Rabu, 04 Agustus 2010

Mansur Samin, Pendahulu Andrea Hirata (Kritik atas Tetralogi Laskar Pelangi)

bagian I


:: Nurhady Sirimorok ::



Citizen reporter Nurhady Sirimorok yang sedang menyiapkan buku Analisis Modernitas dengan merujuk pada karya-karya Andrea Hirata (Tetralogi Laskar Pelangi), menurunkan nukilan buku tersebut khusus untuk pembaca Panyingkul! Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan. (p!)


Mansur Samin, penulis angkatan 66 yang cukup dikenal di masanya. Dia lahir di Tapanuli tahun 1930, menerbitkan sajak sejak di usia sangat muda di tahun 1947. Menurut data yang dihimpun H.B. Jassin, dalam bukunya Angkatan ’66: Prosa dan Puisi, tulisannya tersebar di terbitan-terbitan sastra seperti Siasat, Budaya, Merdeka, Indonesia, Konfrontasi, Sastra, Horison, dan lainnya. Dia menyelesaikan sekolah dan mengajar di Solo. Selain menulis sajak, dia juga aktif di teater sebagai sutradara dan menulis cerita serta esai. Setelah pindah ke Jakarta di tahun 1966 dia tenggelam dalam pergolakan mahasiswa di bawah KAMMI dan KAPPI.

Tapi tak banyak yang tahu bahwa kelak di tahun 1994 dia juga menulis sebuah buku cerita anak-anak berjudul "Kuto Anak Desa Terasing". Kisah tentang seorang guru yang datang ke sebuah desa di suatu tempat di Sumatra. Seorang agen modernisme yang ditugaskan negara untuk menjadikan murid-murid sekolahnya lebih ‘beradab’. Anak-anak ini, yang berasal dari suku terasing, dianggap masih terbelakang menurut standar gaya hidup moderen.

Buku kecil ini sangat menarik digunakan untuk melihat pandangan pemerintah Indonesia terhadap ‘masyarakat terasing’. Gagasannya memperlihatkan kesamaan menakjubkan dengan dokumen kebijakan pemerintah yang disiapkan untuk proyek pemukiman masyarakat terasing. Lebih tepatnya, kita bisa mengintip bagaimana wacana tentang masyarakat terasing ini bersentuhan dengan aparatus negara (guru, sekolah dan buku ajar). Serta bagaimana paket modernitas coba didesakkan oleh negara kepada mereka.

"Kuto Anak Desa Terasing" ditulis masa ketika Orde Baru masih berkuasa. Masa ketika modernitas dikampanyekan lewat alat negara secara sistematis dan meluas. Berbeda dengan Laskar Pelangi di mana modernitas menyebar bukan lewat negara—yang sudah terlemahkan oleh kekuatan pranata internasional seperti globalisasi pasar—melainkan lewat media massa dan lembaga non-negara lainnya.

Bila modernitas di novel-novel Andrea muncul dalam bentuk yang lebih beragam, dari sumber yang bermacam-macam, mirip dengan aneka entri dalam wikipedia, maka modernitas dalam "Kuto Anak Desa Terasing", datang dari resep yang diracik oleh satu sumber: pemerintah. Bagian awal kisah anak-anak Laskar Pelangi, yang digambarkan hanya mendapatkan ‘pendidikan’ dan ‘ilmu’ dari sekolah formal memiliki kesamaan dengan kisah anak-anak SD di buku cerita ini.

Forum-forum internasional menyebut mereka masyarakat Indeginuous, atau masyarakat asli. Penamaan semacam ini merupakan sebuah praktik eksklusi. Sara Mills, meminjam teori Foucault, menjelaskan soal ini dalam bukunya Discourse. Ekslusi yang dimaksud adalah keadaan di mana pihak yang punya kuasa melakukan ekslusi (atau inklusi) terhadap sekelompok orang. Pihak berkuasa kemudian harus membuat alasan-alasan pembenar ketika melakukan tindak tersebut. Mereka juga mesti mengkonstruksi ciri-ciri tertentu bagi kelompok-kelompok sasaran ekslusinya, agar proses eksklusi berjalan dengan mulus.

Pemerintah Indonesia menerapkan laku ekslusi seperti ini dengan menggunakan istilah ‘masyarakat terasing’. Mereka lalu membangun serangkaian karakterisasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mereka sebut sebagai terasing. Setelah wacana tentang masyarakat terasing menyebar, masyarakat umum telah paham pemaknaan frasa ini menurut versi pemerintah. Kerjaan berikutnya adalah meluncurkan kebijakan untuk mendesakkan gagasan, pranata dan gaya hidup baru kepada kelompok-kelompok ini.

Pelukisan tentang masyarakat terasing menunjukkan adanya konstruksi sebuah wacana mendasar yang menggambarkan ‘Mereka’ dan ‘Kita’ yang berbeda secara radikal. Perbedaan ini kelak mengharuskan adanya kebijakan yang berbeda. Pun ini bisa berarati terciptanya sebuah proyek ‘pembangunan’ baru!

