusia. Inilah kisah anak manusia yang jatuh bangun melawan godaan Sang Penyesat. Sangat menarik. (Ahmad Tohari, Penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk)</span></span><br /><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span> <br />Jehenna nama jin itu. Ia telah bersumpah menyesatkan manusia, membalaskan dendam atas kematian kakeknya di tangan Umar, pengikut Muhammad. Namun, ia justru jatuh cinta pada Zaitun, jin muslim dari Mesir. Ia pun turut berlayar ke Jawa guna mengikuti keluarga gadis pujaannya yang hendak berdakwah di Jawa.<br /><br />Di tanah Jawa inilah, Jehenna bertemu dengan Rijal, pemuda yang diselubungi cahaya doa orang tuanya. Jehenna teringat akan sumpahnya. Dan, Rijal adalah target utamanya!dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-57499585712238950792010-08-04T02:03:00.000-07:002011-05-20T22:57:51.366-07:00Mansur Samin, Pendahulu Andrea Hirata (Kritik atas Tetralogi Laskar Pelangi)<span style="font-size: large;"><b>bagian I</b></span><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuIKG4X4Ld6-6kp3q3uxXBir9b4wHlqSY-yD9lxrAAy-ufnjNHLDkr5j2JgdBuA35-I6xd4c4BVh5Ce13Nemza1rgGbyEcP_AGQxwcIOQiShAawbqfnMNuMlD4JAai5axxvyQ70cLErjY/s1600/true_story_tetralogilaskarpelangiHC.jpg" imageanchor="1" linkindex="113" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuIKG4X4Ld6-6kp3q3uxXBir9b4wHlqSY-yD9lxrAAy-ufnjNHLDkr5j2JgdBuA35-I6xd4c4BVh5Ce13Nemza1rgGbyEcP_AGQxwcIOQiShAawbqfnMNuMlD4JAai5axxvyQ70cLErjY/s200/true_story_tetralogilaskarpelangiHC.jpg" width="131" /></a></div><br /><br />:: Nurhady Sirimorok ::<br /><a class="cssButton" href="javascript:void(0)" id="publishButton" onclick="if (this.className.indexOf("ubtn-disabled") == -1) {var e = document['postingForm'].publish;(e.length) ? e[0].click() : e.click(); if (window.event) window.event.cancelBubble = true; return false;}" target=""></a><br /><div class="cssButtonOuter"><div class="cssButtonMiddle"><div class="cssButtonInner"><a class="cssButton" href="javascript:void(0)" id="publishButton" onclick="if (this.className.indexOf("ubtn-disabled") == -1) {var e = document['postingForm'].publish;(e.length) ? e[0].click() : e.click(); if (window.event) window.event.cancelBubble = true; return false;}" target=""><br /></a></div></div></div><br />Citizen reporter Nurhady Sirimorok yang sedang menyiapkan buku Analisis Modernitas dengan merujuk pada karya-karya Andrea Hirata (Tetralogi Laskar Pelangi), menurunkan nukilan buku tersebut khusus untuk pembaca Panyingkul! Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan. (p!)<br /><br /><br />Mansur Samin, penulis angkatan 66 yang cukup dikenal di masanya. Dia lahir di Tapanuli tahun 1930, menerbitkan sajak sejak di usia sangat muda di tahun 1947. Menurut data yang dihimpun H.B. Jassin, dalam bukunya Angkatan ’66: Prosa dan Puisi, tulisannya tersebar di terbitan-terbitan sastra seperti Siasat, Budaya, Merdeka, Indonesia, Konfrontasi, Sastra, Horison, dan lainnya. Dia menyelesaikan sekolah dan mengajar di Solo. Selain menulis sajak, dia juga aktif di teater sebagai sutradara dan menulis cerita serta esai. Setelah pindah ke Jakarta di tahun 1966 dia tenggelam dalam pergolakan mahasiswa di bawah KAMMI dan KAPPI.<br /><br />Tapi tak banyak yang tahu bahwa kelak di tahun 1994 dia juga menulis sebuah buku cerita anak-anak berjudul "Kuto Anak Desa Terasing". Kisah tentang seorang guru yang datang ke sebuah desa di suatu tempat di Sumatra. Seorang agen modernisme yang ditugaskan negara untuk menjadikan murid-murid sekolahnya lebih ‘beradab’. Anak-anak ini, yang berasal dari suku terasing, dianggap masih terbelakang menurut standar gaya hidup moderen.<br /><br />Buku kecil ini sangat menarik digunakan untuk melihat pandangan pemerintah Indonesia terhadap ‘masyarakat terasing’. Gagasannya memperlihatkan kesamaan menakjubkan dengan dokumen kebijakan pemerintah yang disiapkan untuk proyek pemukiman masyarakat terasing. Lebih tepatnya, kita bisa mengintip bagaimana wacana tentang masyarakat terasing ini bersentuhan dengan aparatus negara (guru, sekolah dan buku ajar). Serta bagaimana paket modernitas coba didesakkan oleh negara kepada mereka.<br /><span class="fullpost"> <br />"Kuto Anak Desa Terasing" ditulis masa ketika Orde Baru masih berkuasa. Masa ketika modernitas dikampanyekan lewat alat negara secara sistematis dan meluas. Berbeda dengan Laskar Pelangi di mana modernitas menyebar bukan lewat negara—yang sudah terlemahkan oleh kekuatan pranata internasional seperti globalisasi pasar—melainkan lewat media massa dan lembaga non-negara lainnya.<br /><br />Bila modernitas di novel-novel Andrea muncul dalam bentuk yang lebih beragam, dari sumber yang bermacam-macam, mirip dengan aneka entri dalam wikipedia, maka modernitas dalam "Kuto Anak Desa Terasing", datang dari resep yang diracik oleh satu sumber: pemerintah. Bagian awal kisah anak-anak Laskar Pelangi, yang digambarkan hanya mendapatkan ‘pendidikan’ dan ‘ilmu’ dari sekolah formal memiliki kesamaan dengan kisah anak-anak SD di buku cerita ini.<br /><br />Forum-forum internasional menyebut mereka masyarakat Indeginuous, atau masyarakat asli. Penamaan semacam ini merupakan sebuah praktik eksklusi. Sara Mills, meminjam teori Foucault, menjelaskan soal ini dalam bukunya Discourse. Ekslusi yang dimaksud adalah keadaan di mana pihak yang punya kuasa melakukan ekslusi (atau inklusi) terhadap sekelompok orang. Pihak berkuasa kemudian harus membuat alasan-alasan pembenar ketika melakukan tindak tersebut. Mereka juga mesti mengkonstruksi ciri-ciri tertentu bagi kelompok-kelompok sasaran ekslusinya, agar proses eksklusi berjalan dengan mulus.<br /><br />Pemerintah Indonesia menerapkan laku ekslusi seperti ini dengan menggunakan istilah ‘masyarakat terasing’. Mereka lalu membangun serangkaian karakterisasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mereka sebut sebagai terasing. Setelah wacana tentang masyarakat terasing menyebar, masyarakat umum telah paham pemaknaan frasa ini menurut versi pemerintah. Kerjaan berikutnya adalah meluncurkan kebijakan untuk mendesakkan gagasan, pranata dan gaya hidup baru kepada kelompok-kelompok ini.<br /><br />Pelukisan tentang masyarakat terasing menunjukkan adanya konstruksi sebuah wacana mendasar yang menggambarkan ‘Mereka’ dan ‘Kita’ yang berbeda secara radikal. Perbedaan ini kelak mengharuskan adanya kebijakan yang berbeda. Pun ini bisa berarati terciptanya sebuah proyek ‘pembangunan’ baru!<br /><br />Wacana tentang sebuah kelompok ‘masyarakat terasing’ yang benar-benar unik dan beda dalam nyaris segala hal dengan ‘Kita’ masyarakat ‘beradab’, muncul di banyak jenis media dan sudah diketahui banyak orang. Gambaran tentang masyarakat terasing ini sudah dicetak di banyak jenis produk kebijakan, disebarkan secara interen di departemen pemerintahan yang ditugaskan untuk menangani mereka, Departemen Sosial. Lalu di media massa cetak maupun audiovisual sebagaimana diceritakan (baca esai Christoper Duncan, Savage Imagery: (Mis)representation of the Forest Tobelo of Indonesia). Serta di acara pameran (lihat tulisan Greg Acciaioli, ‘Archipelagic Culture’ As an Exclusionary Government Discourse in Indonesia). Laskar Pelangi bisa dibaca pula sebagai praktek eksklusi. Andrea Hirata membedakan secara absolut antara kehidupan moderen dan tradisional. Antara Paris dan Belitong. Antara Ikal dan Tuk Bayan Tula.<br /><br />Demikian luas dan banyaknya wacana ini bersebar, sehingga banyak orang tidak lagi sadar dari mana asalnya, dan apa gagasan yang melandasinya.<br /><br /><br />Sekarang mari kita lihat apa yang ditulis Mansur Samin tentang masyarakat yang Lain dan Terbelakang ini.<br /><br />Menurut buku cerita ini, masyarakat terasing, sebelum diintervensi oleh negara, adalah masyarakat yang terbelakang. Sejak di halaman pertama sang penulis, dengan wacana masyarakat terasing di kepalanya, secara terbuka sudah memproklamirkan bahwa, “Suku Lubu adalah orang-orang terbelakang.” Selanjutnya, di sepanjang buku itu Mansur Samin menggambarkan satu demi satu karakteristik masyarakat terasing menurut wacana yang sudah diamini masyarakat luas.<br /><br />Penyatuan ‘komunitas’ ke dalam satu unit tunggal yang dilabeli ‘suku terasing’ sangat diperlukan sebelum melekatkan karakteristik yang berlawanan secara radikal, dengan masyarakat moderen, kepada komunitas tersebut. Tentu sulit melaksanakan intervensi bila mereka dilihat sebagai masyarakat yang beragam. Dari kacamata birokrat, akan terlalu ribet mengurusi masyarakat yang berbeda kebutuhan. Dengan demikian terciptalah entitas tunggal ‘Mereka’, suku terasing<br /><br />Mansur Samin dengan lihai membentuk karakteristik masyarakat terasing yang, secara mengejutkan, mirip dengan indikator-indikator buatan pemerintah ketika merujuk ke kelompok masyarakat tersebut. Sebuah dokumen kebijakan Departemen Sosial, Sejarah Perkembangan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, terbit tahun 2003, memperlihatkan dengan jelas kesamaan tersebut. Di sana termuat daftar kriteria bila sebuah masyarakat hendak kita disebut Komunitas Adat Terpencil ini.<br /><br />Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa nama ‘masyarakat terasing’ diubah menjadi Komunitas Adat Terpencil setelah terjadi desakan kuat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999. Meskipun perubahan itu cuma pada sebatas nama, bukan mengubah persepsi masyarakat umum terhadap mereka.<br /><br />Kembali ke dokumen tadi. Daftar dalam produk kebijakan itu digunakan untuk menyiapkan sebuah proyek yang dulunya di namakan resetlement masyarakat terasing. Konstruksi kriteria-kriteria tersebut bisa diringkas menjadi, satu, mempunyai kesamaan penampakan fisik, kehidupan sosio-kultural dan model perumahan. Dua, hidup di tempat-tempat terpencil yang sangat sulit dijangkau, berpindah-pindah, atau bertebaran dalam kelompok-kelompok kecil. Tiga, masih berburu, mengumpul-meramu, dan melakukan perladangan berpindah. Empat, menjalani kehidupan tidak sehat bagi diri mereka dan bagi lingkungan sekitarnya. Lima, berperilaku tertutup terhadap orang luar. Enam, sistem sosial, ideologi dan teknologi mereka masih tetap tradisional dan statis.<br /><br />Semua ini bisa terjadi karena, tujuh, mereka tidak bisa diakses oleh pelayanan pemerintah.<br /><br />Kembali ke cerita Mansur Samin, penampakan fisik yang dilukiskan di sampul depan buku cerita itu secara grafis sudah menunjukkan apa yang diinginkan sang pengarang. Seorang anak pria mengenakan cawat. Dia mengangkat dan menekuk tangan kanannya, memperlihatkan lekuk otot lengan atasnya, sebuah tanda maskulinitas dan kekuasaan—atau kesuksesan. Sementara tangan lainnya menggenggam sebuah buku. Buku tulis sekolah. Anak itu menjadi penyedot perhatian utama sampul tersebut, sebagai latar depan. Di belakang sana seorang pria yang juga mengenakan cawat sedang mencangkul dengan gerakan yang berkesan sarat beban. Tidak jauh darinya seorang wanita merunduk dalam-dalam untuk menanam benih di tanah yang telah digemburkan.<br /><br />Gambaran ini menegaskan perbedaan antara generasi muda yang sudah tersentuh sekolah dan generasi lebih tua, yang hanya bisa bertani. Lalu dikesankan bahwa kehidupan sang pemuda lebih mudah ketimbang yang tua. Bahwa dia berdiri di latar depan dan orang-orang tua bekerja berat di latar belakang, menunjukkan keutamaan hidup yang dijalankan sang anak. Sekolah menjadi lebih penting daripada pertanian.