Minggu, 01 Agustus 2010

Cita-cita Tionghoa Muslim Indonesia

Ridwan Munawwar

SEJARAH etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejarah represi dan kekerasan. Sejarah mencatat, di Batavia pada 1740, terjadi pembantaian massal orang-orang Tionghoa oleh VOC yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa. Pada masa Perang Jawa (1825-1830), terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa karena dicurigai sebagai pembawa sial yang mengakibatkan pasukan Diponegoro kalah oleh Belanda.

Lalu pembunuhan massal orang-orang Tionghoa oleh pasukan republik (1946-1948), peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Jawa Barat, pembunuhan dan pengejaran orang-orang Tionghoa pada tragedi 1965 karena dituduh sebagai agen pemerintah komunis RRT, dan terakhir peristiwa berdarah Mei 1998 di Jakarta.
Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia.


Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa-Indonesia.

Titik kulminasi dari ketimpangan ini adalah saat Orde Baru mempraktikan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Tionghoa. Pupuslah pula impian Bung Karno untuk menciptakan indigeneus nation (negara suku) yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia, berdampingan dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya, sehigga orang-orang Cina tidak perlu melakukan asilimasi untuk menjadi warga Indonesia (Susetyo,2002).

Kini, meskipun masa Orde Baru telah usai, praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa masih saja sering terjadi sehingga dengan demikian ini adalah masalah sosial kita yang tetap aktual untuk dibahas. Diakui atau tidak, meskipun saat ini terdapat berbagai ragam interaksi sosial antara kaum Tionghoa-Indonesia dengan kaum pribumi, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih dianggap sebagai orang asing yang belum dapat sepenuhnya melakukan pembauran dengan kelompok mayoritas pribumi di Indonesia. Mereka bagaikan air dengan minyak.

Penelitian sosial yang dilakukan oleh Afif dalam buku ini berusaha melihat lebih dalam dan lebih dekat persoalan identitas sosial kaum Tionghoa muslim Indonesia. Dengan pendekatan ideografis, yakni menggunakan analisis terfokus pada individu-individu Tionghoa muslim sebagai unit analisisnya, Afif berhasil menggali temuan-temuan yang cukup berharga, terutama tentang bagaimana pergulatan masing-masing individu itu dalam membentuk identitas sosial positif di tengah masyarakat yang langsung-tidak langsung mengalienasikannya.

Totok dan Peranakan
Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.

Identitas sosial positif adalah suatu tata-ekspresi diri terhadap yang-lain. Identitas sosial adalah bagaimana menghadirkan diri secara baik ke dalam persepsi yang-lain. Tata-ekspresi diri yang positif akan menghasilkan penilaian dan afirmasi yang baik pula dari yang-lain. Dengan demikian, identitas sosial adalah jalan menuju kerekatan sosial dalam masyarakat.

Ada dua strategi dalam pembentukan identitas sosial positif, pertama adalah strategi kategorisasi diri, dan kedua strategi hibridasi. Yang pertama adalah peleburan. Yang kedua adalah identitas sosial yang terbentuk dari interaksi personal dengan satu komunitas atau lebih.

Orang-orang Tionghoa totok lebih dekat pada kebudayaan asli mereka (baca: kebudayaan Tionghoa) dibanding orang-orang peranakan. Dan ini memiliki korelasi dengan bagaimana kemudian mereka mempertahankan identitas sosial positif yang berhasil didapat dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan modal wawasan kultural dan keunikan diri yang dimilikinya, para Tionghoa totok muslim ini cenderung melakukan optimalisasi dan eksplorasi keunikan diri yang dimiliki untuk kemudian menjadi suatu hal yang bisa disumbangkan pada masyarakat.

Namun identitas sosial positif yang mereka dapatkan sering kali terganjal oleh suatu stigma yang berkenaan dengan kemusliman. Mereka yang kerap kali dicap sebagai sesuatu yang oportunistik. Untuk menepis mitos ini, Afif melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan para subjek berkenaan dengan motivasi mereka menjadi muslim.

Dari lampiran verbatim wawancara, dapat kita lihat dan rasakan bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dalam memeluk agama Islam. Dulu, Junus Jahja pun pernah menepis stigma ini dengan mengatakan bahwa ia memang mencintai Islam sebagai ajaran yang sempurna, universal dan memiliki nilai keadilan dalam ajaran tata-sosialnya. Universalisme Islam selaras dengan suara penuh harapan para subjek yang diangkat dalam buku ini, yakni “kami percaya identitas-identitas yang berbeda bisa disatukan dengan harmonis.

=============================
Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta
Cetakan: Perta,a, Juni 2010
Tebal: xxxiv+228 halaman
sumber: suaramerdea.com

0 komentar:

Posting Komentar