Wacana tentang sebuah kelompok ‘masyarakat terasing’ yang benar-benar unik dan beda dalam nyaris segala hal dengan ‘Kita’ masyarakat ‘beradab’, muncul di banyak jenis media dan sudah diketahui banyak orang. Gambaran tentang masyarakat terasing ini sudah dicetak di banyak jenis produk kebijakan, disebarkan secara interen di departemen pemerintahan yang ditugaskan untuk menangani mereka, Departemen Sosial. Lalu di media massa cetak maupun audiovisual sebagaimana diceritakan (baca esai Christoper Duncan, Savage Imagery: (Mis)representation of the Forest Tobelo of Indonesia). Serta di acara pameran (lihat tulisan Greg Acciaioli, ‘Archipelagic Culture’ As an Exclusionary Government Discourse in Indonesia). Laskar Pelangi bisa dibaca pula sebagai praktek eksklusi. Andrea Hirata membedakan secara absolut antara kehidupan moderen dan tradisional. Antara Paris dan Belitong. Antara Ikal dan Tuk Bayan Tula.

Demikian luas dan banyaknya wacana ini bersebar, sehingga banyak orang tidak lagi sadar dari mana asalnya, dan apa gagasan yang melandasinya.


Sekarang mari kita lihat apa yang ditulis Mansur Samin tentang masyarakat yang Lain dan Terbelakang ini.

Menurut buku cerita ini, masyarakat terasing, sebelum diintervensi oleh negara, adalah masyarakat yang terbelakang. Sejak di halaman pertama sang penulis, dengan wacana masyarakat terasing di kepalanya, secara terbuka sudah memproklamirkan bahwa, “Suku Lubu adalah orang-orang terbelakang.” Selanjutnya, di sepanjang buku itu Mansur Samin menggambarkan satu demi satu karakteristik masyarakat terasing menurut wacana yang sudah diamini masyarakat luas.

Penyatuan ‘komunitas’ ke dalam satu unit tunggal yang dilabeli ‘suku terasing’ sangat diperlukan sebelum melekatkan karakteristik yang berlawanan secara radikal, dengan masyarakat moderen, kepada komunitas tersebut. Tentu sulit melaksanakan intervensi bila mereka dilihat sebagai masyarakat yang beragam. Dari kacamata birokrat, akan terlalu ribet mengurusi masyarakat yang berbeda kebutuhan. Dengan demikian terciptalah entitas tunggal ‘Mereka’, suku terasing

Mansur Samin dengan lihai membentuk karakteristik masyarakat terasing yang, secara mengejutkan, mirip dengan indikator-indikator buatan pemerintah ketika merujuk ke kelompok masyarakat tersebut. Sebuah dokumen kebijakan Departemen Sosial, Sejarah Perkembangan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, terbit tahun 2003, memperlihatkan dengan jelas kesamaan tersebut. Di sana termuat daftar kriteria bila sebuah masyarakat hendak kita disebut Komunitas Adat Terpencil ini.

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa nama ‘masyarakat terasing’ diubah menjadi Komunitas Adat Terpencil setelah terjadi desakan kuat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999. Meskipun perubahan itu cuma pada sebatas nama, bukan mengubah persepsi masyarakat umum terhadap mereka.

Kembali ke dokumen tadi. Daftar dalam produk kebijakan itu digunakan untuk menyiapkan sebuah proyek yang dulunya di namakan resetlement masyarakat terasing. Konstruksi kriteria-kriteria tersebut bisa diringkas menjadi, satu, mempunyai kesamaan penampakan fisik, kehidupan sosio-kultural dan model perumahan. Dua, hidup di tempat-tempat terpencil yang sangat sulit dijangkau, berpindah-pindah, atau bertebaran dalam kelompok-kelompok kecil. Tiga, masih berburu, mengumpul-meramu, dan melakukan perladangan berpindah. Empat, menjalani kehidupan tidak sehat bagi diri mereka dan bagi lingkungan sekitarnya. Lima, berperilaku tertutup terhadap orang luar. Enam, sistem sosial, ideologi dan teknologi mereka masih tetap tradisional dan statis.

Semua ini bisa terjadi karena, tujuh, mereka tidak bisa diakses oleh pelayanan pemerintah.

Kembali ke cerita Mansur Samin, penampakan fisik yang dilukiskan di sampul depan buku cerita itu secara grafis sudah menunjukkan apa yang diinginkan sang pengarang. Seorang anak pria mengenakan cawat. Dia mengangkat dan menekuk tangan kanannya, memperlihatkan lekuk otot lengan atasnya, sebuah tanda maskulinitas dan kekuasaan—atau kesuksesan. Sementara tangan lainnya menggenggam sebuah buku. Buku tulis sekolah. Anak itu menjadi penyedot perhatian utama sampul tersebut, sebagai latar depan. Di belakang sana seorang pria yang juga mengenakan cawat sedang mencangkul dengan gerakan yang berkesan sarat beban. Tidak jauh darinya seorang wanita merunduk dalam-dalam untuk menanam benih di tanah yang telah digemburkan.

Gambaran ini menegaskan perbedaan antara generasi muda yang sudah tersentuh sekolah dan generasi lebih tua, yang hanya bisa bertani. Lalu dikesankan bahwa kehidupan sang pemuda lebih mudah ketimbang yang tua. Bahwa dia berdiri di latar depan dan orang-orang tua bekerja berat di latar belakang, menunjukkan keutamaan hidup yang dijalankan sang anak. Sekolah menjadi lebih penting daripada pertanian.

Namun sebelum kita melihat bagaimana elemen sekolah menyentuh anak itu, sebagaimana yang tergambar pada sampul depan, kita lihat dulu siapakah mereka pada mulanya? Dalam proyek-proyek pembangunan ini biasa disebut sebagai survai awal, untuk membuat baseline data, demi menghasilkan studi kelayakan proyek.