<br /><br />Namun sebelum kita melihat bagaimana elemen sekolah menyentuh anak itu, sebagaimana yang tergambar pada sampul depan, kita lihat dulu siapakah mereka pada mulanya? Dalam proyek-proyek pembangunan ini biasa disebut sebagai survai awal, untuk membuat baseline data, demi menghasilkan studi kelayakan proyek.<br /><br />Di bagian awal cerita, sang penulis memperkenalkan ‘suku Kubu’, sebuah ‘komunitas’ tunggal yang seragam. “Suku L[K]ubu itu disebut orang-orang kota pula orang suku Pagur […] Mereka jarang mandi. Mereka berpakaian yang terbuat dari kulit kayu. Mereka mencari nafkah dengan berhuma dan menyadap pohon enau,” (hl.1) dan mengenai tempat tinggal, “Rumah mereka terbuat dari kayu beratap lalang.” (hl.1).<br /><br />Bila melihat fokalisasinya, atau siapa yang menceritakan siapa, orang-orang tak beridentitas dari pegunungan ini dianggap sebagai satu unit tunggal, lalu secara pasif diberi label oleh ‘orang kota’—juga kategori tunggal yang menyeragamkan orang yang tinggal di kota—sebagai ‘suku Kubu’ atau ‘suku Pagur’. Karakter-karakter yang dilekatkan Mansur Samin kepada mereka adalah, hidup tidak teratur sehingga tidak sehat karena jarang mandi, berbudaya tradisional karena mengenakan anyaman kulit kayu, dan tempat tinggal mereka tidak permanen dan tidak elok sebagaimana rumah ‘orang kota’.<br /><br />Pandangan pemerintah terhadap masyarakat terasing atau komunitas adat tertinggal nyaris sama dengan pelukisan Mansur Samin terhadap anak-anak suku Kubu. Mereka menjadi obyek di ‘luar sana’. Mereka yang berbeda samasekali dengan Kita. Kelak di sepanjang cerita mereka hanya bersuara ketika mereka mengeluarkan ujaran yang sesuai dengan paradigma arus utama, modernitas. Tidak ada tempat bagi suara lain, kecuali untuk dikalahkan atau untuk diubah. Mirip dengan kisah kekalahan Tuk Bayan Tula dalam Laskar Pelangi.<br /><br />Selain itu, dengan memasukkan ‘orang kota’ sebagai sebuah frasa untuk merujuk pada kelompok tunggal tak bernama dalam cerita ini, maka dengan sendirinya terciptalah dua kelompok yang berlawanan secara mutlak. Maka terlihatlah, satu, ketimpangan temporal, yakni lintasan masa yang dibutuhkan untuk mencapai ‘kemajuan’, tentu dalam takaran orang kota. Anak-anak Suku Kubu butuh waktu untuk menjadi Orang Kota. Dua, ketimpangan ruang atau perbedaan cara pemanfaatan lahan. Orang Kota tinggal di kota, atau daerah sub-urban, dan menggunakan lahannya dengan efisien dan teratur. Sedangkan Suku Kubu berpindah-pindah dan hanya berladang. Tiga, ketimpangan etik, yaitu standar prilaku. Yang pantas dan tidak pantas menurut ‘orang kota’ mutlak dianggap lebih baik.<br /><br />Dengan begitu terbentuklah hirarki antara mereka yang menjadi obyek amatan dan mereka yang mengamati. Antara mereka yang diceritakan dan mereka yang bercerita.<br /><br />Pun, deskripsi di atas memperlihatkan kesamaan yang mengejutkan dengan kriteria-kriteria masyarakat terasing ciptaan pemerintah. Ambil misal, tidak mandi berarti hidup secara tidak sehat, mengenakan cawat bisa ditafsir oleh pembaca berparadigma moderen sebagai kehidupan sosiokultural yang tradisional dan statis. Sekali lagi, aspek-aspek ini agaknya bertemu dalam satu belanga, untuk meracik sebuah penganan bernama, ‘masyarakat terasing’, yang terbelakang dan benar-benar beda dengan ‘orang kota’.<br /><br />Laku membandingkan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang benar-benar beda terbaca secara konsisten di sepanjang buku cerita ini. Tetapi tingkat perbedaan ini semakin menipis seiring semakin lama dan intensnya persentuhan mereka dengan negara.<br /><br />Gradasinya kelainan itu bermula dari perbedaan yang benar-benar mencolok sebelum masuk sekolah—salah satu alat negara paling dominan dalam cerita ini. Mereka kemudian diakui sebagai bagian dari anggota masyarakat luas dengan posisi yang lebih rendah. Ini digambarkan lewat perwakilan masyarakat terasing di dalam cerita ini, anak-anak Suku Kubu. Akhirnya, masyarakat subordinat ini mengalami transformasi menjadi orang-orang yang menjalani gaya hidup moderen. Gaya hidup yang dipromosikan negara, yang dalam cerita ini muncul dalam bentuk seorang guru (Pak Abdi) dan sekolah. Dalam hal ini, buku Mansur Samin berbeda dengan Andrea Hirata. Dalam Laskar Pelangi, peradaban moderen tiba-tiba sudah diketahui dengan begitu luas dan beragam. Dari nama penyanyi sampai ilmuan abad ke 17. Dari nama taksonomi tumbuhan sampai tontonan eksotis ala Afrika. Dari mana anak-anak ini belajar, kita tidak mendapat jawaban memuaskan.<br /><br />Namun yang penting di sini adalah kedua buku ini menggambarkan dua model penetrasi budaya moderen ke masyarakat Indonesia. Meski kita tidak diceritakan dengan baik dari mana Andrea memperoleh seluruh keping peradaban moderen itu, dengan mudah kita bisa menunjuk media internet, pengalamannya sekolah di luar negeri, bacaannya, dan pergaulannya. Sementara bagi anak-anak Suku Kubu sumber satu-satunya adalah sekolah. Tetapi keduanya melakukan praktek eksklusi serupa. Sehingga meski caranya beda namun tujuannya sama. Memenangkan peradaban moderen.<br /><br />Tatkala anak-anak Suku Kubu diperbandingkan dengan orang-orang lain, deskripsi tiga di antara mereka—yaitu Kuto [tokoh utama], Nihu dan Sabe—berbunyi sebagai berikut: “Orangtua mereka baru lima tahun bermukim di desa Dolok. Tapi kebiasaan-kebiasaan dari desa yang lama masih sukar diubah. Rambut mereka gondrong. Jarang mandi. Kaki mereka tak bersepatu. Pakaiannya masih tetap yang terbuat dari kulit kayu.” (hl.2) Perlu dicatat, gambar sampul menampilkan sang tokoh mengenakan cawat, dalam teks bukunya dia memakai kulit kayu. Bisa jadi penggambar sampul tidak membaca isi bukunya.<br /><br />Deskripsi tertulis tentang ciri anak-anak Kubu itu, meski tidak diperbandingkan dalam bentuk tulis, terlihat sangat kontras dengan gambar-gambar Pak Abdi yang tercetak di dalam buku tersebut. Sang guru dilukiskan sebagai pria paruh baya yang mengenakan kemeja dan celana yang apik dengan rambut yang juga tersisir rapih. Sementara pencitraan sang guru sebagai sosok intelektual dari masyarakat moderen diperkuat dengan kehadiran kacamata bergagang tebal yang di kenakannya (terdapat di gambar-gambar pada halaman 7, 18, 54 dan 84. Hanya di halaman 37 sang guru digambarkan tidak mengenakan kacamata sebab dia tengah bekerja secara fisik.)<br /><br />Demikianlah salah satu pemunculan negara secara langsung dalam cerita ini. Singkatnya, negara hadir di buku ini melalui latar utamanya, sekolah, dan salah satu tokoh utamanya, Pak guru Abdi. Sekolah dianggap sebagai tempat yang seharusnya mengajarkan anak-anak suku Kubu itu bagaimana berintegrasi dengan sebuah gaya hidup baru yang dibawa oleh negara kepada mereka, yaitu gaya hidup moderen.<br /><br />Tentu yang dimaksud negara adalah pemerintah, yakni pemerintahan formal hirarkis terpusat yang pucuknya berada di Jakarta, di pulau Jawa. Hirarki ini juga terlihat dalam kecakapan guru-guru yang muncul dalam Kuto Anak Dusun Terasing. Seorang guru bernama Togar—kita tahu biasanya nama ini berasal dari Sumatera Utara yang secara geografis lebih dekat dari latar cerita buku ini—digambarkan sebagai guru yang cepat naik pitam, sehingga memukul Kuto. Tindakan inilah yang membuat sang guru dipindahkan dari sekolah itu, karena dia juga mengalami pemukulan dari ayah Kuto. Sebuah tindakan balasan yang kelak disesalkan oleh sang penulis, kemungkinan karena dianggap main hakim sendiri dan dengan demikian melanggar peraturan hukum formal negara. Sementara guru yang digambarkan cakap, serba bisa dan baik hati, namanya berakar dari bahasa sansakerta, Abdi, sebuah nama populer di pulau Jawa. Guru ini tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana Pak Togar.<br /><br />Dalam cerita ini, apa yang dibawa Pak Abdi adalah pembangunan ala negara, yang datang sebagai “aksi, intervensi dan bertujuan untuk pengembangan.” Ini menyiratkan bahwa pihak yang membawa intervensi lebih dahulu sudah mengetahui tujuan pembangunan yang benar, apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang perlu dan tidak perlu, bagi kelompok sasarannya. Demikian pemikiran Des Gasper dalam bukunya, The Ethics of Development: from Economism to Human Development, yang terbit tahun 2004 silam. Dan pembangunan ini meliputi seluruh aspek hidup masyarakat sasaran. Hasilnya adalah adaptasi terhadap ‘budaya’ yang dibawa oleh negara, dalam hal ini, ‘budaya’ yang meliputi segala sesuatu, dari budaya material hingga ideologi. Negara menginginkan sebuah perubahan radikal lewat paksaan halus yang berstatus legal.<br /><br />Dalam keadaan seperti inilah seluruh gagasan dan cara hidup kelompok sasaran takluk di hadapan elemen-elemen modernitas yang didesakkan negara. Kita lihat saja bagaimana ketika berhadapan dengan kertas ujian sekolah, “Kuto sadar. Kini dia berjuang dengan kebodohannya. Dia berikhtiar mengerjakan soal-soal yang belum selesai digarapnya. Ternyata dia tidak sanggup.” (hl. 13) Standar baru yang harus dianutnya memaksa dia menjadi pengikut yang tertatih-tatih tatkala mencoba menggabungkan diri. Orientasi modernitas yang baru diadopsinya mengharuskan Kuto menjadi orang bodoh. Ini tentu mengingatkan kita tentang kisah kekalahan Tuk Bayan Tula dari Laskar Pelangi. Pengikut-pengikutnya, Mahar dan Flo, akhirnya ‘sadar’ dan kembali menekuni ‘sekolah’.<br /><br />Tentu saja Kuto tidak sendiri, seluruh ‘komunitas’ digambarkan menyesali diri karena tidak menjalani pendidikan (sekolah formal) yang baik. Sebuah ‘kesalahan’ yang membatasi ruang gerak mereka, sehingga hanya bisa bekerja fisik untuk mencari nafkah (hl. 24). Lagi-lagi, kerjaan berkerah putih, sebagaimana yang diinginkan Ikal dari Laskar Pelangi, menjadi tujuan akhir pencapaian seorang manusia. Menggantikan kerja fisik adalah keahlian saintifik, yang diasumsikan tidak terdapat dalam masyarakat tradisional, yang hanya bisa didapatkan lewat guru sekolah formal yang berpengetahuan luas dan membaca buku teks. Ulasan mengenai kemanjuran pengetahuan masyarakat lokal terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Salah satu yang paling berpengaruh adalah buku Linda Tihuwai Smith, Decolonizing Methodology.<br /><br />Akhirnya dengan mengikuti resep dunia moderen untuk mendapatkan ilmu, Kuto berhasil membuat tercengang orang-orang dewasa sekampungnya yang tidak pernah bersekolah formal.<br /><br />“Dari mana kau tahu Nak, cara penumpasan tikus itu?” tanya Bapak itu.<br />“Dari membaca buku pak,” jawab Kuto. (hl. 45-47)<br /><br /><br />Penyeragaman nilai sering diikuti dengan banyak intervensi pembangunan oleh negara. Katanya sih untuk mengurangi ketimpangan, antara masyarakat yang dianggap sudah maju dan yang masih terbelakang. Mansur Samin melakukan hal ini dengan menuturkan sebuah cerita dari pengalaman di tempat lain. Meminjam suara sang guru, penulis mengenang bahwa suatu waktu ada seorang anak yang sangat bodoh namun belajar demikian keras di sekolah, dan “karena ketabahan anak itu [dalam belajar] ia menjadi pandai. Cita-citanya tercapai. Hidupnya bahagia.” (hl. 9)<br /><br />Pendidikan formal dan cita-cita, dua aspek yang menjadi alat penuntun penting dalam Laskar Pelangi rupanya muncul juga di sini. Namun kali ini, tujuannya bukan sekolah di Perancis dan jalan-jalan keliling Eropa dan Afrika, tapi hidup bahagia. Di luar itu, tuturan sang guru ini terasa terlalu sederhana. Belajar keras belum tentu membuat orang menjadi pandai. Menjadi pandai belum tentu membuat cita-cita seseorang bisa tercapai. Dengan mencapai cita-cita belum tentu hidup seseorang otomatis menjadi bahagia. Logika kelewat sederhana seperti ini membuat saya bertanya-tanya, apakah ini bisa membentuk cara berpikir anak-anak yang membacanya, dan apa efeknya di masa dewasanya?