Jumat, 29 April 2011

Citra Orang Tionghoa




Peresensi: Jusuf AN
Judul Buku  : Menjadi Jawa
Penulis        : Rustopo
Penerbit      : Ombak, Yogyakarta
Cetakan      : I, Agustus 2007
Tebal           : xxii + 420 halaman

Etnis Tionghoa telah mengalami bertubi-rubi derita sepanjang sejarah Indonesia. Permbunuhan besar-besaran terhadap orang cina di Batavia (baca: Jakarta) dan sekitarnya yang dilakukan VOC pada tahun 1740 menjadi satu titik penting bermulanya peng-asingan etnis Tionghoa. Ketika gerakan nasionalisme semakin semarak orang-orang Tionghoa dianggap sebagai golongan yang anti Indonesia. Proses peng-asingan etnis Tionghoa terus berlanjut sampai diplokamirkannya Indonesia di mana seharusnya segala bentuk diskriminasi dihapus dan diganti demokrasi yang menjujung tinggi keseteraan hak dan perbedaan. Pembunuhan masal tahun 1946 di Banten yang konon dipicu oleh sentimen ekonomi menambah satu lagi daftar kepedihan masyarakat Tionghoa. Ironisnya, orang Tionghoa kembali menjadi sasaran keberingasan sosial yang terjadi tahun 1998 di Surakarta di mana toko, rumah, dan tempat usaha mereka di bakar dan dijarah. Rentetan peristiwa itu menunjukkan, seolah-olah etnis Tionghoa merupakan elemen asing yang patut dimusuhi. Sebuah prasangka yang terburu-buru dan jelas-jelas keliru.
Tradisi pemikiran historiografi Indonesia, khusunya Jawa, yang menempatkan masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat asing sudah sepatutnya dibongkar ulang. Tionghoa, kita tahu, bukanlah satu-satunya etnik atau bangsa pendatang di pulau Jawa, tetapi anehnya label non-pribumi hanya melekat pada Tionghoa, dan tidak termasuk etnik Arab atau India. Selama ini keberadaan komunitas Tionghoa dalam sejarah Jawa lebih sering dipahami sebatas cara pandang politis, yaitu elemen pengganggu ataupun parasit kegiatan ekonomi. Jarang sekali ditemukan adanya upaya untuk melihat masa lalu Tionghoa di Jawa secara sosio-kultural, yaitu sebagai salah satu bagian yang secara integratif membentuk identitas Jawa.
Kita tak bisa menutup mata terhadap beberapa orang Tionghoa yang pernah tampil sebagai tokoh-tokoh utama dalam pengislaman Jawa. Bukankah kerajaan Islam pertama di Jawa dipimpin oleh seorang raja keturunan Tionghoa? Dalam bidang pertanian orang-orang Tionghoa juga meninggalkan warisan yang abadi hingga kini, berupa pengetahuan, teknologi pengolahan dan peralatan pertanian. Belum lagi sumbangan orang-orang Tionghoa di bidang kelautan berupa pembuatan kapal serta alat-alat atau senjata dari logam. Sementara dalam bidang seni budaya, orang Tionghoa telah berhasil mengembangkan Wayang Orang Panggung, ‘Srimulat’ dan batik tulis Jawa yang memiliki kehalusan dan corak yang khas.
Adalah Kho Djin Tiong atau yang lebih akrab disapa Teguh, seorang keturunan Tionghoa yang begitu intens membelajari nilai-nilai filosofi, etika, dan estetika Jawa yang terkandung dalam lawakan Mataram sebagai dasar dari pengembangan sandiwara lawak ‘Srimulat’ yang ia pimpin. Kepada seluruh pelawak asuhannya, Teguh menanamkan konsep lawakan ‘Srimulat’, yaitu ‘lucu itu aneh, dan aneh itu lucu.’ Teguh dianggap sebagai seorang guru besar pertunjukan lawak yang telah melakukan pengembangan-pengembangan besar terhadap seni pertujunjukan Jawa tradisional seperti Dagelan Mataram, ketroprak, wayang wong, wayang kulit, ludruk dan lain-lain.

Membangun Jawa Adiluhung
            Banyak lagi orang-orang Tionghoa yang berjasa membangun Jawa yang adiluhung. Go Twin Swan adalah orang tionghoa yang mula-mula mengawinkan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah dengan batik gaya Surakarta dan Yogyakarta, yang kemudian dilegitimasi oleh Bung Karno dan diperkenalkan kepada masyarakat sebagai ‘Batik Indonesia’. Tengoklah pula Koo Kiong Hie, yang dengan tekun berjuang untuk mampu menari, nembang, dan berbahasa Jawa sebaik seniman-seminam Jawa. Juga Koo Kiong Hie (Theo Hidayat), Tio Gwat Bwee (Sri Rejeki), Liem Tan Swie (Wiwiek Widodo), Koo Giok Lian (Nora K. D), dan para pemain Wayang Orang Panggung Darma Budaya yang merupakan orang-orang Tionghoa yang memiliki bakat dan keseriusan dalam kesenian Jawa.
Meskipun Wayang Orang Panggung, Srimulat, dan Batik Indonesia tidak pernah tertulis tentang hasil-hasil karya ‘Jawa’ dari orang-orang Tionghoa, tetapi tidak pernah ada yang menyangsikan bahwa hasil kreatifitas itu bukan ‘Jawa’. Karya-karya orang Tionghoa bukan hanya merupakan aset budaya milik Jawa, atau Surakarta, melainkan menjadi milik bangsa. Citra positif tentang kejawaan orang-orang Tionghoa, baik melalui karya-karya mereka maupun melalui perilaku dalam hubungan masyarakat sehari-hari, tidak perlu disangsikan. Terlepas dari ada atau tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka, sesungguhnya apa yang mereka lakukan menunjukkan adanya keinginan masyarakat Tionghoa untuk “menjadi” Jawa agar dapat diterima oleh masyarakat Jawa.
Buku Menjadi Jawa karya Rustopo ini sangat layak diapresiasi. Sebab buku setebal 420 halaman ini berbeda dengan tulisan-tulisan yang ada sebelumnya yang kebanyakan hanya melihat etnis Tionghoa dari kaca pandang ekonomi atau politik sehingga orang Tionghoa di Jawa terkesan hanya berurusan dengan modal, dan terpisah dari masayarakat. Melalui buku ini Rustopo bermaksud menempatkan Tionghoa sebagai komunitas sekaligus individu yang lebur menjadi satu ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa untuk bersama-sama membangun Jawa yang adiluhung. [*]   

0 komentar:

Posting Komentar