Di bagian awal cerita, sang penulis memperkenalkan ‘suku Kubu’, sebuah ‘komunitas’ tunggal yang seragam. “Suku L[K]ubu itu disebut orang-orang kota pula orang suku Pagur […] Mereka jarang mandi. Mereka berpakaian yang terbuat dari kulit kayu. Mereka mencari nafkah dengan berhuma dan menyadap pohon enau,” (hl.1) dan mengenai tempat tinggal, “Rumah mereka terbuat dari kayu beratap lalang.” (hl.1).

Bila melihat fokalisasinya, atau siapa yang menceritakan siapa, orang-orang tak beridentitas dari pegunungan ini dianggap sebagai satu unit tunggal, lalu secara pasif diberi label oleh ‘orang kota’—juga kategori tunggal yang menyeragamkan orang yang tinggal di kota—sebagai ‘suku Kubu’ atau ‘suku Pagur’. Karakter-karakter yang dilekatkan Mansur Samin kepada mereka adalah, hidup tidak teratur sehingga tidak sehat karena jarang mandi, berbudaya tradisional karena mengenakan anyaman kulit kayu, dan tempat tinggal mereka tidak permanen dan tidak elok sebagaimana rumah ‘orang kota’.

Pandangan pemerintah terhadap masyarakat terasing atau komunitas adat tertinggal nyaris sama dengan pelukisan Mansur Samin terhadap anak-anak suku Kubu. Mereka menjadi obyek di ‘luar sana’. Mereka yang berbeda samasekali dengan Kita. Kelak di sepanjang cerita mereka hanya bersuara ketika mereka mengeluarkan ujaran yang sesuai dengan paradigma arus utama, modernitas. Tidak ada tempat bagi suara lain, kecuali untuk dikalahkan atau untuk diubah. Mirip dengan kisah kekalahan Tuk Bayan Tula dalam Laskar Pelangi.

Selain itu, dengan memasukkan ‘orang kota’ sebagai sebuah frasa untuk merujuk pada kelompok tunggal tak bernama dalam cerita ini, maka dengan sendirinya terciptalah dua kelompok yang berlawanan secara mutlak. Maka terlihatlah, satu, ketimpangan temporal, yakni lintasan masa yang dibutuhkan untuk mencapai ‘kemajuan’, tentu dalam takaran orang kota. Anak-anak Suku Kubu butuh waktu untuk menjadi Orang Kota. Dua, ketimpangan ruang atau perbedaan cara pemanfaatan lahan. Orang Kota tinggal di kota, atau daerah sub-urban, dan menggunakan lahannya dengan efisien dan teratur. Sedangkan Suku Kubu berpindah-pindah dan hanya berladang. Tiga, ketimpangan etik, yaitu standar prilaku. Yang pantas dan tidak pantas menurut ‘orang kota’ mutlak dianggap lebih baik.

Dengan begitu terbentuklah hirarki antara mereka yang menjadi obyek amatan dan mereka yang mengamati. Antara mereka yang diceritakan dan mereka yang bercerita.

Pun, deskripsi di atas memperlihatkan kesamaan yang mengejutkan dengan kriteria-kriteria masyarakat terasing ciptaan pemerintah. Ambil misal, tidak mandi berarti hidup secara tidak sehat, mengenakan cawat bisa ditafsir oleh pembaca berparadigma moderen sebagai kehidupan sosiokultural yang tradisional dan statis. Sekali lagi, aspek-aspek ini agaknya bertemu dalam satu belanga, untuk meracik sebuah penganan bernama, ‘masyarakat terasing’, yang terbelakang dan benar-benar beda dengan ‘orang kota’.

Laku membandingkan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang benar-benar beda terbaca secara konsisten di sepanjang buku cerita ini. Tetapi tingkat perbedaan ini semakin menipis seiring semakin lama dan intensnya persentuhan mereka dengan negara.

Gradasinya kelainan itu bermula dari perbedaan yang benar-benar mencolok sebelum masuk sekolah—salah satu alat negara paling dominan dalam cerita ini. Mereka kemudian diakui sebagai bagian dari anggota masyarakat luas dengan posisi yang lebih rendah. Ini digambarkan lewat perwakilan masyarakat terasing di dalam cerita ini, anak-anak Suku Kubu. Akhirnya, masyarakat subordinat ini mengalami transformasi menjadi orang-orang yang menjalani gaya hidup moderen. Gaya hidup yang dipromosikan negara, yang dalam cerita ini muncul dalam bentuk seorang guru (Pak Abdi) dan sekolah. Dalam hal ini, buku Mansur Samin berbeda dengan Andrea Hirata. Dalam Laskar Pelangi, peradaban moderen tiba-tiba sudah diketahui dengan begitu luas dan beragam. Dari nama penyanyi sampai ilmuan abad ke 17. Dari nama taksonomi tumbuhan sampai tontonan eksotis ala Afrika. Dari mana anak-anak ini belajar, kita tidak mendapat jawaban memuaskan.