<br /><br />Sekolah juga mengajarkan tatakrama sekolah mainstream Indonesia. Tentu saja adab ini diimpor dari tempat lain yang dianggap sudah lebih maju. Ini sudah terjadi di bagian-bagian awal cerita, “Tanpa bersalam, Kuto menerobos pintu. Lalu duduk seenaknya di bangku belakang.” (hl. 6) Sekolah membawa bersamanya aturan yang harus dipatuhi oleh subyeknya. Dengan masuk sekolah, suka tidak suka, Kuto harus memberi salam sebelum masuk pintu dan harus duduk dengan ‘sopan’ di bangku depan. Daftar aturan berperilaku ini sebenarnya tidak begitu esensial dalam menerima pelajaran. Bukankah semakin nyaman posisi duduk, semakin mudah seseorang menerima pelajaran?<br /><br />Selain itu, retorika yang dipakai Mansur Samin adalah gaya orang kota yang menceritakan keterbelakangan anak ‘suku Kubu’. Sebuah nada yang mengundang pembaca yang seadab dengannya ikut mencela perilaku Kuto tanpa sedikitpun kesempatan Kuto bersuara menurut tatanan perilaku yang dia pelajari sejak kecil di komunitasnya. Setiap masyarakat punya nalar sendiri yang seharusnya diberi kesempatan untuk diperdengarkan. Namun hierarki harus ditegakkan. Negara mesti sebagai pihak benar dan berkuasa. Segala yang berbeda darinya sebaiknya berusaha mengubah diri.<br /><br />Nasionalitas, atau lebih dikenal dengan istilah, semangat kebangsaan, adalah isu penting lain yang diperkenalkan kepada masyarakat terasing. Sebabnya bisa macam-macam. Pertama, ketakutan akan penyebaran komunisme. Sesuatu yang dihembuskan AS selama perang dingin ke seluruh permukaan bumi. Kedua, pandangan pra-kolonial kerajaan-kerajaan Jawa di mana hutan-hutan sekitar menjadi tempat orang melarikan diri dari kontrol negara (baca Christopher Duncan 2001: 54-55). Ketiga, kebutuhan konstan watak inheren pemerintahan untuk memerintah dan mengatur rakyatnya, ‘governmentality’ (lihat Tania Murray Li 1999: 296). Semua ini menjadi daftar alasan terkuat bagi negara untuk menyuntikkan ideologi ini kepada warga yang dianggap sebagai ‘masyarakat terasing’.<br /><br />Di Indonesia, cara umum yang diyakini bisa menanamkan semangat nasionalitas adalah dengan mengadakan upacara penaikan bendera. Di banyak tempat sampai sekarang, setiap Senin pagi, selain di beberapa hari peringatan nasional, seluruh insititusi formal melaksanakan upacara. Biasanya seluruh pesertanya berdiri dan berjajar lurus untuk melakukan hormat secara fisik, dengan menyentuhkan ujung telunjuk kanan ke dahi, sementara bendera nasional dinaikkan, dan diiringi lagu kebangsaan.<br /><br />Pak Abdi juga menjelaskan aspek penting lain dari modernitas: teknologi. Dia misalnya menjelaskan pentingnya teknologi transportasi kepada murid-murid. Katanya, teknologi yang satu ini krusial untuk melebarkan wawasan mereka, menyeberangi ‘komunitas tertutup’ mereka, agar bisa menjadi sebuah masyarakat ‘beradab’. (hl. 13-14). Akan tetapi, sebuah percakapan antara seorang murid dengan gurunya tidak hanya menjelaskan ketertutupan tetapi bahkan mengungkap sebuah ketidaktahuan yang mutlak:<br /><br />“Kalian sudah pernah melihat mobil?”<br />Tidak ada yang menyahut (hl.14)<br /><br />Pilihan cara mengekspresikan ketidaktahuan anak-anak ‘suku terasing’ akan teknologi bernama mobil ini memantulkan cara bagaimana masyarakat yang tersubordinasi harus ditaklukkan dalam cerita. Pertama-tama mereka seharusnya tidak boleh bicara, mereka adalah yang diamati dan diceritakan. Di hadapan modernitas mereka harus terlihat bodoh dan bungkam. Mereka baru diberi kesempatan bicara untuk menampakkan ketaklukannya, atau sudah mengaku sebagai menganut keyakinan modernitas yang didesakkan kepada mereka.<br /><br />Karena mereka bodoh dan tak pernah lihat mobil, maka dibutuhkan sebuah intervensi, agar mereka bisa pintar dan mengenal teknologi. Untuk itu, mereka harus melihat dan mengalami penggunaan teknologi. Maka sang guru harus membawa murid-muridnya ke kota. Tetapi ketidaktahuan akan keberadaan mobil bukanlah satu-satunya alasan di sini. Lebih dari itu, makna atau fungsi mempunyai teknologi juga harus diketahui. Mereka harus tahu apa artinya mempunyai mobil dan akses jalanan. Pun, mereka mesti paham untuk apa teknologi itu wajib mereka miliki.<br /><br />Selanjutnya, menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena dalam logika sistem pendidikan Orde Baru, seluruh pertanyaan harus ada jawabannya, dan jawaban itu harus disediakan oleh negara. Demikian tulis Barbara Leigh dalam artikelnya Learning and Knowing Boundaries: Schooling in New Order Indonesia yang terbit tahun 1999 silam. Jawabannya adalah, tentu saja, peningkatan tingkat ekonomi. Jawaban yang selalu menjadi perangsang utama gerak pemerintah Indonesia pada masa itu.<br /><br />Dalam cerita ini, sang guru menjelaskan risiko ekonomis yang bisa menimpa murid-murid belianya bila tidak mempunyai akses transportasi: tengkulak atau rentenir bisa menaikkan harga sekehendak hatinya. Ini kemudian memprovokasi salah satu murid untuk bertanya mengapa mereka belum punya akses jalan. Jawabnya tentu tidak boleh politis. Tentu sang guru tidak boleh (bisa?) menjawabanya dengan menunjukkan ketimpangan pembangunan di daerah pedalaman bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Yang salah adalah mereka sendiri. Sehingga untuk mendapatkan akses jalan, menurut versi sang guru, mereka harus belajar lebih keras supaya mereka semua bisa menjadi insinyur yang sanggup membangun jalan, “untuk menghubungkan desa kita dengan kota” (hl. 61-62).<br /><br />Selain itu, demi menyuntikkan gaya bernalar kaum neo-klasik, murid diberi wejangan untuk menabung uang, untuk mengkonsumsi komoditas yang diproduksi sendiri (sebagai ganti produk impor), dan tidak meminjam uang dari tengkulak (yang menyiratkan adanya promosi untuk lebih percaya kepada sistem bank formal). Semua elemen ini termasuk dalam daftar promosi pemerintah paling populer di masa itu.<br /><br />Teknologi untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi adalah program anak emas Orde Baru, dan banyak bagian dari buku cerita anak-anak ini dipersembahkan untuk tujuan itu. Teknologi lain yang secara mengherankan bisa diajarkan oleh sang guru adalah, teknologi menenun dan mewarnai: dari membuat kilang penenun sampai membuat campuran warna (hl. 33-34). Dia juga pandai membuat irigasi dan bendungan kecil. Dia lebih tahu daripada warga bahwa dinding irigasinya harus lebih landai dan mesti lurus (hl. 21-23).<br /><br />Teknologi bertani juga dikuasainya, misalnya teknik menanam padi (hl. 16). Teknologi pertanian menetap ini merefleksikan antipati tradisional pemerintah Indonesia terhadap perladangan berpindah. Mereka sangat percaya bahwa perladangan berpindah selalu menyebabkan kerusakan hutan (hl. 17). Padahal berbagai penelitian telah membuktikan hal sebaliknya. Nature and the Colonial Mind karya William M adams dalam buku Decolizing Nature menjelaskan penelitian di berbagai tempat, misalnya di Afrika, yang menunjukkan bahwa peladangan berpindah justru berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem di sebuah tempat. Teknik tradisional yang ternyata punya logika pelestarian. Ini cuma salah satu contoh dari sekian banyak penelitian yang memperlihatkan hasil serupa.<br /><br />Selain pelukisan negara yang telah disebutkan di atas, pencitraan akan superioritas, kedemawanan, dan watak paternalistik negara juga muncul dalam nuansa yang agak beda. Imajinasi yang sering kita lihat di mana negara memandang ke bawah menyaksikan rakyatnya yang sedang beraktifitas, juga muncul dalam porseni di sekolah. “Di tribun telah hadir Bapak Camat dan pejabat-pejabat kecamatan lainnya. Kepala-kepala sekolah SD juga telah hadir di situ.” (hl.51)<br /><br />Kendali negara terhadap keamanan, sebuah isu yang maha penting bagi pemerintahan Soeharto yang militeristik, juga mencuat dalam buku ini. Fenomena ini muncul ketika Pak Abdi menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa hanya polisi yang boleh menangkap kriminal (hl.61). Sebuah pemerintahan moderen memang membutuhkan formalisasi dan pemusatan untuk segala soal, menangani masalah kejahatan adalah salah satunya. Main hakim sendiri menjadi istilah yang sangat populer di masa Orde Baru, yang kelak turut membantu kerja panjang sejak masa kolonial untuk memberangus atau memanipulasi berbagai macam institusi hukum adat. Asumsinya, masyarakat tidak mampu menangani masalah sendiri.<br /><br />Penelitian Craig Thorburn mengenai konflik yang terjadi di Maluku justru menunjukkan hal sebaliknya. Di Tual, Maluku Tenggara, justru hukum adat yang sudah sekian lama dilemahkan pemerintah masih sanggup dihidupkan kembali oleh rakyat untuk menghentikan konflik berdarah di sana. Ini bisa kita baca dalam esaiThorburn berjudul Musibah: Penguasaan sumberdaya, tindak kekerasan, dan penemuan kembali tradisi di Kepulauan Kei, dalam buku suntingan P.M. Laksono dan Roem Topatimasang, Ken Sa Faak, yang terbit tahun 2004.<br /><br />Untuk memungkinkan semua penyuntikan paradigma pembangunan negara bisa terjadi, tentu dibutuhkan tokoh tipe-ideal ala Orde Baru. Penokohan Pak Abdi harus sempurna. Untuk itu dia diceritakan sebagai seorang yang baik hati dan berperangai lembut terhadap murid-muridnya. Mansur Samin harus membuat dia terlibat intens dalam mengatasi seluruh permasalahan di desa tempatnya mengajar seorang diri. Dan ini sebaiknya berlangsung di sepanjang pemunculannya dalam buku cerita ini.<br /><br />Hasilnya, warga menjadi sangat hormat kepadanya. Demikan hormat warga kepadanya sehingga kepala desa harus melakukan gerakan tradisional penghambaan diri seperti yang terlihat pada gambar di halaman 18. Di sana kepala desa digambarkan merunduk sambil kedua tangannya berhimpun di depan selangkangannya. Matanya menatap ke kaki Pak Abdi yang sedang menjelaskan dengan gerakan tangan, dengan mengenakan kemeja licin dan kacamata bergagang tebal.<br /><br /><br />Apakah yang akan, atau dibayangkan akan, dicapai dari intervensi semacam ini? Dalam realitas, sebagaimana disebut sebelumnya, intervensi ini terejawantahkan dalam program perumahan masyarakat terasing. Gerard Persoon, seorang peneliti dari Belanda, dalam artikelnya Isolated Islanders or Indigenous People: The Political Discourse and its Effect on Siberut (Mentawai Archipelago, West-Sumatra), terbit di Jurnal Antropologi Indonesia tahun 2002, merangkum tujuan dari elemen-elemen program perumahan itu:<br /><br />“Pertanian permanen (sebagai ganti perladangan berpindah-pindah), perumahan permanen berisi anggota keluarga inti (sebagai ganti perumahan nomaden yang berkelompok), penganutan agama-agama resmi (ketimbang agama-agama alami atau paganisme), pakaian yang ‘beradab’ (dan bukan cawat), makanan yang berasal dari pertanian (bukan makanan dari rimba liar), pelayanan kesehatan moderen (sebagai ganti dukun) dan pendidikan moderen (daripada tidak berpendidikan sama sekali).”