Sabtu, 30 April 2011

Titik Lemah Gerakan Mahasiswa



Jusuf AN*)


Judul Buku
Bergerak Bersama Rakyat:
Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia
Penulis
Suharsih dan Ign Mahendra K
Penerbit
Resist Book
Cetakan
Pertama, Februari 2007
Tebal
x+ 268 halaman, 17 X24,5 cm


           
Tidak bisa dipungkiri gerakan mahasiswa telah mengawal banyak perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah Indoneia. Bahkan, gerakan mahasiswa tahun 1966 dan 1998 mampu menumbangkan rejim, menandakan betapa gerakan mahasiswa memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun demikian, peran penting mahasiswa tidak selalu diiringi dengan tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Berbagai organisasi gerakan mahasiswa kini berkecambah di setiap kampus, aksi massa terus berlangsung, tetapi kenapa negeri ini tak kunjung membaik?
Buku Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Bagi Suharsih, proses pembangunan masyarakat yang demokratis, adil, dan sejahtera membutuhkan sebuah aksi yang benar-benar sadar. Salah satu jalan yang ditawarkannya agar gerakan mahasiswa mampu menentukan langkah-langkah yang harus diambil adalah dengan menganalisis hukum-hukum sejarah—baik sejarah masyarakat, maupun sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri.  
Tengoklah gerakan mahasiswa pada tahun 1965, di mana mahasiswa bergandengan tangan dengan militer dan akhirnya berhasil menumbangan rezim Soekarno. Pasca bergulingnya Sokarno, Indonesia justru kian terpuruk. Gerakan mahasiswa saat itu secara tidak langsung malahan membantu berdirinya rejim yang berkuasa selama 32 tahun dan belaku refresif terhadap rakyatnya. Berdirinya rejim Soeharto merupakan hasil dari aliansi dari mahasiswa-mahasiswa pro-liberalisme Barat, yang berarti merupakan awal jatuhnya Indonesia ke tangan imperialis. Ini memang sejarah pahit bagi mahasiswa, namun bukan berarti gerakan mahasiswa akan selalu berujung kepahitan seperti itu.
Pada era 1970-an gerakan mahasiswa di Indonesia kembali bangkit dengan mengambil konsep gerakan moral. Dalam konsep tersebut mahasiswa lebih banyak bertindak sebagai kekuatan moral dari pada sebagai kekuatan politik. Artinya, mahasiswa hanya muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis. Tepat kiranya jika Arief Budiman menyebut gerakan ini dengan ‘Gerakan Koreksi’ karena setelah krisis berlalu, mahasiwa kembali pulang ke kampus untuk belajar.  Selain itu, mereka hanya melakuan kritik pada tataran kebijakan yang pragmatis dan bersifat jangka pendek. Konsep gerakan moral juga bisa berarti bahwa gerakan mahasiswa tiak boleh pamrih dengan kekuasaan, harus murni, non-partisan, mahasiswa adalah agent of change, gerakan intelektual dan gerakan sosial.(hlm: 215)
Penulis memberikan beberapa titik kelemahan dari konsepsi gerakan moral tersebut. Pertama, tidak mengembangan konsepsi ideologis, apalagi ideologi kerakyatan. Bagi gerakan moral, tatanan kapitalisme yang ada sudah dianggap baik, hanya perlu dikoreksi. Kedua, gerakan mahasiswa tidak mau bergabung dengan rakyat dan tidak berusaha keluar ke kota-kota lain, sehingga hanya berlangsung di kota-kota besar alias bersikap sektarianisme gerakan. Ketiga, strategi, taktik, program, isu, atau pun tuntutan yang diambil sangat moderat, bahkan dapat digeneralisir bahwa bagi gerakan moral, mengirim ‘surat cinta’ kepada prisiden untuk mencabut kenaikan BBM atau tuntutan lainya adalah cukup, karena kepentingan gerakan semacam itu hanya memberikan kritik yang loyal. Keempat, gerakan moral hanya akan menjadi alat peralihan dari satu penguasa ke penguasa lain.
Gerakan Reformasi 1998 juga mengambil konsep gerakan moral dilihat dari tuntutan yang diajukan. Dengan mendukung Habibie mahasiswa tak sadar jika telah terhasut dan dibodohi. Tuntutan mahasiswa waktu itu antara lain mengadili Soeharto dan menghapus KKN, yang artinya rejim Habibie—termasuk Golkar dan tentara dipaksa mengadili dirinya sendiri. Alhasil, secara pokok tidak ada yang berubah dari pemerintahan pasca Soeharto.
Hingga saat ini masih terdapat sisa-sisa dalam beberapa gerakan mahasiswa yang mengangap dirinya sebagai gerakan moral. Secara tegas, dengan membeberkan fakta sejarah, Suharsih menyatakan, bahwa gerakan moral tidak akan menghasilkan apapun. Baginya, yang dharus dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat ini adalah sebuah gerakan politik radikal dengan ideologi kerakyatan. Idelogi kerakyatan sendiri memiliki makna, arah, dan tujuan perjuangan gerakan mahasiswa demi kepentingan rakyat tertindas. Ideologi ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat bila mengikutsertakan rakyat turun langsung dalam gerakan.
Memang tidak gampang menanamkan kesadaran pada rakyat untuk turut serta dalam gerakan. Meski begitu, penulis yakin, kesadaran ideologis akan muncul jika suntikan kesadaran terus menerus dilakukan, sehingga memungkinkan terciptanya kesatuan kesadaran rakyat untuk menyerang penyebab pokok persoalan rakyat negeri ini, yakni: imperisalisme dan rejim bonekanya, militerisme dan sisa feodalisme.
Merebut negara adalah kepentingan pokok bagi gerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan politik berideologi kerayakatan. Pengalaman sejarah di Vietnam (tahun 1960-an), di Kuba (1969), Venezuela (dalam pemerintahan Hugo Chavez) menegaskan bahwa ketika rakyat ingin menghentikan penindasan oleh imperisalis, maka negara harus dikuasai. Sebab, selama negara ini dikuasai oleh kelas borjuasi, maka selamanya pula negara diperalat untuk melanggengkan tatanan kapitalisme.  
Buku ini memberikan banyak catatan kritis atas sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia dengan tujuan mengajak seluruh mahasiswa dan rakyat untuk bersatu, bergerak melakukan perlawanan atas segala bentuk penindasan, sebab teori gerakan apa pun tidak akan berarti tanpa sebuah aksi.


0 komentar:

Posting Komentar