Namun yang penting di sini adalah kedua buku ini menggambarkan dua model penetrasi budaya moderen ke masyarakat Indonesia. Meski kita tidak diceritakan dengan baik dari mana Andrea memperoleh seluruh keping peradaban moderen itu, dengan mudah kita bisa menunjuk media internet, pengalamannya sekolah di luar negeri, bacaannya, dan pergaulannya. Sementara bagi anak-anak Suku Kubu sumber satu-satunya adalah sekolah. Tetapi keduanya melakukan praktek eksklusi serupa. Sehingga meski caranya beda namun tujuannya sama. Memenangkan peradaban moderen.

Tatkala anak-anak Suku Kubu diperbandingkan dengan orang-orang lain, deskripsi tiga di antara mereka—yaitu Kuto [tokoh utama], Nihu dan Sabe—berbunyi sebagai berikut: “Orangtua mereka baru lima tahun bermukim di desa Dolok. Tapi kebiasaan-kebiasaan dari desa yang lama masih sukar diubah. Rambut mereka gondrong. Jarang mandi. Kaki mereka tak bersepatu. Pakaiannya masih tetap yang terbuat dari kulit kayu.” (hl.2) Perlu dicatat, gambar sampul menampilkan sang tokoh mengenakan cawat, dalam teks bukunya dia memakai kulit kayu. Bisa jadi penggambar sampul tidak membaca isi bukunya.

Deskripsi tertulis tentang ciri anak-anak Kubu itu, meski tidak diperbandingkan dalam bentuk tulis, terlihat sangat kontras dengan gambar-gambar Pak Abdi yang tercetak di dalam buku tersebut. Sang guru dilukiskan sebagai pria paruh baya yang mengenakan kemeja dan celana yang apik dengan rambut yang juga tersisir rapih. Sementara pencitraan sang guru sebagai sosok intelektual dari masyarakat moderen diperkuat dengan kehadiran kacamata bergagang tebal yang di kenakannya (terdapat di gambar-gambar pada halaman 7, 18, 54 dan 84. Hanya di halaman 37 sang guru digambarkan tidak mengenakan kacamata sebab dia tengah bekerja secara fisik.)

Demikianlah salah satu pemunculan negara secara langsung dalam cerita ini. Singkatnya, negara hadir di buku ini melalui latar utamanya, sekolah, dan salah satu tokoh utamanya, Pak guru Abdi. Sekolah dianggap sebagai tempat yang seharusnya mengajarkan anak-anak suku Kubu itu bagaimana berintegrasi dengan sebuah gaya hidup baru yang dibawa oleh negara kepada mereka, yaitu gaya hidup moderen.

Tentu yang dimaksud negara adalah pemerintah, yakni pemerintahan formal hirarkis terpusat yang pucuknya berada di Jakarta, di pulau Jawa. Hirarki ini juga terlihat dalam kecakapan guru-guru yang muncul dalam Kuto Anak Dusun Terasing. Seorang guru bernama Togar—kita tahu biasanya nama ini berasal dari Sumatera Utara yang secara geografis lebih dekat dari latar cerita buku ini—digambarkan sebagai guru yang cepat naik pitam, sehingga memukul Kuto. Tindakan inilah yang membuat sang guru dipindahkan dari sekolah itu, karena dia juga mengalami pemukulan dari ayah Kuto. Sebuah tindakan balasan yang kelak disesalkan oleh sang penulis, kemungkinan karena dianggap main hakim sendiri dan dengan demikian melanggar peraturan hukum formal negara. Sementara guru yang digambarkan cakap, serba bisa dan baik hati, namanya berakar dari bahasa sansakerta, Abdi, sebuah nama populer di pulau Jawa. Guru ini tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana Pak Togar.

Dalam cerita ini, apa yang dibawa Pak Abdi adalah pembangunan ala negara, yang datang sebagai “aksi, intervensi dan bertujuan untuk pengembangan.” Ini menyiratkan bahwa pihak yang membawa intervensi lebih dahulu sudah mengetahui tujuan pembangunan yang benar, apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang perlu dan tidak perlu, bagi kelompok sasarannya. Demikian pemikiran Des Gasper dalam bukunya, The Ethics of Development: from Economism to Human Development, yang terbit tahun 2004 silam. Dan pembangunan ini meliputi seluruh aspek hidup masyarakat sasaran. Hasilnya adalah adaptasi terhadap ‘budaya’ yang dibawa oleh negara, dalam hal ini, ‘budaya’ yang meliputi segala sesuatu, dari budaya material hingga ideologi. Negara menginginkan sebuah perubahan radikal lewat paksaan halus yang berstatus legal.

Dalam keadaan seperti inilah seluruh gagasan dan cara hidup kelompok sasaran takluk di hadapan elemen-elemen modernitas yang didesakkan negara. Kita lihat saja bagaimana ketika berhadapan dengan kertas ujian sekolah, “Kuto sadar. Kini dia berjuang dengan kebodohannya. Dia berikhtiar mengerjakan soal-soal yang belum selesai digarapnya. Ternyata dia tidak sanggup.” (hl. 13) Standar baru yang harus dianutnya memaksa dia menjadi pengikut yang tertatih-tatih tatkala mencoba menggabungkan diri. Orientasi modernitas yang baru diadopsinya mengharuskan Kuto menjadi orang bodoh. Ini tentu mengingatkan kita tentang kisah kekalahan Tuk Bayan Tula dari Laskar Pelangi. Pengikut-pengikutnya, Mahar dan Flo, akhirnya ‘sadar’ dan kembali menekuni ‘sekolah’.