<br /><br />Dalam Kuto Anak Dusun Terasing, dua dari elemen di atas tidak terlihat: agama resmi dan pelayanan kesehatan moderen, namun kesamaannya terlalu banyak untuk kita abaikan sebagai rujukan. Elemen-elemen yang hilang ini kemungkinan tidak hadir karena sudah cukup berhasil disebarkan. Penelitian Christoper Duncan tentang program ini di Indonesia juga mengatakan demikian.<br /><br />Bagaimana dengan realitas dalam cerita kita? Mari kita lihat pesan terakhir dari sang tokoh utama kita. Dia tuturkan tuah ini pada pidato perpisahan sebelum dia berangkat ke sebuah tempat yang tidak kita ketahui—bukankah kesuksesan membawa promosi?<br /><br />“Anak-anakku! Kalian adalah harapan bangsa. Pada kalianlah terletak tanggungjawab membangun negara kita. Betapa kaya bumi kita Indonesia ini, kalianlah yang kami harapkan kelak untuk mengolahnya. Kalianlah yang harus menjadi ahli di kemudian hari. Kalian telah saya didik agar mempercayai tenaga sendiri. Kalian telah pulah saya latih untuk menyayangi lingkungan kita yang indah ini.” (hl 82-83)<br /><br />Dan seperti sihir, di akhir cerita, anak-anak dari ‘suku terasing’ itu semua bisa sekolah hingga perguruan tinggi, dan mendapatkan gelar sebelum kembali ke desa. Ada yang mengajar di sekolah, yang lain menjalankan pabrik kertas dan memimpin industri penambangan emas milik negara yang kebetulan sekali berada di dekat desa mereka. (hl.86-91).<br /><br />Tiba-tiba saya teringat sebagian besar anggota Laskar Pelangi yang ketika dewasa bisa mencapai cita-cita masa kecilnya. Bagaimana bisa akhir cerita Laskar Pelangi sangat mirip dengan Kuto Anak Dusun Terasing? (bersambung)<br /><br />*Citizen reporter Nurhady Sirimorok dapat dihubungi melalui email nurhadys@gmail.com</span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-1969034597641263312010-08-01T21:30:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.851-07:00Cita-cita Tionghoa Muslim Indonesia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqcdnrLtXJtk9r3Tc7hkSNAbG9ukAQkktgrgr7Sk4yff_LkDGSowvUqwtssGO8jSvYC2eqCZrwWL8WR9tZZNPyOgwFKqOp3vvbVaJ4RYFHFNGKgbirunWEKgRxjg-v6FSFs7c3c495gG8/s1600/e85c5f3bacfd67c769ebf76b1fb3b09a.jpg" imageanchor="1" linkindex="61" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqcdnrLtXJtk9r3Tc7hkSNAbG9ukAQkktgrgr7Sk4yff_LkDGSowvUqwtssGO8jSvYC2eqCZrwWL8WR9tZZNPyOgwFKqOp3vvbVaJ4RYFHFNGKgbirunWEKgRxjg-v6FSFs7c3c495gG8/s320/e85c5f3bacfd67c769ebf76b1fb3b09a.jpg" width="209" /></a></div><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">Ridwan Munawwar</span></div><div style="text-align: center;"><br /></div>SEJARAH etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejarah represi dan kekerasan. Sejarah mencatat, di Batavia pada 1740, terjadi pembantaian massal orang-orang Tionghoa oleh VOC yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa. Pada masa Perang Jawa (1825-1830), terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa karena dicurigai sebagai pembawa sial yang mengakibatkan pasukan Diponegoro kalah oleh Belanda.<br /><br />Lalu pembunuhan massal orang-orang Tionghoa oleh pasukan republik (1946-1948), peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Jawa Barat, pembunuhan dan pengejaran orang-orang Tionghoa pada tragedi 1965 karena dituduh sebagai agen pemerintah komunis RRT, dan terakhir peristiwa berdarah Mei 1998 di Jakarta.<br />Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa-Indonesia. <br /><br />Titik kulminasi dari ketimpangan ini adalah saat Orde Baru mempraktikan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Tionghoa. Pupuslah pula impian Bung Karno untuk menciptakan indigeneus nation (negara suku) yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia, berdampingan dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya, sehigga orang-orang Cina tidak perlu melakukan asilimasi untuk menjadi warga Indonesia (Susetyo,2002).<br /><br />Kini, meskipun masa Orde Baru telah usai, praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa masih saja sering terjadi sehingga dengan demikian ini adalah masalah sosial kita yang tetap aktual untuk dibahas. Diakui atau tidak, meskipun saat ini terdapat berbagai ragam interaksi sosial antara kaum Tionghoa-Indonesia dengan kaum pribumi, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih dianggap sebagai orang asing yang belum dapat sepenuhnya melakukan pembauran dengan kelompok mayoritas pribumi di Indonesia. Mereka bagaikan air dengan minyak.<br /><br />Penelitian sosial yang dilakukan oleh Afif dalam buku ini berusaha melihat lebih dalam dan lebih dekat persoalan identitas sosial kaum Tionghoa muslim Indonesia. Dengan pendekatan ideografis, yakni menggunakan analisis terfokus pada individu-individu Tionghoa muslim sebagai unit analisisnya, Afif berhasil menggali temuan-temuan yang cukup berharga, terutama tentang bagaimana pergulatan masing-masing individu itu dalam membentuk identitas sosial positif di tengah masyarakat yang langsung-tidak langsung mengalienasikannya.<br /><br />Totok dan Peranakan<br />Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.<br /><br />Identitas sosial positif adalah suatu tata-ekspresi diri terhadap yang-lain. Identitas sosial adalah bagaimana menghadirkan diri secara baik ke dalam persepsi yang-lain. Tata-ekspresi diri yang positif akan menghasilkan penilaian dan afirmasi yang baik pula dari yang-lain. Dengan demikian, identitas sosial adalah jalan menuju kerekatan sosial dalam masyarakat.<br /><br />Ada dua strategi dalam pembentukan identitas sosial positif, pertama adalah strategi kategorisasi diri, dan kedua strategi hibridasi. Yang pertama adalah peleburan. Yang kedua adalah identitas sosial yang terbentuk dari interaksi personal dengan satu komunitas atau lebih.<br /><br />Orang-orang Tionghoa totok lebih dekat pada kebudayaan asli mereka (baca: kebudayaan Tionghoa) dibanding orang-orang peranakan. Dan ini memiliki korelasi dengan bagaimana kemudian mereka mempertahankan identitas sosial positif yang berhasil didapat dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan modal wawasan kultural dan keunikan diri yang dimilikinya, para Tionghoa totok muslim ini cenderung melakukan optimalisasi dan eksplorasi keunikan diri yang dimiliki untuk kemudian menjadi suatu hal yang bisa disumbangkan pada masyarakat.<br /><br />Namun identitas sosial positif yang mereka dapatkan sering kali terganjal oleh suatu stigma yang berkenaan dengan kemusliman. Mereka yang kerap kali dicap sebagai sesuatu yang oportunistik. Untuk menepis mitos ini, Afif melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan para subjek berkenaan dengan motivasi mereka menjadi muslim.<br /><br />Dari lampiran verbatim wawancara, dapat kita lihat dan rasakan bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dalam memeluk agama Islam. Dulu, Junus Jahja pun pernah menepis stigma ini dengan mengatakan bahwa ia memang mencintai Islam sebagai ajaran yang sempurna, universal dan memiliki nilai keadilan dalam ajaran tata-sosialnya. Universalisme Islam selaras dengan suara penuh harapan para subjek yang diangkat dalam buku ini, yakni “kami percaya identitas-identitas yang berbeda bisa disatukan dengan harmonis.<br /><br />=============================<br />Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia<br />Penulis: Afthonul Afif<br />Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta<br />Cetakan: Perta,a, Juni 2010<br />Tebal: xxxiv+228 halaman<br />sumber: suaramerdea.com</span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-8458094343036274202010-06-03T19:19:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.851-07:00BUKU KITA DI NEGERI JIRANJika melihat angka jumlah penduduknya, negeri ini adalah pasar yang besar bahkan untuk penerbitan buku. Tapi kita tahu persis hal ini: jumlah pembaca buku hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta orang itu --setelah "dikorting" dengan jumlah mereka yang belum atau tak bisa membaca. Banyak penyebabnya.<br /><br />Tetapi soal penyebab itu sudah luas dibahas dan sejauh ini memang belum ada perubahan berarti. Yang menarik, dan karenanya Ruang Baca kali ini memilih untuk menuliskannya, adalah perluasan pasar bagi buku- buku kita yang terjadi berkat meningkatnya tren "impor" bukubuku terbitan Indonesia oleh penerbit di Malaysia, tetangga kita yang berbahasa ibu serumpun dengan bahasa Indonesia. Kata "impor" sengaja diletakkan di antara tanda petik, sebab yang terjadi bukan sepenuhnya impor --bahwa penerbit di Malaysia memasukkan buku Indonesia dalam wujud aslinya, secara fisik. Yang sebenarnya berlangsung adalah penerbit di Malaysia membeli hak penerjemahan.<br /><span class="fullpost"> <br />Dari situ bisa dipahami bahwa akan ada pengalihbahasaan. Atau, dengan kata lain, kenyataan bahwa kedua negara itu berbahasa serumpun sama sekali tak serta-merta berarti bahasa yang berlaku di satu negara bisa langsung dipahami oleh pembaca di negara yang lain.<br /><br />Apa yang terjadi itu mungkin sedikit mengurangi optimisme sudut pandang tentang perluasan pasar, atau ekspansi daya jangkau. Sebab, bagaimanapun, perpindahan bukubuku itu tak langsung; pembaca tidak membeli dan membaca versi aslinya.<br /><br />Hal itu berbeda dengan, misalnya, buku berbahasa Inggris yang diterbitkan, katakanlah, di Tristan dan Cunha, pulau terpencil di antara Cape Town, Afrika Selatan, dan Buenos Aires, Argentina. Peluang buku itu untuk dibaca oleh jauh lebih banyak orang dalam versi orisinalnya, kalaupun ada, lebih besar, bukan saja di lingkungan negara berbahasa Inggris, melainkan juga pembaca di negara- negara lain yang memahami bahasa Inggris. Atau sebutlah karyakarya Derek Walcott, penyair, dramawan, dan penulis dari St. Lucia, negara pulau di Laut Karibia, yang mendunia --dan kemudian membuat Walcott masuk ke jajaran para pemenang Nobel untuk sastra.<br /><br />Tetapi, apa pun, meningkatnya gairah pembelian hak penerjemahan buku-buku Indonesia oleh penerbit di Malaysia, harus diakui, merupakan perkembangan yang sulit untuk tidak membuat bungah. Akan lebih bagus lagi bila dari perkembangan demikian ini bertambah pula golongan penikmat buku yang, seperti kata William Lyon Phelps, seorang pengarang dari Amerika Serikat, membaca untuk mengingat dan mencerap isi buku yang mereka baca, bukan yang sebaliknya.<br /><br />Di luar itu, paling tidak bagi penerbit, ada tambahan penopang untuk tetap melanjutkan usahanya -- beroperasi, meningkatkan produksi, dan barangkali juga berekspansi, yang ujung-ujungnya adalah manfaat bagi pembaca buku. Syukur-syukur bila daftar pengimpornya bertambah. <br />sumber:http://www.ruangbaca.com<br /> </span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-82006691496029188212010-06-03T19:12:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.852-07:00Bagaimana Memilih PenerbitBanyak orang telah memiliki naskah tulisan yang telah siap dicetak, tapi tidak tahu akan dikirimkan ke penerbit mana. Penulis juga tak memiliki cukup informasi tentang aturan main dalam dunia penerbitan. Berikut ini beberapa tips memilih penerbit:<br /><span class="fullpost"><br /><br />1. Kenali penerbit yang dituju, berikut divisi-divisi mereka, pastikan karya yang kita kirimkan sesuai dengan karakter divisi penerbit tersebut.