Minggu, 04 April 2010

Hikayat Penyemangat Bagi Pencari Ilmu


Jusuf AN*)
Membaca hikayat para ulama adalah cara paling mujarab untuk membangkitkan kemuliaan jiwa dan menegarkan diri dalam menangung derita ketika menempuh jalan yang lurus. Hikayat serupa pasukan Tuhan yang dengannya Dia meneguhkan hati para kekasih-Nya.


“Dan semua kisah Rasul-Rasul Kami ceritaan kepadamu, Muhammad, agar dengan kisah itu, Kami teguhkan hatimu. (QS. Hud 120). Berangkat dari hal itulah Abd Fattah Abu Ghuddah menulis buku yang berisi kumpulan hikayat para pencari ilmu ini.
Mencari ilmu, kita tahu, merupakan sebuah aktifitas yang begitu mulia. Imam Ali Bin Abi Thalib menandaskan bahwa ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.

Ilmu senantiasa bergandengan dengan kesabaran, cita-cita tinggi, semangat baca, zuhud terhadap dunia, begadang di kala malam, keuletan, doa dan tobat, rendah hati dan rasa syukur. Bermacam goda, coba, dan derita merupakan keniscayaan bagi para pencari ilmu. Pada konteks inilah sebuah hikayat kegigihan para ulama penting untuk dibaca. Menelaah kisah para ulama saleh merupakan cara paling efektif untuk menumbuhkan tekad menguatkan jiwa, meneguhkan cita-cita serta menanamkan akhlak yang lurus. Membaca kisah para ulama yang tak kenal letih mencari ilmu, berjuang menggapai harapan dan cita-cita menjadi cambuk bagi kita untuk memantapkan tujuan agung, niat yang ikhlas, dan ketabahan dalam menghadapi kesulian yang menghadang demi meraih asa.

Perburuan ilmu membutuhkan kesabaran yang sungguh besar. Kemiskinan biasanya menjadi cobaan terberat bagi para pencari ilmu. Lapar dan haus mesti ditanggung demi mengawal kemuliaan dan melatih kesabaran. Abu Ghuddah berusaha mengetuk kesabaran kita dengan menghadirkan kisah Ibn Hazm al-Andalusi, Abdul Walid al-Baji al-Andalusi, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang harus menjual pakaian dan tempat tidur demi menuntut ilmu. Juga kisah Abu Hurairah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Ibrahim An-Nazhzham, Ibnul Muqri, yang tidak sibuk mencari harta benda karena lebih mementingkan ilmu, selain juga pantang menjadi beban bagi orang lain.

Membaca hikayat mereka, kita akan malu dan merasa kalau cobaan yang kita alami dalam pencarian ilmu belum seberapa. Tengoklah liku-liku dan perjalan hidup Syu’bah bin al-Hajjaj, Ahmad bin Hanbal, Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Abu Hatim ar-Razi, dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Betapa sering mereka kehabisan bekal makanan di tanah perantauan saat mencari ilmu. Tetapi mereka tetap tegar. Bagi mereka ilmu jauh lebih berharga ketimbang makanan.

Buku menjadi makanan wajib yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan pencari ilmu. Apa pun akan dikorbankan demi mendapatkan buku yang cari. Kedudukan buku bagi ulama bagaikan roh bagi jasad, atau bagaikan pentingnya kesehatan bagi badan. Kisah-kisah dalam buku ini memberitahukan pada kita ikhwal reaksi para ulama saat bukunya tiada, baik hilang, dirampok, rusak, maupun terbakar. Pernah suatu ketika buku-buku Al-Ghazali dirampok. Al-Ghazali yang tidak ingin peristiwa pahit itu terulang kemudian menghafal seluruh isi buku-bukunya. Dengan demikian, ia tidak takut kehilangan buku bila suatu saat dirampok lagi.


Kedudukan ilmu bagi mereka ibarat air dari kayu hijau, bahkan udara bagi kehidupan manusia. Ibnu Jarir ath-Thabari, Yunus Bin Habib al-Bashri, Abu Bakar al-Anbari, dan Abu Ali al-Farisi adalah orang-orang yang memilih hidup membujang dan konsentrasi penuh untuk mencari ilmu. Mereka tak sanggup berpisah darinya dan tak kuasa melepaskannya sedikitpun. Ilmu bagi mereka layaknya makanan dan obat.

Kisah tentang orang yang membujang disajikan disini bukan untuk mengajak pembaca ikut membujang sepanjang hayat demi berkhidmat pada ilmu. Tujuannya adalah agar biografi keilmuan dan tingkah laku mereka yang sarat keutamaan dapat membangkitkan minat pembaca untuk meneladani mereka (kecuali dalam hal membujang). Dengan begitu, terbentuklah pribadi yang cinta ilmu, larut di dalamnya, dan terpadu menuju arah kebajikan dan takwa.

Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan sederhana, sehingga mudah dicerna siapa saja ini, cukup komplit menguraikan ketinggian cita-cita dan kesabaran para ulama dalam mencari ilmu. Ada delapan tema besar diangkat dalam buku ini. Pertama, tentang kelelahan dan kepayahan para ulama dalam perjalanan menunutut ilmu. Kedua, tentang para ulama yang jarang tidur dan upaya mereka menghindari semua kenikmatan duniawi demi menuntut ilmu. Ketiga, tentang kesabaran mengahadapi penderitaan dan kemiskinan. Keempat, tentang kelaparan dan kehausan para ulama ketika menuntut ilmu. Kelima, tentang ketabahan para ulama yang kehabisan bekal dalam perantauan menuntut ilmu. Keeenam, tentang para ulama yang bukunya hilang, dirampok, terbakar dan terpaksa dijual. Ketujuh, tentang para ulama yang memilih hidup membujang. Kedelapan, tentang para ulama yang berkorban harta benda demi mendapatkan ilmu serta menyusun karya. Delapan tema tersebut dibagi dalam tiga buku, masing-masing: Bertualang Mencari Ilmu, Ketabahan Para Pencari Ilmu, dan Pengorbanan Para Pemburu Ilmu.

Membaca hikayat pada ulama yang tersaji dalam buku ini ibarat meminum obat penyemangat. Gairah kita dalam usaha mencari ilmu akan muncul, pikiran kembali segar, dan kesabaran akan menebal.
resensi dari:
Buku : Seri Kisah Para Pencari Ilmu
(Bertualang Mencari Ilmu; Ketabahan Para Pencari
Ilmu; Pengorbanan Para Pemburu Ilmu)
Penulis : Abd. Fattah Abu Ghuddah
Penerjemah : M. Fatih Mansur & Miftahul Asror
Penerbit : Pustakata Insan Madani, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : Jilid I 209 halaman
Jilid 2 202 halaman
Jilid 3 172 halaman

0 komentar:

Posting Komentar