Tentu saja Kuto tidak sendiri, seluruh ‘komunitas’ digambarkan menyesali diri karena tidak menjalani pendidikan (sekolah formal) yang baik. Sebuah ‘kesalahan’ yang membatasi ruang gerak mereka, sehingga hanya bisa bekerja fisik untuk mencari nafkah (hl. 24). Lagi-lagi, kerjaan berkerah putih, sebagaimana yang diinginkan Ikal dari Laskar Pelangi, menjadi tujuan akhir pencapaian seorang manusia. Menggantikan kerja fisik adalah keahlian saintifik, yang diasumsikan tidak terdapat dalam masyarakat tradisional, yang hanya bisa didapatkan lewat guru sekolah formal yang berpengetahuan luas dan membaca buku teks. Ulasan mengenai kemanjuran pengetahuan masyarakat lokal terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Salah satu yang paling berpengaruh adalah buku Linda Tihuwai Smith, Decolonizing Methodology.

Akhirnya dengan mengikuti resep dunia moderen untuk mendapatkan ilmu, Kuto berhasil membuat tercengang orang-orang dewasa sekampungnya yang tidak pernah bersekolah formal.

“Dari mana kau tahu Nak, cara penumpasan tikus itu?” tanya Bapak itu.
“Dari membaca buku pak,” jawab Kuto. (hl. 45-47)


Penyeragaman nilai sering diikuti dengan banyak intervensi pembangunan oleh negara. Katanya sih untuk mengurangi ketimpangan, antara masyarakat yang dianggap sudah maju dan yang masih terbelakang. Mansur Samin melakukan hal ini dengan menuturkan sebuah cerita dari pengalaman di tempat lain. Meminjam suara sang guru, penulis mengenang bahwa suatu waktu ada seorang anak yang sangat bodoh namun belajar demikian keras di sekolah, dan “karena ketabahan anak itu [dalam belajar] ia menjadi pandai. Cita-citanya tercapai. Hidupnya bahagia.” (hl. 9)

Pendidikan formal dan cita-cita, dua aspek yang menjadi alat penuntun penting dalam Laskar Pelangi rupanya muncul juga di sini. Namun kali ini, tujuannya bukan sekolah di Perancis dan jalan-jalan keliling Eropa dan Afrika, tapi hidup bahagia. Di luar itu, tuturan sang guru ini terasa terlalu sederhana. Belajar keras belum tentu membuat orang menjadi pandai. Menjadi pandai belum tentu membuat cita-cita seseorang bisa tercapai. Dengan mencapai cita-cita belum tentu hidup seseorang otomatis menjadi bahagia. Logika kelewat sederhana seperti ini membuat saya bertanya-tanya, apakah ini bisa membentuk cara berpikir anak-anak yang membacanya, dan apa efeknya di masa dewasanya?

Sekolah juga mengajarkan tatakrama sekolah mainstream Indonesia. Tentu saja adab ini diimpor dari tempat lain yang dianggap sudah lebih maju. Ini sudah terjadi di bagian-bagian awal cerita, “Tanpa bersalam, Kuto menerobos pintu. Lalu duduk seenaknya di bangku belakang.” (hl. 6) Sekolah membawa bersamanya aturan yang harus dipatuhi oleh subyeknya. Dengan masuk sekolah, suka tidak suka, Kuto harus memberi salam sebelum masuk pintu dan harus duduk dengan ‘sopan’ di bangku depan. Daftar aturan berperilaku ini sebenarnya tidak begitu esensial dalam menerima pelajaran. Bukankah semakin nyaman posisi duduk, semakin mudah seseorang menerima pelajaran?

Selain itu, retorika yang dipakai Mansur Samin adalah gaya orang kota yang menceritakan keterbelakangan anak ‘suku Kubu’. Sebuah nada yang mengundang pembaca yang seadab dengannya ikut mencela perilaku Kuto tanpa sedikitpun kesempatan Kuto bersuara menurut tatanan perilaku yang dia pelajari sejak kecil di komunitasnya. Setiap masyarakat punya nalar sendiri yang seharusnya diberi kesempatan untuk diperdengarkan. Namun hierarki harus ditegakkan. Negara mesti sebagai pihak benar dan berkuasa. Segala yang berbeda darinya sebaiknya berusaha mengubah diri.

Nasionalitas, atau lebih dikenal dengan istilah, semangat kebangsaan, adalah isu penting lain yang diperkenalkan kepada masyarakat terasing. Sebabnya bisa macam-macam. Pertama, ketakutan akan penyebaran komunisme. Sesuatu yang dihembuskan AS selama perang dingin ke seluruh permukaan bumi. Kedua, pandangan pra-kolonial kerajaan-kerajaan Jawa di mana hutan-hutan sekitar menjadi tempat orang melarikan diri dari kontrol negara (baca Christopher Duncan 2001: 54-55). Ketiga, kebutuhan konstan watak inheren pemerintahan untuk memerintah dan mengatur rakyatnya, ‘governmentality’ (lihat Tania Murray Li 1999: 296). Semua ini menjadi daftar alasan terkuat bagi negara untuk menyuntikkan ideologi ini kepada warga yang dianggap sebagai ‘masyarakat terasing’.

Di Indonesia, cara umum yang diyakini bisa menanamkan semangat nasionalitas adalah dengan mengadakan upacara penaikan bendera. Di banyak tempat sampai sekarang, setiap Senin pagi, selain di beberapa hari peringatan nasional, seluruh insititusi formal melaksanakan upacara. Biasanya seluruh pesertanya berdiri dan berjajar lurus untuk melakukan hormat secara fisik, dengan menyentuhkan ujung telunjuk kanan ke dahi, sementara bendera nasional dinaikkan, dan diiringi lagu kebangsaan.