<br /><br />2. Cari data tentang penerbit-penerbit sejenis, semakin banyak, semakin banyak pilihan pula bagi kita.<br /><br />3. Kenali produk yang telah mereka luncurkan, sosok bukunya. Kenali kemampuan penetrasi pasar (lihat buku-buku yang telah diterbitkan, sudah berapa kali cetak ulang dan sebagainya, ini cuma satu indikasi). Kenali profesionalitas mereka, cari info dari yang telah menulis di sana lebih dulu, untuk mengetahui seberapa jauh penerbit tersebut menghargai karya penulis-penulisnya, dan menunaikan hak royalti dengan baik, kenali pula standar royalti di sana.<br /><br />4. Kenali keinginan kita tentang buku yang nanti diterbitkan (konsep, ukuran, desain dan seterusnya), kombinasikan dengan profesionalitas penerbit tersebut.<br /><br />5. Buatlah prioritas 1-10 penerbit yang kita inginkan. Kirimkan naskah kita pertama-tama ke penerbit yang kita anggap paling cocok menerbitkan buku-buku kita.<br /><br />6. Kirimkan naskah dalam bentuk disket dan hard copy, juga dalam bentuk email. Kalau kita menginginkan naskah dikembalikan apabila tidak dimuat, kirimkan juga sebuah amplop kosong yang bertuliskan nama kita dan alamat dan sudah dibubuhi perangko, hingga tidak merepotkan penerbit.<br /><br />7. Sertakan juga biodata dan kalau ada keterangan tentang karya-karya yang telah dimuat di media mana saja. Sertakan sinopsis cerita, sertakan pula karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Ini akan memudahkan ilustrator nantinya.<br /><br />8. Rajinlah mengontak penerbit yang bersangkutan, apakah naskah kita sudah mereka terima, tanyakan pula kira-kira berapa lama kita harus menunggu. Kalau mereka tidak punya jawaban mungkin kita bisa memberikan alternatif (3 bulan? 6 bulan? 12 bulan? Tentu disesuaikan dengan posisi bargaining power kita. Kalau baru pertama kali, mungkin jangan langsung menggetok penerbit dengan hanya memberi waktu 3 bulan). Untuk diketahui, biasanya penerbit perlu waktu 2-3 bulan untuk menerbitkan sebuah buku.<br /><br />9. Meskipun itu buku pertama kita, tidak berarti penulis tak berhak untuk memberikan usul-usul atau meminta beberapa terms, selama wajar. Misal minta gambaran sampul buku, minta bisa mengintip duluan soal sinopsis yang mereka buat, tanya apakah boleh memberi alternatif dari kita sendiri? <br />sumber:http://www.ruangbaca.com <br /></span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-12028481805188487332010-05-09T19:21:00.000-07:002011-05-20T23:02:20.458-07:00Lomba Menulis Resensi Buku Lewat Facebook 2010Deadline: 18 Juli 2010<br /><br /><br />Dalam rangka memasyarakatkan minta baca dan menulis, serta ikut serta menjadikan facebook sebagai ajang kreasi positif bagi generasi muda muslim, kami dari Penerbit<br /><span class="fullpost"> Oase Qalbu, didukung penuh oleh penulis buku Badiatul Muchlisin Asti, Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG), Yayasan Mutiara Ilma Nafia, dan Lembaga Pelatihan Penulisan dan Penerbitan Buku (LP3B), berinisiatif mengadakan Lomba Menulis Resensi Buku Lewat Facebook 2010. <br />Lomba ini terbuka untuk para sahabat muda muslim pengguna facebook di mana pun berada dengan syarat usia maksimal 25 tahun.<br /><br />CARA MENGIKUTI:<br />1. Buatlah sebuah resensi dari buku berjudul “Saat Kuncup Cinta Mekar di Hati: Panduan Islami untuk Remaja Agar Cintanya Tak Berbuah Petaka” karya Badiatul Muchlisin Asti yang diterbikan GAUL (imprint dari penerbit Oase Qalbu yang mengkhususkan diri pada penerbitan buku-buku remaja) pada April 2010.<br /><br />2. Resensi ditulis dalam 400 - 500 kata (atau 1 – 1,5 halaman A4) Times New Roman ukuran 12, spasi satu.<br />3. Tulis hasil resensi di catatan (note) facebook kamu sendiri, tag minimal 20 teman, dan cantumkan “RESENSI BUKU SAAT KUNCUP CINTA MEKAR DI HATI” di subjek catatan (note) tersebut. Jangan lupa menyertakan gambar cover buku.<br />4. Untuk memudahkan penilaian, jika kamu belum jadi teman di facebook OASE QALBU, maka silakan add/ tambahkan sebagai teman OASE QALBU terlebih dahulu.<br />5. Selain menulis resensi di catatan (note) facebook kamu, kirimkan hasil resensi tersebut ke email: penerbitoaseqalbu@gmail.com, dengan menuliskan RESENSI BUKU SAAT KUNCUP CINTA MEKAR DI HATI sebagai subjek email. Jangan lupa untuk menyertakan data diri lengkap (nama, alamat rumah, alamat facebook, nomor HP).<br /><br />HADIAHNYA:<br /><br />1. Paket buku senilai Rp 3.000.000,- untuk 6 (enam) pemenang.<br />-3 (tiga) pemenang utama masing-masing mendapatkan paket buku senilai Rp 750.000,-<br />-3 (tiga) pemenang harapan masing-masing mendapatkan paket buku senilai Rp 250.000,-<br />2. Voucher Pelatihan Cara Mudah Menulis Buku (CMMB) dari Lembaga Pelatihan Penulisan dan Penerbitan Buku (LP3B) senilai Rp 1.200.000,- untuk 3 orang pemenang utama dan 3 pemenang harapan (masing-masing voucher senilai Rp 200.000,-).<br />3. Piagam penghargaan untuk seluruh pemenang.<br /><br /><br />KRITERIA PENILAIAN:<br />1. Kelihaian menguraikan isi buku secara padat, menarik, komunikatif, dan informatif.<br />2. Kedalaman analisis isi buku, seperti manfaat, kekurangan, dan kelebihan buku.<br />3. Kualitas dan kuantitas komentar teman-temanmu di masing-masing catatan (note) facebook.<br /><br />Resensi ditunggu sampai dengan 18 Juli 2010.<br />Pengumuman pemenang tanggal 31 Juli 2010 lewat FB dan blog Oase Qalbu.<br /><br />Hasil resensi pemenang juga akan ditampilkan di FB dan blog Oase Qalbu. Pemenang akan dihubungi lewat telepon.<br /><br />CATATAN PENTING: <br />-Judul buku hadiah tidak bisa dipilih dan sesuai stock buku yang ada.<br />-Hadiah akan dikirimkan ke alamat pemenang.<br />-Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.<br />-Buku “Saat Kuncup Cinta Mekar di Hati” dapat dipesan langsung kepada kami. Informasi cara pemesanan bisa diperoleh di FB Oase Qalbu atau blog: http://penerbitoaseqalbu.blogspot.com. </span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-51972977472358852762010-04-08T19:24:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.852-07:00Ensiklopedi Kecil Tentang NU<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8y5EaFxomsK2H3vgNyBs1Vx6j6-IC84a3BvouomXwX0nZnk8CMUXT1Ku-MrN_-TS6zuJ_qanRQCNazBqaV9qEv2FqQ04mJOhRbyYMS6xEa_4oIk0G9ehZfbD79wcgH_NfTuWwoPYIdiM/s1600/cover+Antolgi+NU.jpg" imageanchor="1" linkindex="58" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8y5EaFxomsK2H3vgNyBs1Vx6j6-IC84a3BvouomXwX0nZnk8CMUXT1Ku-MrN_-TS6zuJ_qanRQCNazBqaV9qEv2FqQ04mJOhRbyYMS6xEa_4oIk0G9ehZfbD79wcgH_NfTuWwoPYIdiM/s320/cover+Antolgi+NU.jpg" width="212" /></a></div><br />Sebelum putranya lahir, Ny. Halimah sudah yakin, kelak putranya akan menjadi orang hebat. Selain kandungannya mencapai 14 bulan, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa diyakini anaknya akan cerdas, ia juga bermimpi bulan perunama jatuh dari langit dan menimpa perutnya. Dugaan itu semakin menguat manakala putranya telah lahir, dan pada masa kecilnya menunjukkan sifat kepemimpinan. Putra pasangan Ny. Halimah dan Kiai Asy’ari itu seringkali bertindak sebagai penengah dalam setiap permainan. Sementara kalau mendapati salah seorang temannya ada yang melanggar aturan permainan, dia tidak segan-segan menergurnya. <br /><br />Itulah sekelimit kisah masa kecil Hadratus Syeikh <span class="fullpost"> Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Jami’iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 M di Surabaya. <br /><br />Latar belakang berdirinya NU sendiri tidak terlepas dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, yakni lahirnya gerakan Wahabi yang melarang segala bentuk amaliah kaum Sunni. Tujuan NU didirikan adalah untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamakan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah. Dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ (kesepakatan para Sahabat dan ulama), dan al-Qiyas (analogi). Sementara dalam pendekatan dakwahnya NU lebih banyak mengikuti dakwah model Wlisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. </span><br /><span class="fullpost"><br />Secara garis besar pendekatan masyarakat NU dapat dikatergorikan menjadi tiba bagian. Pertama, Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim). Kedua, Tasamuh, sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Ketiga, Tawazun, sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah Swt. Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo tersebut NU dikenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat. <br />Buku Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah ini memberikan gambaran yang rinci dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.</span><br /><span class="fullpost"><br />Pada tahun-tahun awal berdirinya (1926-1942), perjuangan NU dititik beratkan pada penguatan paham Ahlussunah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang.tidak sesuai dengan ajaran Ahlussunah Waljamaah. Pada masa itu, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah" murni (independen). Tetapi pada perkembangannya, tepatnya pada tahun 1952 bersamaan dengan Mu’tamar NU ke- 19 di Palembang NU kemudian menjadi partai politik sendiri. Kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul sebagai kekuatan sangat besar pada pemilu 1955, menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. </span><br /><span class="fullpost"><br />Sepak terjang NU dalam dunia politik mulai terganjal mulai oleh Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang pada tahun 1973 ‘menertibkan’ partai peserta pemilu. Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tohoh NU benar-benar dipinggirkan oleh pemerintahan Orba. Bahkan, pada pemilu 1977 dan 1982 banyak tokoh NU yang masuk penjara dengan aneka tuduhan. </span><br /><span class="fullpost"><br />Setelah malang melintang di dunia politik praktis selama 32 tahun NU memutuskan kembali ke jati dirinya pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Peristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khitah 1926, yakni kembalinya NU ke jami’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan pendidikan. Namun, ketika terjadi euforia pasca jatuhnya Soeharto (1998) pertanda dibukanya keran Demokrasi, NU kembali terjun dalam politik praktis dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa sebagai kendaraan politiknya. Menjadi satu kebanggaan warga NU ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri resmi NU itu, terpilih sebagai Presiden RI keempat (1999). Tapi Gus Dur harus rela turun setelah impeachment dijatuhkan oleh DPR pada 2003. Peristiwa itu kembali menyadarkan para pengurus NU akan komitmennya untuk kembali ke Khitah, yang kemudian diteguhkan kembali dalam Muktamar ke- 31 di Donohudan, Solo (2004). </span><br /><span class="fullpost"><br />Hingga sekarang memang masih banyak tokoh-tokoh NU yang berkecimpung dalam politik praktis, dan itu sah-sah saja. Hanya saja, NU kini mencoba menjaga jarak dengan sesama partai politik, dan lebih mengurusi pendidikan serta lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. <br />Sebagai organisasi yang tua, hampir mencapai usia 82 tahun, NU telah melahirkan banyak istilah yang khas. Istilah-istilah khas NU itu sebagian terkait dengan nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini terdapat 57 istilah khas NU yang dijelaskan arti dan sejarah lahirnya istilah-istilah tersebut.