Minggu, 04 April 2010

Buku Amal dan Amal Buku

Jusuf AN *)

Sejak tahun 1954 program Books for Asia Foundasion telah mendistribusikan lebih dari 41 juta buku jurnal ilmiah, materi pendidikan, bahkan buku-buku sastra ke lebih dari 50.000 lembaga akademis maupun non-akademis di negara-negara Asia. Pada tahun 2005 saja, lebih dari 750.000 sumbangan buku senilai US$ 28 juta telah dibagikan ke sekolah-sekolah, universitas, perpustakaan umum, pusat penelitian, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di 15 negara, termasuk Indonesia.

Meskipun jumlah tersebut terbilang banyak, tetapi buku-buku yang disumbangan itu lebih dari 95% merupakan sumbangan yang diberikan oleh penerbit-penerbit di Amerika Serikat. Tentu saja teks di dalamnya tidak menggunakan bahasa Indoensia. Lantas, apakah buku-buku tersebut bisa digunakan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia yang memiliki kualitas pendidikan, seturut International Educational Achievment (IEA), masih rendah, dan tentunya juga memiliki penguasaan bahasa Inggris yang lemah?
Apapun jawabannya, sumbangan buku yang dilakukan Asia Foundation patut diteladani dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Bagaimana pun beramal dalam bentuk buku punya andil yang besar dalam meningkatkan kecerdasan bangsa—tugas yang sebenarnya menjadi agenda besar negara namun kurang mendapat perhatian bahkan nyaris dilupakan.
Kita tahu, hingga saat ini masih banyak sekolah-sekolah, khususnya di kawasan pedesaan yang belum memiliki bahan bacaan penujang pelajaran yang memadai. Belum lagi krisis multidimensi yang berdampak pada kemiskinan dan melambungnya harga-harga, termasuk buku, hingga tak terjangkau kalangan bawah. Hal ini semakin menjauhkan harapan pencerdasan bangsa, apalagi secara merata.

Keluar dari Krisis dengan Buku
Imbauan untuk memerangi kemiskian yang ditujukan kepada pengusaha swasta sudah sering dilontarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR). Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Sebab amal sering kali dilihat sebagai beban. Tekanan. Pengusaha hanya beramal saja tanpa ikut ambil bagian dalam usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini mandeg, karena pada umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.
Ungkapan di atas akan lain jika amal dalam bentuk buku. Amal atau sumbangan buku lebih mudah pemberdayaannya, jelas sasarannya, dan tidak lebih rumit pengorganisirannya.
Meski demikian beramal dalam bentuk buku masih jarang dilakukan, bahkan dianggap hal yang aneh. Kebanyakan orang akan lebih lebar senyumnya jika mendapat bantuan selain buku, misalnya, pupuk, sembako, dan lainnya. Saya tidak sedang mengatakan pupuk dan sembako tidak penting, tetapi sumbangan dalam bentuk buku tentu tak kalah penting.
Saya bukan sedang berkhotbah. Tetapi lihatlah, di sekeliling kita, masyarakat muslim misalnya, lebih senang beramal dalam bahan bangunan atau cash money untuk membangun masjid ketimbang membelikan buku-buku untuk membuat perpustakaan kecil di masjid. Oleh karena menyumbang buku dianggap tidak menjanjikan menggaet massa, maka calon-calon kepala desa, bupati, atau gubernur lebih memilih berkampanye dengan menyumbang hewan kurban atau mengiming-imingi jalan aspal ketimbang membagi-bagikan buku gratis atau membangunkan perpustakaan.
Para dermawan saya kira tidak bisa disalahkan. Mereka menyumbang berdasarkan kebutuhan masyarakat, lebih jelas lagi kebutuhan yang mendesak. Masyarakan menginginkan bantuan yang instan, nyata, bisa langsung digunakan saat itu juga, tidak seperti buku yang (mungkin dalam kaca mata sebagian besar orang) hanya menghabiskan waktu. Fenomena seperti itu merupakan ciri masih rendahnya minat baca di negeri ini. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terjadi. Kita tidak mungkin akan bangkit dari krisis dengan serta merta. Butuh waktu. Amal buku paling tidak bisa membantu, mengokohkan kaki negeri ini untuk berdiri kembali.
Sementara itu, baru-baru ini cukup marak kita melihat aksi proyek buku amal. Buku amal itu sendiri mengandung pengertian, buku yang sebagian atau keseluruhan dari hasil penjualannya disumbangkan. Sasaran yang mendapatkan sumbangan dari penjualan buku amal bisa berbeda-beda. Mulai sumbangan untuk kaum miskin, pendidikan nasional, atau korban bencana alam.
Buku kumpulan puisi 5,9 Scala Richer misalnya, merupakan salah satu contoh buku amal yang hasil penjualannya disalurkan untuk membantu korban bencana gempa di Jogjakarta. Ada juga buku amal Opera Zaman, kumpulan cerpen yang digagas Komunitas Merapi, yang hasil penjualannya disumbangkan untuk biaya pendidikan, dsb.
Baik amal buku maupun buku amal mempunyai kelebihannya sediri-sendiri. Beramal buku secara tidak langsung beramal ilmu. Beramal ilmu berarti membantu meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai pilar terwujudnya masyarakat sejahtera. Sementara penerbitan buku-buku amal, selain dari sisi isi bukunya—bagi pembacanya—menyumbangkan pencerahan atau khazanah pengetahuan, juga memiliki manfaat lainnya.
Namun demikian, secara umum buku amal punya kelemahan yang cukup merisaukan. Ketika sebuah buku amal kurang dimitati di kalangan konsumen, maka dari segi kuantitas beramal-nya juga menjadi kurang maksimal. Karenanya, sudah selayaknya kita untuk melirik buku-buku amal yang telah beredar. Meski pun buku itu barangkali kurang begitu menarik dan kurang berkualitas. Pihak penerbit sendiri menjadi penting untuk membubuhkan label—misalnya di bagian sampul—buku amal yang berfungsi untuk membedakan dengan buku-buku di luarnya.
Sekarang bukan waktu yang tepat lagi menunggu negara bergerak memberikan buku gratis. Tapi andai saja, semoga saya tidak sedang bermimpi, orang-orang yang pemegang kendali negeri ini bisa mencontoh Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim yang mempunyai kebiasaan membelikan buku untuk diberikan sebagai oleh-oleh kepada rekan-rekannya di kabinet. Saya menyarankan kepada mereka untuk membeli buku-buku bertema "anti korupsi."


0 komentar:

Posting Komentar