Pak Abdi juga menjelaskan aspek penting lain dari modernitas: teknologi. Dia misalnya menjelaskan pentingnya teknologi transportasi kepada murid-murid. Katanya, teknologi yang satu ini krusial untuk melebarkan wawasan mereka, menyeberangi ‘komunitas tertutup’ mereka, agar bisa menjadi sebuah masyarakat ‘beradab’. (hl. 13-14). Akan tetapi, sebuah percakapan antara seorang murid dengan gurunya tidak hanya menjelaskan ketertutupan tetapi bahkan mengungkap sebuah ketidaktahuan yang mutlak:

“Kalian sudah pernah melihat mobil?”
Tidak ada yang menyahut (hl.14)

Pilihan cara mengekspresikan ketidaktahuan anak-anak ‘suku terasing’ akan teknologi bernama mobil ini memantulkan cara bagaimana masyarakat yang tersubordinasi harus ditaklukkan dalam cerita. Pertama-tama mereka seharusnya tidak boleh bicara, mereka adalah yang diamati dan diceritakan. Di hadapan modernitas mereka harus terlihat bodoh dan bungkam. Mereka baru diberi kesempatan bicara untuk menampakkan ketaklukannya, atau sudah mengaku sebagai menganut keyakinan modernitas yang didesakkan kepada mereka.

Karena mereka bodoh dan tak pernah lihat mobil, maka dibutuhkan sebuah intervensi, agar mereka bisa pintar dan mengenal teknologi. Untuk itu, mereka harus melihat dan mengalami penggunaan teknologi. Maka sang guru harus membawa murid-muridnya ke kota. Tetapi ketidaktahuan akan keberadaan mobil bukanlah satu-satunya alasan di sini. Lebih dari itu, makna atau fungsi mempunyai teknologi juga harus diketahui. Mereka harus tahu apa artinya mempunyai mobil dan akses jalanan. Pun, mereka mesti paham untuk apa teknologi itu wajib mereka miliki.

Selanjutnya, menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena dalam logika sistem pendidikan Orde Baru, seluruh pertanyaan harus ada jawabannya, dan jawaban itu harus disediakan oleh negara. Demikian tulis Barbara Leigh dalam artikelnya Learning and Knowing Boundaries: Schooling in New Order Indonesia yang terbit tahun 1999 silam. Jawabannya adalah, tentu saja, peningkatan tingkat ekonomi. Jawaban yang selalu menjadi perangsang utama gerak pemerintah Indonesia pada masa itu.

Dalam cerita ini, sang guru menjelaskan risiko ekonomis yang bisa menimpa murid-murid belianya bila tidak mempunyai akses transportasi: tengkulak atau rentenir bisa menaikkan harga sekehendak hatinya. Ini kemudian memprovokasi salah satu murid untuk bertanya mengapa mereka belum punya akses jalan. Jawabnya tentu tidak boleh politis. Tentu sang guru tidak boleh (bisa?) menjawabanya dengan menunjukkan ketimpangan pembangunan di daerah pedalaman bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Yang salah adalah mereka sendiri. Sehingga untuk mendapatkan akses jalan, menurut versi sang guru, mereka harus belajar lebih keras supaya mereka semua bisa menjadi insinyur yang sanggup membangun jalan, “untuk menghubungkan desa kita dengan kota” (hl. 61-62).

Selain itu, demi menyuntikkan gaya bernalar kaum neo-klasik, murid diberi wejangan untuk menabung uang, untuk mengkonsumsi komoditas yang diproduksi sendiri (sebagai ganti produk impor), dan tidak meminjam uang dari tengkulak (yang menyiratkan adanya promosi untuk lebih percaya kepada sistem bank formal). Semua elemen ini termasuk dalam daftar promosi pemerintah paling populer di masa itu.

Teknologi untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi adalah program anak emas Orde Baru, dan banyak bagian dari buku cerita anak-anak ini dipersembahkan untuk tujuan itu. Teknologi lain yang secara mengherankan bisa diajarkan oleh sang guru adalah, teknologi menenun dan mewarnai: dari membuat kilang penenun sampai membuat campuran warna (hl. 33-34). Dia juga pandai membuat irigasi dan bendungan kecil. Dia lebih tahu daripada warga bahwa dinding irigasinya harus lebih landai dan mesti lurus (hl. 21-23).

Teknologi bertani juga dikuasainya, misalnya teknik menanam padi (hl. 16). Teknologi pertanian menetap ini merefleksikan antipati tradisional pemerintah Indonesia terhadap perladangan berpindah. Mereka sangat percaya bahwa perladangan berpindah selalu menyebabkan kerusakan hutan (hl. 17). Padahal berbagai penelitian telah membuktikan hal sebaliknya. Nature and the Colonial Mind karya William M adams dalam buku Decolizing Nature menjelaskan penelitian di berbagai tempat, misalnya di Afrika, yang menunjukkan bahwa peladangan berpindah justru berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem di sebuah tempat. Teknik tradisional yang ternyata punya logika pelestarian. Ini cuma salah satu contoh dari sekian banyak penelitian yang memperlihatkan hasil serupa.