</span><br /><span class="fullpost"><br />Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliyah yang beberapa di antaranya ditentang dan dianggap bid’ah (sesat) oleh penganut ajaran Islam lain. Hizib, haul, istighasah, kitab kuning, laduni, qunut, siwak, tawassul, terbangan, tingkepan, tirakat, ziarah kubur, untuk menyebut beberapa di antaranya. </span><br /><span class="fullpost"><br />Buku ini juga menyuguhkan kisah hidup 49 tokoh NU yang mungkin dapat dijadikan teladan dan diambil pelajaran dari padanya (uswah). Mereka yang terekam dalam buku ini, mulai dari pemberi restu, pendiri, pejuang, penegak, pembaharu, hingga pelestari, merupakan orang yang memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal perjalanan NU. Memang masih banyak tokoh NU, khususnya yang muda, tidak diulas dalam buku ini. Meski begitu perjalanan hidup 49 tokoh NU dalam buku ini kiranya sudah cukup dapat mewakili tokoh-tokoh lain yang tidak dimasukkan. </span><br /><span class="fullpost"><br />Layak kiranya kalau buku yang merangkum sejarah, istilah, amaliah, dan uswah NU ini disebut sebagai ensiklopedi kecil tentang NU. Membaca buku ini dan mengamati foto-foto berupa peristiwa-peristiwa penting seputar kegiatan NU dan para tokoh NU yang terdapat di sana, pembaca akan mendapat gambaran utuh tentang NU. Buku ini patut di baca, bukan saja oleh warga NU, tetapi siapa saja yang ingin tahu lebih dalam tentang NU. <br />Judul Buku : Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah<br />Penulis : H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos<br />Penerbit : Khalista, Surabaya<br />Cetakan : I, 2007<br />Tebal buku : xviii+ 322 Halaman (hard cover)<br />Peresensi : Jusuf AN*)<br /><br /></span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-1231163757293819282010-04-08T19:19:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.852-07:00Seni Berperang Nabi Muhammad<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8z-pSu1MJrqSeqAy4RN0slWe82fFZEa9UAvDLqURi7Zi8G8Hv2IRykcp3T-dovm3VJ56Q2xkdcKYzcOMwl-s00Oz2BlIm3G16Nr3Et9XJivgQkTc3aaRcEdYI0LyUDJ44-3EJ5e2CUAA/s1600/DSCF0010.JPG" imageanchor="1" linkindex="4" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8z-pSu1MJrqSeqAy4RN0slWe82fFZEa9UAvDLqURi7Zi8G8Hv2IRykcp3T-dovm3VJ56Q2xkdcKYzcOMwl-s00Oz2BlIm3G16Nr3Et9XJivgQkTc3aaRcEdYI0LyUDJ44-3EJ5e2CUAA/s320/DSCF0010.JPG" width="320" /></a></div>Selain dikenal sebagai seorang Nabi ummat Islam, Muhammad saw juga merupakan manusia biasa yang sangat dikagumi kecerdasannya, termasuk dalam hal strategi berperang. Setidaknya ada dua kekuatan yang sangat menentukan kemenangan berperang, yakni kekuatan angkatan perang (fisik dan mental) dan persiapan senjata dan logistik. Dan Muhammad saw menyadari benar bahwa kekuatan tersebut merupakan modal awal dalam berperang dan karenanya beliau begitu memerhatikan. <br /><br />Setelah modal tersebut terpenuhi misi selanjutnya adalah menjalankan integrasi horisontal. Strategi ini bertujuan <span class="fullpost"> mendapatkan informasi dan meningkatkan pengendalian atas ekspedisi musuh. Sebelum bertempur di medan perang, beliau terlebih dulu akan mengirimkan intelejen serta pasukan kecil untuk melakukan analisis terhadap kekuatan dan kelemahan pihak lawan, model strategi yang dipraktekkan sejak abad ke 5 oleh Sun Tzu. Sebelum terjun ke medan Badar, misalnya, Muhammad saw terlebih dulu mengutus Ali bin Abi Thalib bersama beberapa Sahabat lain untuk mengumpulkan informasi terbaru tentang tentara Quraisy. Laporan dari para intelegen itu kemudian dianalisis dan dijadikan rujukan perencanaan strategi dan formulasi perang. Hasilnya, 300 tentara Muslim berhasil membuat mundur 1000 tentara Quraisy. <br /><br />Memang, terkadang jalan kekerasan (perang) tidak selamanya buruk. Untuk melawan Hitler dan Stalin misalnya, perang merupakan salah satu jalan yang tidak keliru. Begitu pun dengan keputusan berperang nabi Muhammad. Nabi Muhammad merasa, tidak bisa mendiamkan kesewenang-wenangan dan tirani suku Quraisy beralarut-larut, dan karenanya Islam mewajibkan mengadakan perlawanan. Peperangan yang ia tempuh merupakan solusi puncak karena terdesak, setelah jalan perdamaian gagal ditempuh dan nyawanya selalu terancam. <br /><br />Seni berperang Sang Nabi jauh berbeda dengan Machiavelli dalam The Art of War, yang menganggap perang adalah bertempur habis-habisan dan tak kenal perasaan. Muhammad saw tidak demikian. Beliau selalu berusaha meminimalkan korban, perang menyelesaikan konflik secepat mungkin, dan memperlakukan tawanan perang dengan hormat. <br /><br />Buku berjudul Muhammad saw on The Art of War: Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah ini merupakan upaya menafsir sejarah dan memetakan strategi dan managemen perang Muhammad. Jika kebanyakan buku sejarah Nabi hanya menjawab pertanyaan, when, where, who, dan how, buku ini mencoba menjawab pertanyaan why dengan perspektif managemen strategi. Menariknya, buku ini lebih mengkhususkan pembahasan pada aspek perang yang dialami Muhammad, sebuah pembahasan sejarah yang masih jarang disentuh. Melalui buku ini Yuana ingin mendapatkan mainset baru dari realitas historis peperangan yang dialami Muhammad.<br /><br />Judul Buku : Muhammad saw on The Art of War:<br />Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah saw<br />Penulis : Yuana Ryan Tresna<br />Penerbit : Progressio, Bandung<br />Cetakan : I / 2007<br />Tebal buku : xviii + 182 Halaman<br />Peresensi : Jusuf AN<br /></span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-82005022230806473792010-04-08T19:16:00.000-07:002011-05-20T23:00:11.386-07:00Keunggulan Pendidikan Berbasis KomunitasGerakan reformasi 1998 yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan. Hingga saat ini sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (mechanic student) sehingga pendidikan bukan lagi <span class="fullpost"> berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kelender akedemik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah fovorit.<br /><br />Kejengkelan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkedilan (Qaryah Thayyibah).<br /><br /><b>Sekolah Berbasis Komunitas.</b><br /><br />Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.<br /><br />Dalam pandangan Lembaga Qaryah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya—yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal—untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuannya sebagai basis aspirasi bagi kehidupannnya. <br /><br />Oleh karena itu pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya. <br /><br />Buku ini—yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah—merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah tandus dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.<br /><br />Judul Buku : Sekolah Alternatif: Qaryah Thayyibah<br />Penulis : Ahmad Bahrudin <br />Penerbit : L-KiS, Yogyakarta<br />Cetakan : I, Januari 2007<br />Tebal Buku : xix + 286 halaman<br />Harga : Rp. 25.000<br />Presensi : Jusuf AN,Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo<br /></span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-77658046438123302222010-04-08T19:10:00.000-07:002011-05-20T23:00:11.387-07:00Mengembalikan Fungsi dan Esensi PendidikanProf Kurt Singger pernah mengatakan, sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa. <br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOSl4GjZiIL6zKhQI9ziwutJ3l1GIA79-ueSVl9j4rNRV7l1_iH0bYZfvnr2ipgW4hDg7gper17CSHqLIhqK5Lgby5mVrBYKVLgT6FC37N59Lu8GR2A9HR2EUnOswfwGnvrv2FwvjaUTg/s1600/DSCF0077.JPG" imageanchor="1" linkindex="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOSl4GjZiIL6zKhQI9ziwutJ3l1GIA79-ueSVl9j4rNRV7l1_iH0bYZfvnr2ipgW4hDg7gper17CSHqLIhqK5Lgby5mVrBYKVLgT6FC37N59Lu8GR2A9HR2EUnOswfwGnvrv2FwvjaUTg/s320/DSCF0077.JPG" /></a></div><span class="fullpost"><br />Setuju atau tidak dengan pernyataan itu, yang jelas sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan orang-orang lemah. Orang lemah memiliki ciri-ciri di antaranya; rendah daya inisiatif dan kreatifitas, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri. Orang lemah selalu ingin mencari "yang kuat" untuk mengagantungkan hidupnya. "Yang kuat" ini, bisa orang, perusahaan, atau negara. Maka, tak heran setiap kali dibuka pendaftaran kerja di perusahaan atau pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) orang-orang lemah ini—dengan bekal ijazah— berduyun-duyun, dan berlomba agar bisa diterima. <br />Jika hal itu dibiarkan, dengan logika sederhana Sujono mengungkap, tidak mungkin ada orang, perusahaaan, bahkan pemerintah sekalipun mampu menampung orang-orang lemah itu. Sehingga fenomena pengangguran terpelajar adalah konsekwensi logis yang memang harus terjadi. <br /><br />Berbagai upaya inovasi dan regulagi di bidang pendidikan yang telah dilakukan ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan. Dari survei yang dilakukan Political and Economical Risk Consultan (PERC) diperoleh data, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada para urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. <br /><br />Pastilah ada ketidakberesan yang mendasar dalam sistem persekolahan kita. Betapa tidak? Ketika hendak memperbaiki kualitas misalnya, yang diutamakan selalu memperbaiki aspek sekolah yang sifatnya materiil dan simbolis, seperti gedung, buku pelajaran, nilai Ujian Nasional (UN). Perbaikan kualitas pendidikan seringkali mengabaikan subtansinya yang fundamental. Secara mendasar, tulis Suyono, fungsi dan esensi pendidikan dan pembelajaran telah membias tidak jelas arahnya dan sudah harus dikembalikan. <br /><br />Kita tahu, pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan akan berkembang jika ada "pemerdekaan." Kebalikannya, pendidikan akan kehilangan ruh ketika tidak ada suasana memerdekakan. <br /><br />Selama ini sekolah hampir tidak memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi individual dan nilai-nilai prularitas. Dikotomi yang tegas antara guru dan siswa, kurikulum dan kehidupan riil, sekolah dan masyarakat, telah menjauhkan sekolah dari relasi sosial yang sehat. Sujono menyimpulkan, jika tetap tidak terjadi proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan hanya menciptakan orang-orang lemah, tentu "lebih baik tidak sekolah". Kesimpulan itulah yang kemudian dijadikan judul buku ini.