Selain pelukisan negara yang telah disebutkan di atas, pencitraan akan superioritas, kedemawanan, dan watak paternalistik negara juga muncul dalam nuansa yang agak beda. Imajinasi yang sering kita lihat di mana negara memandang ke bawah menyaksikan rakyatnya yang sedang beraktifitas, juga muncul dalam porseni di sekolah. “Di tribun telah hadir Bapak Camat dan pejabat-pejabat kecamatan lainnya. Kepala-kepala sekolah SD juga telah hadir di situ.” (hl.51)

Kendali negara terhadap keamanan, sebuah isu yang maha penting bagi pemerintahan Soeharto yang militeristik, juga mencuat dalam buku ini. Fenomena ini muncul ketika Pak Abdi menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa hanya polisi yang boleh menangkap kriminal (hl.61). Sebuah pemerintahan moderen memang membutuhkan formalisasi dan pemusatan untuk segala soal, menangani masalah kejahatan adalah salah satunya. Main hakim sendiri menjadi istilah yang sangat populer di masa Orde Baru, yang kelak turut membantu kerja panjang sejak masa kolonial untuk memberangus atau memanipulasi berbagai macam institusi hukum adat. Asumsinya, masyarakat tidak mampu menangani masalah sendiri.

Penelitian Craig Thorburn mengenai konflik yang terjadi di Maluku justru menunjukkan hal sebaliknya. Di Tual, Maluku Tenggara, justru hukum adat yang sudah sekian lama dilemahkan pemerintah masih sanggup dihidupkan kembali oleh rakyat untuk menghentikan konflik berdarah di sana. Ini bisa kita baca dalam esaiThorburn berjudul Musibah: Penguasaan sumberdaya, tindak kekerasan, dan penemuan kembali tradisi di Kepulauan Kei, dalam buku suntingan P.M. Laksono dan Roem Topatimasang, Ken Sa Faak, yang terbit tahun 2004.

Untuk memungkinkan semua penyuntikan paradigma pembangunan negara bisa terjadi, tentu dibutuhkan tokoh tipe-ideal ala Orde Baru. Penokohan Pak Abdi harus sempurna. Untuk itu dia diceritakan sebagai seorang yang baik hati dan berperangai lembut terhadap murid-muridnya. Mansur Samin harus membuat dia terlibat intens dalam mengatasi seluruh permasalahan di desa tempatnya mengajar seorang diri. Dan ini sebaiknya berlangsung di sepanjang pemunculannya dalam buku cerita ini.

Hasilnya, warga menjadi sangat hormat kepadanya. Demikan hormat warga kepadanya sehingga kepala desa harus melakukan gerakan tradisional penghambaan diri seperti yang terlihat pada gambar di halaman 18. Di sana kepala desa digambarkan merunduk sambil kedua tangannya berhimpun di depan selangkangannya. Matanya menatap ke kaki Pak Abdi yang sedang menjelaskan dengan gerakan tangan, dengan mengenakan kemeja licin dan kacamata bergagang tebal.


Apakah yang akan, atau dibayangkan akan, dicapai dari intervensi semacam ini? Dalam realitas, sebagaimana disebut sebelumnya, intervensi ini terejawantahkan dalam program perumahan masyarakat terasing. Gerard Persoon, seorang peneliti dari Belanda, dalam artikelnya Isolated Islanders or Indigenous People: The Political Discourse and its Effect on Siberut (Mentawai Archipelago, West-Sumatra), terbit di Jurnal Antropologi Indonesia tahun 2002, merangkum tujuan dari elemen-elemen program perumahan itu:

“Pertanian permanen (sebagai ganti perladangan berpindah-pindah), perumahan permanen berisi anggota keluarga inti (sebagai ganti perumahan nomaden yang berkelompok), penganutan agama-agama resmi (ketimbang agama-agama alami atau paganisme), pakaian yang ‘beradab’ (dan bukan cawat), makanan yang berasal dari pertanian (bukan makanan dari rimba liar), pelayanan kesehatan moderen (sebagai ganti dukun) dan pendidikan moderen (daripada tidak berpendidikan sama sekali).”

Dalam Kuto Anak Dusun Terasing, dua dari elemen di atas tidak terlihat: agama resmi dan pelayanan kesehatan moderen, namun kesamaannya terlalu banyak untuk kita abaikan sebagai rujukan. Elemen-elemen yang hilang ini kemungkinan tidak hadir karena sudah cukup berhasil disebarkan. Penelitian Christoper Duncan tentang program ini di Indonesia juga mengatakan demikian.

Bagaimana dengan realitas dalam cerita kita? Mari kita lihat pesan terakhir dari sang tokoh utama kita. Dia tuturkan tuah ini pada pidato perpisahan sebelum dia berangkat ke sebuah tempat yang tidak kita ketahui—bukankah kesuksesan membawa promosi?

“Anak-anakku! Kalian adalah harapan bangsa. Pada kalianlah terletak tanggungjawab membangun negara kita. Betapa kaya bumi kita Indonesia ini, kalianlah yang kami harapkan kelak untuk mengolahnya. Kalianlah yang harus menjadi ahli di kemudian hari. Kalian telah saya didik agar mempercayai tenaga sendiri. Kalian telah pulah saya latih untuk menyayangi lingkungan kita yang indah ini.” (hl 82-83)

Dan seperti sihir, di akhir cerita, anak-anak dari ‘suku terasing’ itu semua bisa sekolah hingga perguruan tinggi, dan mendapatkan gelar sebelum kembali ke desa. Ada yang mengajar di sekolah, yang lain menjalankan pabrik kertas dan memimpin industri penambangan emas milik negara yang kebetulan sekali berada di dekat desa mereka. (hl.86-91).