<br /><br />Judul itu, mengingatkan kita pada gagasan kontroversial yang pernah dilontarkan Ivan Illich pada akhir 1970-an, Deschooling Society, masyarakat tanpa sekolah. Jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Dan memang sudah waktunya negara memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mendesain model pendidikan yang realistis dan fungsional sesuai kultur dan kebutuhan. <br /><br />Kiranya tak perlu kita sibuk mencari siapa "kambing hitam" di balik keterpurukan pedidikan di negeri ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah riil action, dan bukan saling menyalahkan, menggunjing, atau menggerutu. Bukan pula wacana yang melangit serta konsep-konsep yang kadang kontradiktif dalam tataran aplikasi atau semata berhenti di atas kertas. <br /><br /><b>Pendidikan Tanpa Sekolah</b><br /><br />Dalam buku ini, penulis memberikan deskripsi yang tepat menyangkut di antaranya, model pendidikan, kualitas pengajaran, inrfasruktur, kapitalisme global, dan peran negara yang hegemonik. Sujono juga mengarahkan kita semua untuk mencari model pendidikan alternatif yang bisa menggembalikan pendidikan pada fungsi dan esensinya. Ia menunjukkan fakta yang menarik, tentang berdirinya sebuah lembaga pendidikan alternatif berbasis komunitas Qaryah Thayyibah. Lembaga ini mencoba keluar dari mainstrem pada umumnya dengan cara mengembangkan tradisi, kurikulum, serta model pembelajaran secara radikal. <br />Lahirnya Lembaga Qaryah Thayyibah di sebuah desa terpencil di Salatiga merupakan satu bukti bahwa masyarakat sudah mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jika sekolah formal mengekang kreatifitas, dan tidak demokratis, maka Lembaga Qaryah Thayyibah hadir dengan model pembelajaran yang humanis dan demokratis. Jika YB Mangunwijaya mengatakan, fungsi guru telah berubah menjadi pawang, maka lembaga ini berusaha mengembalikan pawang itu menjadi guru lagi. Yakni sebagai pendamping untuk mengantarkan anak-anak pada kehidupannya nanti. <br />Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri. Yakni dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai konteks. Sebab sesungguhnya pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya, sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.<br /><br />Judul Buku : Lebih Baik Tidak Sekolah<br />Penulis : Sujono Samba<br />Penerbit : LKiS, Yogyakarta<br />Cetakan : I, 2007<br />Tebal Buku : xiv + 93 halaman<br />Presensi : Jusuf AN *)<br /></span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-75592731925093991972010-04-04T23:31:00.000-07:002011-05-20T23:01:37.013-07:00Hikayat Penyemangat Bagi Pencari Ilmu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHaAurAE660qyQP9DTNWaJtH5LLJWylzS0gEwdRfMPt8uX_g9ZObRO9817XsHZsK84n_-WrJnUCKDgcxhTmoNLa4qruOuEAuU-FrRHEmNQHaEcARZ6ijYNXfhrsXK49n9yt5hfRv1Y47w/s1600/DSCF2448.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHaAurAE660qyQP9DTNWaJtH5LLJWylzS0gEwdRfMPt8uX_g9ZObRO9817XsHZsK84n_-WrJnUCKDgcxhTmoNLa4qruOuEAuU-FrRHEmNQHaEcARZ6ijYNXfhrsXK49n9yt5hfRv1Y47w/s200/DSCF2448.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5456537967750487906" /></a><br />Jusuf AN*)<br />Membaca hikayat para ulama adalah cara paling mujarab untuk membangkitkan kemuliaan jiwa dan menegarkan diri dalam menangung derita ketika menempuh jalan yang lurus. Hikayat serupa pasukan Tuhan yang dengannya Dia meneguhkan hati para kekasih-Nya. <br /><span class="fullpost"><br /><br />“Dan semua kisah Rasul-Rasul Kami ceritaan kepadamu, Muhammad, agar dengan kisah itu, Kami teguhkan hatimu. (QS. Hud 120). Berangkat dari hal itulah Abd Fattah Abu Ghuddah menulis buku yang berisi kumpulan hikayat para pencari ilmu ini. <br />Mencari ilmu, kita tahu, merupakan sebuah aktifitas yang begitu mulia. Imam Ali Bin Abi Thalib menandaskan bahwa ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. <br /><br />Ilmu senantiasa bergandengan dengan kesabaran, cita-cita tinggi, semangat baca, zuhud terhadap dunia, begadang di kala malam, keuletan, doa dan tobat, rendah hati dan rasa syukur. Bermacam goda, coba, dan derita merupakan keniscayaan bagi para pencari ilmu. Pada konteks inilah sebuah hikayat kegigihan para ulama penting untuk dibaca. Menelaah kisah para ulama saleh merupakan cara paling efektif untuk menumbuhkan tekad menguatkan jiwa, meneguhkan cita-cita serta menanamkan akhlak yang lurus. Membaca kisah para ulama yang tak kenal letih mencari ilmu, berjuang menggapai harapan dan cita-cita menjadi cambuk bagi kita untuk memantapkan tujuan agung, niat yang ikhlas, dan ketabahan dalam menghadapi kesulian yang menghadang demi meraih asa.<br /><br />Perburuan ilmu membutuhkan kesabaran yang sungguh besar. Kemiskinan biasanya menjadi cobaan terberat bagi para pencari ilmu. Lapar dan haus mesti ditanggung demi mengawal kemuliaan dan melatih kesabaran. Abu Ghuddah berusaha mengetuk kesabaran kita dengan menghadirkan kisah Ibn Hazm al-Andalusi, Abdul Walid al-Baji al-Andalusi, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang harus menjual pakaian dan tempat tidur demi menuntut ilmu. Juga kisah Abu Hurairah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Ibrahim An-Nazhzham, Ibnul Muqri, yang tidak sibuk mencari harta benda karena lebih mementingkan ilmu, selain juga pantang menjadi beban bagi orang lain. <br /><br />Membaca hikayat mereka, kita akan malu dan merasa kalau cobaan yang kita alami dalam pencarian ilmu belum seberapa. Tengoklah liku-liku dan perjalan hidup Syu’bah bin al-Hajjaj, Ahmad bin Hanbal, Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Abu Hatim ar-Razi, dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Betapa sering mereka kehabisan bekal makanan di tanah perantauan saat mencari ilmu. Tetapi mereka tetap tegar. Bagi mereka ilmu jauh lebih berharga ketimbang makanan. <br /><br />Buku menjadi makanan wajib yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan pencari ilmu. Apa pun akan dikorbankan demi mendapatkan buku yang cari. Kedudukan buku bagi ulama bagaikan roh bagi jasad, atau bagaikan pentingnya kesehatan bagi badan. Kisah-kisah dalam buku ini memberitahukan pada kita ikhwal reaksi para ulama saat bukunya tiada, baik hilang, dirampok, rusak, maupun terbakar. Pernah suatu ketika buku-buku Al-Ghazali dirampok. Al-Ghazali yang tidak ingin peristiwa pahit itu terulang kemudian menghafal seluruh isi buku-bukunya. Dengan demikian, ia tidak takut kehilangan buku bila suatu saat dirampok lagi. <br /><br /><br />Kedudukan ilmu bagi mereka ibarat air dari kayu hijau, bahkan udara bagi kehidupan manusia. Ibnu Jarir ath-Thabari, Yunus Bin Habib al-Bashri, Abu Bakar al-Anbari, dan Abu Ali al-Farisi adalah orang-orang yang memilih hidup membujang dan konsentrasi penuh untuk mencari ilmu. Mereka tak sanggup berpisah darinya dan tak kuasa melepaskannya sedikitpun. Ilmu bagi mereka layaknya makanan dan obat. <br /><br />Kisah tentang orang yang membujang disajikan disini bukan untuk mengajak pembaca ikut membujang sepanjang hayat demi berkhidmat pada ilmu. Tujuannya adalah agar biografi keilmuan dan tingkah laku mereka yang sarat keutamaan dapat membangkitkan minat pembaca untuk meneladani mereka (kecuali dalam hal membujang). Dengan begitu, terbentuklah pribadi yang cinta ilmu, larut di dalamnya, dan terpadu menuju arah kebajikan dan takwa. <br /><br />Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan sederhana, sehingga mudah dicerna siapa saja ini, cukup komplit menguraikan ketinggian cita-cita dan kesabaran para ulama dalam mencari ilmu. Ada delapan tema besar diangkat dalam buku ini. Pertama, tentang kelelahan dan kepayahan para ulama dalam perjalanan menunutut ilmu. Kedua, tentang para ulama yang jarang tidur dan upaya mereka menghindari semua kenikmatan duniawi demi menuntut ilmu. Ketiga, tentang kesabaran mengahadapi penderitaan dan kemiskinan. Keempat, tentang kelaparan dan kehausan para ulama ketika menuntut ilmu. Kelima, tentang ketabahan para ulama yang kehabisan bekal dalam perantauan menuntut ilmu. Keeenam, tentang para ulama yang bukunya hilang, dirampok, terbakar dan terpaksa dijual. Ketujuh, tentang para ulama yang memilih hidup membujang. Kedelapan, tentang para ulama yang berkorban harta benda demi mendapatkan ilmu serta menyusun karya. Delapan tema tersebut dibagi dalam tiga buku, masing-masing: Bertualang Mencari Ilmu, Ketabahan Para Pencari Ilmu, dan Pengorbanan Para Pemburu Ilmu. <br /><br />Membaca hikayat pada ulama yang tersaji dalam buku ini ibarat meminum obat penyemangat. Gairah kita dalam usaha mencari ilmu akan muncul, pikiran kembali segar, dan kesabaran akan menebal. <br />resensi dari:<br />Buku : Seri Kisah Para Pencari Ilmu <br /> (Bertualang Mencari Ilmu; Ketabahan Para Pencari <br /> Ilmu; Pengorbanan Para Pemburu Ilmu) <br />Penulis : Abd. Fattah Abu Ghuddah<br />Penerjemah : M. Fatih Mansur & Miftahul Asror<br />Penerbit : Pustakata Insan Madani, Yogyakarta<br />Cetakan : Pertama, 2008<br />Tebal : Jilid I 209 halaman<br /> Jilid 2 202 halaman<br /> Jilid 3 172 halaman<br /><br /> </span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-64896551434539546942010-04-04T23:30:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.853-07:00Buku Amal dan Amal BukuJusuf AN *)<br /><br />Sejak tahun 1954 program Books for Asia Foundasion telah mendistribusikan lebih dari 41 juta buku jurnal ilmiah, materi pendidikan, bahkan buku-buku sastra ke lebih dari 50.000 lembaga akademis maupun non-akademis di negara-negara Asia. Pada tahun 2005 saja, lebih dari 750.000 sumbangan buku senilai US$ 28 juta telah dibagikan ke sekolah-sekolah, universitas, perpustakaan umum, pusat penelitian, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di 15 negara, termasuk Indonesia. <span class="fullpost"><br /><br />Meskipun jumlah tersebut terbilang banyak, tetapi buku-buku yang disumbangan itu lebih dari 95% merupakan sumbangan yang diberikan oleh penerbit-penerbit di Amerika Serikat. Tentu saja teks di dalamnya tidak menggunakan bahasa Indoensia. Lantas, apakah buku-buku tersebut bisa digunakan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia yang memiliki kualitas pendidikan, seturut International Educational Achievment (IEA), masih rendah, dan tentunya juga memiliki penguasaan bahasa Inggris yang lemah?<br /> Apapun jawabannya, sumbangan buku yang dilakukan Asia Foundation patut diteladani dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Bagaimana pun beramal dalam bentuk buku punya andil yang besar dalam meningkatkan kecerdasan bangsa—tugas yang sebenarnya menjadi agenda besar negara namun kurang mendapat perhatian bahkan nyaris dilupakan. <br />Kita tahu, hingga saat ini masih banyak sekolah-sekolah, khususnya di kawasan pedesaan yang belum memiliki bahan bacaan penujang pelajaran yang memadai. Belum lagi krisis multidimensi yang berdampak pada kemiskinan dan melambungnya harga-harga, termasuk buku, hingga tak terjangkau kalangan bawah. Hal ini semakin menjauhkan harapan pencerdasan bangsa, apalagi secara merata. <br /><br />Keluar dari Krisis dengan Buku <br />Imbauan untuk memerangi kemiskian yang ditujukan kepada pengusaha swasta sudah sering dilontarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR). Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Sebab amal sering kali dilihat sebagai beban. Tekanan. Pengusaha hanya beramal saja tanpa ikut ambil bagian dalam usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini mandeg, karena pada umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin. <br /> Ungkapan di atas akan lain jika amal dalam bentuk buku. Amal atau sumbangan buku lebih mudah pemberdayaannya, jelas sasarannya, dan tidak lebih rumit pengorganisirannya. <br />Meski demikian beramal dalam bentuk buku masih jarang dilakukan, bahkan dianggap hal yang aneh. Kebanyakan orang akan lebih lebar senyumnya jika mendapat bantuan selain buku, misalnya, pupuk, sembako, dan lainnya. Saya tidak sedang mengatakan pupuk dan sembako tidak penting, tetapi sumbangan dalam bentuk buku tentu tak kalah penting. <br /> Saya bukan sedang berkhotbah. Tetapi lihatlah, di sekeliling kita, masyarakat muslim misalnya, lebih senang beramal dalam bahan bangunan atau cash money untuk membangun masjid ketimbang membelikan buku-buku untuk membuat perpustakaan kecil di masjid. Oleh karena menyumbang buku dianggap tidak menjanjikan menggaet massa, maka calon-calon kepala desa, bupati, atau gubernur lebih memilih berkampanye dengan menyumbang hewan kurban atau mengiming-imingi jalan aspal ketimbang membagi-bagikan buku gratis atau membangunkan perpustakaan. <br />Para dermawan saya kira tidak bisa disalahkan. Mereka menyumbang berdasarkan kebutuhan masyarakat, lebih jelas lagi kebutuhan yang mendesak. Masyarakan menginginkan bantuan yang instan, nyata, bisa langsung digunakan saat itu juga, tidak seperti buku yang (mungkin dalam kaca mata sebagian besar orang) hanya menghabiskan waktu. Fenomena seperti itu merupakan ciri masih rendahnya minat baca di negeri ini. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terjadi. Kita tidak mungkin akan bangkit dari krisis dengan serta merta. Butuh waktu. Amal buku paling tidak bisa membantu, mengokohkan kaki negeri ini untuk berdiri kembali.<br />Sementara itu, baru-baru ini cukup marak kita melihat aksi proyek buku amal. Buku amal itu sendiri mengandung pengertian, buku yang sebagian atau keseluruhan dari hasil penjualannya disumbangkan. Sasaran yang mendapatkan sumbangan dari penjualan buku amal bisa berbeda-beda. Mulai sumbangan untuk kaum miskin, pendidikan nasional, atau korban bencana alam. <br />Buku kumpulan puisi 5,9 Scala Richer misalnya, merupakan salah satu contoh buku amal yang hasil penjualannya disalurkan untuk membantu korban bencana gempa di Jogjakarta. Ada juga buku amal Opera Zaman, kumpulan cerpen yang digagas Komunitas Merapi, yang hasil penjualannya disumbangkan untuk biaya pendidikan, dsb.<br /> Baik amal buku maupun buku amal mempunyai kelebihannya sediri-sendiri. Beramal buku secara tidak langsung beramal ilmu. Beramal ilmu berarti membantu meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai pilar terwujudnya masyarakat sejahtera. Sementara penerbitan buku-buku amal, selain dari sisi isi bukunya—bagi pembacanya—menyumbangkan pencerahan atau khazanah pengetahuan, juga memiliki manfaat lainnya. <br /> Namun demikian, secara umum buku amal punya kelemahan yang cukup merisaukan. Ketika sebuah buku amal kurang dimitati di kalangan konsumen, maka dari segi kuantitas beramal-nya juga menjadi kurang maksimal. Karenanya, sudah selayaknya kita untuk melirik buku-buku amal yang telah beredar. Meski pun buku itu barangkali kurang begitu menarik dan kurang berkualitas. Pihak penerbit sendiri menjadi penting untuk membubuhkan label—misalnya di bagian sampul—buku amal yang berfungsi untuk membedakan dengan buku-buku di luarnya.<br /> Sekarang bukan waktu yang tepat lagi menunggu negara bergerak memberikan buku gratis. Tapi andai saja, semoga saya tidak sedang bermimpi, orang-orang yang pemegang kendali negeri ini bisa mencontoh Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim yang mempunyai kebiasaan membelikan buku untuk diberikan sebagai oleh-oleh kepada rekan-rekannya di kabinet. Saya menyarankan kepada mereka untuk membeli buku-buku bertema "anti korupsi."<br /><br /><br /> </span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3693707365298538443.post-68366763091749766522010-04-04T23:25:00.000-07:002011-05-15T17:48:52.853-07:00Menunggu Jin Menulis Buku<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_KOV87UNJAM4/S7mDZy-druI/AAAAAAAAABc/-llvbNX-ZNg/s1600/cover+Menaklukan+Jin.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 131px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_KOV87UNJAM4/S7mDZy-druI/AAAAAAAAABc/-llvbNX-ZNg/s200/cover+Menaklukan+Jin.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5456536902739799778" /></a><br /><br /><br /><br />Jusuf AN<br /><br />Di tengah perkembangan teknologi yang menggila ternyata tidak membuat banyak orang untuk melupakan persoalan-persoalan supranatural, alam gaib, khususnya yang berhubungan dengan alam jin, yang notabene sulit didekati dengan paradigma rasional dan atau empirik. Kenyataannya, buku seputar alam jin banyak lahir dan mendapat sambutan meriah dari pembaca. <br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />Kita ingat, pada pertengahan tahun 1995 dunia perbukuan nasional sempat dihebohkan dengan terbitnya buku Dialog Alam Jin (Pustaka Hidayah, 1995). Buku tersebut menyedot perhatian besar dari kalangan pembaca sehingga dalam waktu kurang lebih satu setengah tahun sudah mencapai cetakan kedua belas dan hingga sekarang masih dicari banyak orang. Buku karya Muhammad Isa Dawud itu menarik karena, pertama, pengarang mencoba menggali informasi seputar alam jin melalui wawancara langsung dengan jin muslim sahabatnya. Kedua, mencoba mengungkap berbagai misteri besar dunia, seperti Segitiga Bermuda, Segitiga Formosa, dan rahasia kehebatan pesihir besar David Copperfield. <br />Perihal apakah Muhammad Isa Dawud benar-benar berdialog dengan jin muslim sahabatnya atau hanya sekadar menjadikan jin tersebut sebagai tokoh fiktif agar ia lebih leluasa menuangkan pemikirannya, allahua’lam. Tapi yang jelas Isa Dawud tidak sekadar asal menulis wawancara khususnya dengan jin yang memiliki nama Musthafa itu. Setiap informasi yang ia dapatkan dari Musthafa berkenaan dengan seluk-beluk dunia jin tidak begitu saja diserahkan kepada pembaca, tetapi dikuatkan kebenarnnya atau dimentahkan dengan dalil-dalil al-Qur’an maupun hadis Nabi Saw. Apa yang dilakukan Isa Dawud sangat tepat mengingat pada dasarnya jin memiliki sifat dan karakteristik yang jauh berbeda dengan manusia. Jin terkenal senang berbohong, lebih-lebih terhadap manusia, tentu ia memiliki peluang lebih besar untuk berlaku demikian.<br />Selain Muhammad Isa dawud ada beberapa pengarang lain yang menulis buku alam jin dengan bekal dalil-dalil dan pengalaman berinteraksi langsung dengan jin, salah satunya adalah Muhammad Jaad dengan bukunya Kayfiyyah Tarwidh al-Jinn li al-Insan yang kemudian oleh Pustaka Pelajar diterbitkan dengan judul Menaklukan Jin (2008). <br />Selain dua buku tersebut masih terdapat banyak buku lain dengan tema serupa. Saking menariknya alam jin, dunia sastra pun tak luput menggarapnya. Lewat novel Nar’ Kobar: The Motivator (Akoer, 2007) Andhika Pramajaya turut andil bagian menguak misteri alam jin. Tidak seperti kisah-kisah jin yang menyeramkan, Andhika menggambarkan tokoh utamanya, jin bernama Nar’ Kobar, dengan kocak dan menggelitik. Jin digambarkan sebagai sosok yang ‘manusiawi’: senang menonton TV, belanja di mall, jatuh cinta, menulis diary dan puisi. Tentu saja Andhika tidak hanya bermodalkan imajinasi dalam menulis novel tersebut. Bagi pembaca yang sedikit banyak mengetahui alam jin akan mudah merasakan, betapa Andhika telah melakukan riset tentang alam jin untuk penulisan novelnya. Perihal apakah riset yang dilakukan Andhika berupa studi pustaka atau lapangan (mengunjungi langsung alam jin dan berinteraksi dengan jin) saya sendiri tak dapat memastikan. <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyI3Xcx21KAcyfWI58V30B0Ta7vVQ-BL3Lw2qOS6sEZbv6ZNwd0zTGE49VjHsYXOJb8-UTHjR3loA0VMhB4THIDM80wNdwj8LhG0Qu_wMm-3Q1RJ1GB3qqNNBg_HhP5yeIZJa3PDCXATQ/s1600/cover+dialog+dengan+jin+muslim.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 132px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyI3Xcx21KAcyfWI58V30B0Ta7vVQ-BL3Lw2qOS6sEZbv6ZNwd0zTGE49VjHsYXOJb8-UTHjR3loA0VMhB4THIDM80wNdwj8LhG0Qu_wMm-3Q1RJ1GB3qqNNBg_HhP5yeIZJa3PDCXATQ/s200/cover+dialog+dengan+jin+muslim.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5456536800522958914" /></a><br />Tidak Tuntas<br />Bagi orang awam yang tidak tahu menahu soal dunia jin, tentu memiliki keingintahuan yang besar tentang alam ini. Namun sayangnya dalam pengamatan saya sampai sekarang belum ada buku tentang alam jin yang benar-benar memuaskan. <br />Bahwa jin tecipta dari api tetapi tak lagi berbentuk api; jin ada yang muslim dan ada pula yang kafir; jin makan, minum, berpakaian, berumah tinggal, berhubungan seksual dan beranak-pinak, kiranya sudah menjadi pemahaman kita bersama. Bahwa jin berperadaban; jin dapat menjelma menjadi sosok manusia; jin dapat merasuk ke jasad manusia, juga sudah banyak ditulis orang. Tetapi bagaimana bentuk-bentuk rumah jin dan bagaimana pakaian jin itu dibuat, tidak diterangkan oleh Isa Dawud, Muhammad Jaad, Andhika Pramajaya, atau penulis lainnya. Ada memang informasi yang mengatakan bahwa pakaian jin terbuat dari daun papirus. Tapi cara pengolahannya bagaimana, lalu apakah di alam jin juga ada penjahit dan pabrik pakaian? <br />Orang muslim percaya, bahwa jin merupakan makhluk yang hidup di bumi bersama-sama dengan manusia. Sebagai makhluk umurnya tentu saja dibatasi, meski ia memiliki umur yang mencapai ribuan tahun. Pertanyannya, bagaimana pengurusan jenazah jin? Dikubur atau dibakar atau diapakan? Sampai sekarang belum ada yang mampu memecah teka-teki itu. <br />Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan yang belum tersingkap seputar alam jin. Saya hanya menderetkan beberapa pertanyaan tersebut untuk menegaskan bahwa buku-buku tentang alam jin masih belum memuaskan. <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijU5WQWt5gOCigx__NOrb6DhWDjy9BURHah9Ss6HcDgiEJyrymBrftKVb9OjUS0AOfbLQAPDHwdvDmV9cUNYLL061Dpa6czIxV5-bnWW4TdLxuB_B4v1INBx9BL-8AfrK15URgy4vRC3k/s1600/cover+Nar+Kobar.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 132px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijU5WQWt5gOCigx__NOrb6DhWDjy9BURHah9Ss6HcDgiEJyrymBrftKVb9OjUS0AOfbLQAPDHwdvDmV9cUNYLL061Dpa6czIxV5-bnWW4TdLxuB_B4v1INBx9BL-8AfrK15URgy4vRC3k/s200/cover+Nar+Kobar.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5456536625034044226" /></a><br />Batas Pengetahuan<br />Menjadi satu kaharusan bagi setiap muslim untuk percaya akan keberadaan alam jin. Sebab al-Qur’an sendiri mengatakan dengan tegas akan keberadaan makhluk ini, bahkan jin menjadi salah satu surah di antara 114 surah yang ada di dalam al-Qur’an. Namun demikian ternyata wahyu dan sunnah membatasi pengetahuan manusia perihal seluk-beluk alam jin. Dalil-dalil seputar alam jin hanya menjelaskan secara global, dan karenanya menjadi tugas kita untuk melengkapinya. <br />Buku-buku seputar alam jin barangkali akan berkutat pada pembahasan yang itu-itu saja sampai ada pengarang yang berani membongkar lebar-lebar tabir kehidupan alam tersebut. Andai saja nanti ada salah seekor jin (karena memang jin memiliki ekor) yang menulis buku (karena memang jin membaca dan menulis) tentang alamnya lalu menyerahkannya kepada penerbitan yang dikelola manusia pastilah akan sangat menghebohkan. Apakah ini mungkin terjadi? Mungkin saja, meskipun pasti akan menimbulkan kontroversi. <br /><br />*) Jusuf AN, Penggiat Rumah Poetika Yogyakarta<br /> <br /><br /><br /> </span>dunia bukuhttp://www.blogger.com/profile/03381036708673888229noreply@blogger.com2