Tiba-tiba saya teringat sebagian besar anggota Laskar Pelangi yang ketika dewasa bisa mencapai cita-cita masa kecilnya. Bagaimana bisa akhir cerita Laskar Pelangi sangat mirip dengan Kuto Anak Dusun Terasing? (bersambung)

*Citizen reporter Nurhady Sirimorok dapat dihubungi melalui email nurhadys@gmail.com

Minggu, 01 Agustus 2010

Cita-cita Tionghoa Muslim Indonesia

Ridwan Munawwar

SEJARAH etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejarah represi dan kekerasan. Sejarah mencatat, di Batavia pada 1740, terjadi pembantaian massal orang-orang Tionghoa oleh VOC yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa. Pada masa Perang Jawa (1825-1830), terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa karena dicurigai sebagai pembawa sial yang mengakibatkan pasukan Diponegoro kalah oleh Belanda.

Lalu pembunuhan massal orang-orang Tionghoa oleh pasukan republik (1946-1948), peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Jawa Barat, pembunuhan dan pengejaran orang-orang Tionghoa pada tragedi 1965 karena dituduh sebagai agen pemerintah komunis RRT, dan terakhir peristiwa berdarah Mei 1998 di Jakarta.
Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia.


Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa-Indonesia.

Titik kulminasi dari ketimpangan ini adalah saat Orde Baru mempraktikan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Tionghoa. Pupuslah pula impian Bung Karno untuk menciptakan indigeneus nation (negara suku) yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia, berdampingan dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya, sehigga orang-orang Cina tidak perlu melakukan asilimasi untuk menjadi warga Indonesia (Susetyo,2002).

Kini, meskipun masa Orde Baru telah usai, praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa masih saja sering terjadi sehingga dengan demikian ini adalah masalah sosial kita yang tetap aktual untuk dibahas. Diakui atau tidak, meskipun saat ini terdapat berbagai ragam interaksi sosial antara kaum Tionghoa-Indonesia dengan kaum pribumi, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih dianggap sebagai orang asing yang belum dapat sepenuhnya melakukan pembauran dengan kelompok mayoritas pribumi di Indonesia. Mereka bagaikan air dengan minyak.

Penelitian sosial yang dilakukan oleh Afif dalam buku ini berusaha melihat lebih dalam dan lebih dekat persoalan identitas sosial kaum Tionghoa muslim Indonesia. Dengan pendekatan ideografis, yakni menggunakan analisis terfokus pada individu-individu Tionghoa muslim sebagai unit analisisnya, Afif berhasil menggali temuan-temuan yang cukup berharga, terutama tentang bagaimana pergulatan masing-masing individu itu dalam membentuk identitas sosial positif di tengah masyarakat yang langsung-tidak langsung mengalienasikannya.

Totok dan Peranakan
Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.

Identitas sosial positif adalah suatu tata-ekspresi diri terhadap yang-lain. Identitas sosial adalah bagaimana menghadirkan diri secara baik ke dalam persepsi yang-lain. Tata-ekspresi diri yang positif akan menghasilkan penilaian dan afirmasi yang baik pula dari yang-lain. Dengan demikian, identitas sosial adalah jalan menuju kerekatan sosial dalam masyarakat.

Ada dua strategi dalam pembentukan identitas sosial positif, pertama adalah strategi kategorisasi diri, dan kedua strategi hibridasi. Yang pertama adalah peleburan. Yang kedua adalah identitas sosial yang terbentuk dari interaksi personal dengan satu komunitas atau lebih.

Orang-orang Tionghoa totok lebih dekat pada kebudayaan asli mereka (baca: kebudayaan Tionghoa) dibanding orang-orang peranakan. Dan ini memiliki korelasi dengan bagaimana kemudian mereka mempertahankan identitas sosial positif yang berhasil didapat dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan modal wawasan kultural dan keunikan diri yang dimilikinya, para Tionghoa totok muslim ini cenderung melakukan optimalisasi dan eksplorasi keunikan diri yang dimiliki untuk kemudian menjadi suatu hal yang bisa disumbangkan pada masyarakat.

Namun identitas sosial positif yang mereka dapatkan sering kali terganjal oleh suatu stigma yang berkenaan dengan kemusliman. Mereka yang kerap kali dicap sebagai sesuatu yang oportunistik. Untuk menepis mitos ini, Afif melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan para subjek berkenaan dengan motivasi mereka menjadi muslim.

Dari lampiran verbatim wawancara, dapat kita lihat dan rasakan bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dalam memeluk agama Islam. Dulu, Junus Jahja pun pernah menepis stigma ini dengan mengatakan bahwa ia memang mencintai Islam sebagai ajaran yang sempurna, universal dan memiliki nilai keadilan dalam ajaran tata-sosialnya. Universalisme Islam selaras dengan suara penuh harapan para subjek yang diangkat dalam buku ini, yakni “kami percaya identitas-identitas yang berbeda bisa disatukan dengan harmonis.

=============================
Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta
Cetakan: Perta,a, Juni 2010
Tebal: xxxiv+228 halaman
sumber: suaramerdea.com